Maunya Jun, dia ngejar April sampai dia dapat jawaban. Mumpung juga malam minggu, kan. Dia sudah di rumah April. Ikut keluarga April makan malam bareng, niatnya habis itu dia mau menyelundup ke kemar April. Kalau Papa atau Mama nanya, dia sudah menyiapkan alasan yang sama yang dia berikan ke Bunda sebelum ke sini tadi; Ada urusan kerjaan yang harus di bahas bareng April.
Mama Papa dan Bunda seneng banget pas awal tahu kalau April dapat promosi buat jadi sekretaris Jun. Mereka, terutama Mama dan Papa malah terang - terangan bilang makasih karena Jun sudah menjaga April dengan baik di tempat kerja. Tentu saja April nggak terima. Tapi Jun diam saja, sambil iya - iya aja. Kan dia juga sudah ikut menjaga April di tempat kerja sebisanya. Walaupun seringnya April menolak bantuannya. Itu sih, Aprilnya saja yang bandel dan keras kepala. Bikin Jun gemas luar biasa dan jadi pengen nguyel - uyel.
“Sumpah ih, Jun. Kerjaan apalagi sih, yang harus dibicarakan? Perasaan tadi kerjaan gue kelar semua deh, sebelum pulang.”
Jun berdecak dalam hati. Hih, April ini kok nggak peka banget kalau ‘masalah kerjaan’ yang tadi dibilang itu cuma alasan buat Mama dan Papa aja biar dia bisa tetep di sini! Masa kaya gitu aja dia harus tanya, sih. Nggak peka.
“Sini deh, duduk dulu. Ini tuh rencananya buat minggu depan.” Katanya asal mengikuti skenario yang dibuatnya sendiri. Padahal minggu depan ada apa saja dia nggak tau! Tangannya menepuk - nepuk kasur di sebelahnya, meminta April duduk di sana.
Tapi memang April ini nggak peka, dia masih kekeh duduk di karpet di lantai sambil memandangi Jun sengit. Apa lagi sih, Pril? “Buat minggu depan?” Juni mengangguk ragu lalu mengaduh saat bantal duduk yang dilempar oleh April melayang dan kena mukanya telak. Asem, April. “Kalau masih minggu depan kenapa lo ngobrolnya harus sekarang, sih! Lo tau nggak kalau ini malem minggu? Besok hari minggu, hari libur gue yang cuma satu - satunya di kasih kantor dalam seminggu. Satu - satunya hari gue bisa tidur sampe siang dan nggak perlu mikir kerjaan apalagi yang mesti gue kelarin. Dan lo masih ngerecokin gue aja! Tega lo!”
Jun nyaris melompat dari kasur April untuk membungkam mulut April yang mendadak aktif TOA nya. Kan nggak enak kalau ketahuan Mama Papa. Dia nggak bakal diusir juga sih, cuma kan… Jun jadi ketahuan bohong tadi.
“Selo Pril, selo. Malem minggu ini.”
Bukannya selo seperti yang dibilang Jun, April malah makin meradang. “Lo yang nggak selo, lah! Ngapain coba lo bahas kerjaan di malam minggu. Lo sendiri yang nggak ngebolehin gue kerja lembur tapi lo juga yang ngerecokin gue kalo di rumah. Juni waras?”
Ya jelaslah… nggak! Dia nggak waras begini juga gara - gara siapa?! Dasar April nggak peka, hujatnya dalam hati,
“Mumpung malming nih, mau keluar nggak? Mei kok nggak kelihatan, kemana dia?”
***
Mood April langsung terjun bebas mendengar Jun bertanya tentang Mei, tapi sebisa mungkin dia tetap menampilkan wajah datar di depan Jun.
Manusia memang ya, yang nggak ada malah dicari - cari, yang ada, di depannya, nggak usah nyari, malah dicuekin sampe jadi tua bangka gini.
“Ini malem minggu, Jun. Mei ya udah pasti sama Didit, lah. Lo siapanya dia kok posesif amat.”
“Ya kan kali aja dia di rumah gitu, Belum berangkat. Kan kita bisa recokin,minta ikut, cek eceknya kita lgi double date sama mereka.”
Untungnya pas Jun ilang gitu, April nggak lagi pas makan, nggak lagi pas minum, jadi tenggorokannya aman, nggak kesedak. Tapi dia langsung cegukan karena kaget. Jun bilang apa?!
“Double hik! Date sama hik! Siapa lo hik!” Tanyanya susah payah di antara cegukannya.
“Ya Mei sama Didit, gue sama lo lah. Kan pas tuh, sepasang - sepasang.”
“Lo? Nge hik! Date sama hik! Gue? Hik!”
Cuma mau memastikan aja kalau April nggak salah denger. Soalnya ini yang ngomong kan Jun. Dia nggak mau ke GR an sendiri terus sampai nggak bisa tidur nanti malam. Jadi harus diantisipasi.
“Iye. Sama lo, sama siapa lagi. Cewek di sini kan cuma lo doang. Kenape sih, keknya jijik banget ngedate sama gue. Lo mau ngajakin pacar lo aja? Ninggalin gue yang jomblo sendirian?!” Jun menjawab defensif. Posisinya yang awalnya tengkurap condong ke bawah ke arah April kini balik lagi rebahan di atas kasur April.
Yeee, kok Jun yang ngambek.
“Kan gue cuma mau memastikan aja gue nggak salah denger. Lagian itu apa nggak salah? Lo ngajakin gue jalan ke tempat orang ngedate? Lo nya nggak malu?”
“Kenapa coba gue harus malu.”
“Modelan gue loh yang lo ajakin. Kan biasanya lo ngajakin yang bodinya kayak model pakaian dalam itu tuh. Yang semlohai bikin cowok - cowok ngiler kalau lewat. Adoh!!”
Seruan April teredam bantal yang dilempar Jun padanya. Membuatnya melotot nggak terima. Hello, dia berbicara fakta! Fakta yang terjadi di lapangan selama ini ya begitu saudara - saudara. Kok malah dia yang kena timpuk?! Beginikah ganjaran bagi orang - orang yang menyerukan kebenaran?! Pantas saja negara ini tetap jadi negara berkembang, nggak maju - maju.
“Mulut lo lemes amat. Gue kalo nggak kenal lo banget bisa - bisa gue ngira lo lagi cemburu loh, Pril.”
April langsung diem. Nah, ini. Emang bener dia lagi cemburu. Cemburu banget sih enggak. Tapi kadar nyinyir April kali ini lebih besar. Mumpung ada kesempatan. Kapan lagi kan, bisa nyinyirin tipe cewek - cewek yang dikencanin Jun.
“Amit - amit gue cemburu sama lo.” Akhirnya hanya itu yang dia ucapkan karena tak bisa memikirkan kata - kata yang lain lagi. “Tapi kan… yang gue bilang juga nggak ngawur banget. Lo kan emang kaya gitu.”
“Tapi nggak boleh kaya gitu. Dosa.”
April mencebik kesal. Si*l, diceramahin dia ceritanya sama ustad Junaedi.
“Siapa tau salah satu mereka nanti jadi kandidat kakak ipar lo.”
“Anja… lo serius mau mempertimbangkan mereka jadi pasangan hidup lo?” April berbalik cepat menghadap Jun. Nada bertanyanya nggak terima. Yang bener aja? Saingannya harus banget temen mantap - mantapnya Jun? Yang modelnya kaya model majalah pleboi itu?! Tanpa saingan aja April udah susah buat lebih dekat ke Jun lebih dri sekarang, apalagi saingan seberat ini dalam hal fisik? Mundur apa ya? Batinnya, lupa kalau sebenarnya dia sudah memutuskan untuk move on bertahun - tahun yang lalu.
“Maunya ya sama cewek yang bener. Tapi kan gue nggak bener - bener banget orangnya. Nyadar diri lah gue. Siapa emang cewek baik - baik yang mau sama gue. Lo?”
Kayak dikomando, April mengangguk. “Gue mau, kok. sama lo”