April sendiri juga bingung. Sebenarnya tipe hubungannya dengan Jun itu bagaimana. Sebentar mereka akur, saling goda, saling rayu dikit, walaupun Jun ngggak ada niatan bikin baper, tapi tetap saja, April kadang baper. Kadang juga saling jaga layaknya adik kayak, dan kadang kayak musuh bebuyutan yang kalau nggak saling cela dan serang itu rasanya kayak sayur kurang micin. Nggak sedep!
Pun dengan degan kejadian barusan. Setelah April dengan sok heroine bilang ‘Gue mau, kok sama lo’ yang tentu saja memang itu isi hatinya. Tapi kan Jun nggak perlu tau sampai situ. Kalau Jun akhirnya tau ya silakan, tapi April nggak akan kasih tahu Jun sendiri. Kembali lagi pada aksi heroine April yang oleh Jun setelah sunyi beberapa saat malah ngakak heboh sampai guling - guling di atas kasur April.
April merengut sebal melihat Jun yang kaya gitu. Ya pantes sih, Jun kan nggak tau berapa besar keberanian yang harus April keluarkan untuk satu kalimat sederhana yang cheesy begitu. Dan sekarang dia malah ketawa - ketawa ngakak. April mengangkat satu bantal lantai yang ada di karpet di sebelahnya dan memukulkannya pada Jun beberapa kali.
“Aduh! Kok dipukul gue! Woy, Pril! Sakit! Adoh!!”
“Sukurin! Ketawa aja lo sono. Terusin! Nyebelin!” April sakit hati! Untung nggak sampai mewek dan masih bisa ketahan. Sempat dia mewek juga, sudah pasti rahasianya terbongkar.
Baru begini saja Jun sudah menggila. Menertawainya setengah mati. Bagaimana kalau Jun sampai tau perasaan April yang sebenarnya?
"Iya,iya, sori. Hahahah udah ih! Gebukin terus dari tadi." April akhirnya berhenti. Tapi masih bete, jadi dia tetap cemberut. "Makasih ya, udah mau sama gue. Nanti gue pertimbangin."
"Si*lan!"
April duduk kembali, kali ini memunggungi Jun. Wajahnya masih cemberut kesal dan sedih. Gimana nggak sedih, kalau belum - belum dia udah di tolak mentah - mentah sama cowok yang ditaksirnya hampir seumur hidupnya itu. Ada nggak sih, yang lebih tragis dari April, nasibnya?
Dia mendongak melihat ke atas. Tujuannya biar itu bulir - bulir bening yang sudah mulai muncul di kedua matanya sekarang ini nggak jadi turun. Dia nggak boleh nangis sekarang! Masih ada Jun!
"Eh! Jadi nggak ini malmingan?" Juni bertanya dengan nada enteng. Seolah dia nggak baru saja memporak porandakan hati April.
April menarik nafas dalam pelan sebelum menjawab. "Yakin mau malmingan sama…"
"Iyaaa iya sama lo! Sama siapa lagi? Nggak ada orang lain sekarang ini."
Khas Jun banget. Ngajakin April karena cuma April pilihan yang dia punya. Jangan, Pril. Jangan nangis sekarang. Tahanin bentaran lagi, plis! Dia menyemangati dirinya sendiri.
"Ya lo kuar lah. Gue gimana ganti bajunya kalo lo masi di situ." April berbicara dengan nada pelan masih sambil memunggungi Jun.
"Oiya! Ya udah gue tunggu depan, yak! Jangan lama - lama kayak Mei lo!"
***
April mematut diri di depan kaca kecil yang di taruh di meja pendek di tengah kamarnya. Dia sudah selesai dandan. Orang cuma ganti baju, sisiran, iket rambut jadi kuncir kuda, pakai tone up cream sama lipbalm selesai.
Tapi ada satu yang mengganjal penampilan pas - pasannya. Matanya… bengkak. Gara - gara apalagi kalau bukan havis nangis. Dan gara - gara siapa lavi April bisa nangis kalau bukan Jun.
"Cewek beg*. Masih aja nangisin modelan Jun. Kapan sih, lo move on?!" Dia memarahi dirinya sendiri untuk kesekian kalinya.
Dia sendiri juga heran kok bisa - bisanya sih, dia nggak bosan merasa sakit sendiri kaya gini. Untungnya buat dirinya tuh apa?! Nggak ada!!! Kenapa dia nggak jatuh cinta sama cowok lain aja yang lebih nggak menyakitkan gitu? Janu misal? Eh, Janu masih single, kan? Nanti tau - tau Janu udah punya pacar, atau malah sudah menikah. Ih amit - amit, April nggak mau jadi pelakor! Dia bergidik jijik.
Diangkatnya lagi kacamata yang dari tadi di genggamnya. Apa April harus pake ini lagi? April udah lama nggak pakai kacamata. Bukan karena April minus matanya. Tapi biar kelihatan makin jelek, jadi nggak ada cowok yang menghampiri saat dulu dia masih kuliah.
"Pril! Lama amat!!"
Suara Jun dari balik pintu menyentaknya. Buru - buru dipakainya kacamata ala betty Lafeya itu. Sudahlah. Nggak ada pilihan. Cuma ini satu - satunya yang bisa bikin bengkak matanya nggak terlalu terlihat.
"Iyaaa iyaaa. Udah kelar, kok."
***
April nggak ada ide ini mau dibawa kemana sama Jun. Nurut aja. Dia malam ini jadi lumayan pendiam karena perkataan Jun. Aslinya nggak mood. Pengen di rumah aja galau sendiri, tapi kayak yang sudah - sudah. Dia kan memang nggak bisa bilang nggak sama Jun.
Dasar April Lemah!
Ternyata Jun bawa dia ke restoran. Bukan kafe kayak biasanya.
"Kok ke sini sih?" April bertanya panik.
Gimana April nggak panik?! Dibawa ke restoran padahal April nggak dandan. Cuma pakai maxi dress, yang seperti biasa, lungsuran Mei, rambut juga cuma dikuncir kuda asal, dan nggak make up sama sekali!!
"Kan belum pernah ke sini. Nyobain lah kita sekali - kali." Jawab Jun enteng sembari menetralkan posisi mobilnya.
"Tapi gue nggak dandan, Jun!"
Jun menengoknya sebentar. Lalu mengerutkan kening. "Kita mau makan aja lo kudu dandan? Nggam usah sok kaya Mei, deh lo. Ayok! Masuk."
Mungkin kalimat Jun barusan itu seharusnya Kalimat yang dimaksudkan untuk menenangkan April. Tapi bagi April yang sedang rapuh, kalimat tadi malah terdengar sebagai, 'lo jangan niru - niru, Mei. Nggak cocok.'
Dan itu lagi - lagi bikin April sakit hati.
Dia kenapa, sih, malam ini! Cengeng! Masa begitu saja dia langsung pengen nangis lagi, sih?!
April keluar dan mengikuti Jun masuk ke dalam restoran. Seorang waiters mengantar mereka ke meja untuk dua orang. Memberikan mereka papan menu dan memberi mereka waktu untuk memilih menu mereka sebelum mengambil pesanan.
"Lo mau pesen apa?" Jun bertanya padanya.
Jujur, April nggak tau. Dia udah nggak mood. Jadi semua tulisan di menu mendadak jadi aksara Thailand yang mirip cacing itu. Nggak terbaca.
"Ngikut lo aja, deh."
"Loh? Kok gitu. Pesen aja kali, Pril."
"Jun gue nggak ada ide. Lo pesenin deh. Apa aja gue makan. Lo pesenin gue es duren juga gue makan" katanya pasrah yang bikin Jun melotot.
Pasalnya, April itu nggak doyan duren. Bau duren dari radius ratusan meter aja dia biza kecium dan auto muntah apalagi sampai makan duren. Mimpi sekalipun April nggak pernah. Tapi karena lagi galau combo: plis nggak mood dan sakit hati, jadinya April pun asal bicara.
Akhirnya Jun memesan untuk mereka berdua. Bukan, bukan duren. Makan yang normal sajalah mereka.
"Kenapa sih," tanya Jun.
April baru menggeleng mau jawab saat ponsel Jun bergetar. Awalnya diabaikan, tapi orang yang menelpon ini gigih sekali. Jun jadi nggak enak sendiri dan mengangkatnya.
"Bentar ya, angkat ini dulu." April mengangguk mengiyakan.
Tapi sepertinya sepuluh menit Masih tergolong sebentar buat Jun untuk mengangkat telpon. Sampai makanan mereka terhidang, Jun belum juga kembali. Apr iseng mencicipi makanan pesanan Jun. Eh, enak loh!
Dia menghentakkan kakinya pelan, menunggu Jun tak sabar. Padahal tadi dia yang nggak mood, tapi sekarang dia yang nggak sabar pengen mulai makan.
"Juni cepetan… keburu dingin!!!" Gumamnya.
Beberapa saat kemudian, dia nyaris melompat girang saat akhirnya Jun kembali. Yas! Akhirnya makan juga! Tapi dia melongo saat melihat wajah tegang Jun dan sikapnya yang mendadak mengelus kepala April. Wajahnya pias seketika saat Jun membuks mulut.
"Pril, sori. Lo makan sendiri ya, kalau nggak abis, bungkus aja bawa pulang. Gue yang bayar. Sori banget gue nggak bisa anter lo pulang. Gue lupa kalo malem ini ada janji. Udah ditungguin. Gue tinggal ya."
Hah? Maksud Jun…?