Hari ini seharusnya menjadi hari yang membahagiakan untuk April. Tanggal dua puluh tujuh! Artinya apa??? Benar!!! Tanggal gajian! Tapi eh tapi… seperti sudah seminggu belakangan terjadi, yang walaupun sudah kejeda weekend tapi tetap tidak surut juga, wajahnya tetap saja agak kuyu saat sampai di kantor.
Sudah hampir seminggu ini lagi - lagi dia menghindari Jun. Kalau kemarin - kemarin dia menghindari Jun dengan bersikap defensif dan sopan, kali ini…. Hah! Nggak akan ada kata sopan buat penjahat kelamin macam Jun! Tapi melihat Jun yang langsung menurutinya dan kabur nggak berani mendekat, dia jadi menyesal sendiri, kenapa nggak dari dulu kalau nolak Jun itu pake bahasa yang to the point dan agak jleb begini, sih?!
“Pagi, Pril! Baru dateng? Tumbenan biasanya lo kalo dateng pagian.” Novi yang juga baru turun dari ojek tumpangannya ke kantor menyapa.
“Pagi, Nov. Ya biasalah, macet kan nggak bisa diprediksi. Kembaliannya ambil aja, Pak. Makasih, ya.”
Berdua, mereka berjalan beriringan masuk ke kantor. Melihat outfit ngantor Novi hari ini membuat mood April yang nggak bisa dibilang bagus sejak awal, jadi tambah jelek. Nyungsep se nyungsep - nyungsepnya.
Novi memakai Jeans high waist dipadu dengan kemeja ceruti semi casual dan pakai sneakers! Outfit yang April yakin nyaman banget! Sekarang, dia cuma bisa pakai bagian kemejanya aja. Jeans… jangankan jeans, celana, any kind of celana Jun sudah wanti - wanti dari awal dulu nggak boleh. Jun emang nggak terlalu suka lihat cewek bercelana. Apalagi sekarang look nya harus selalu formal karena harus siap dampingi Jun kemana saja kalau dibutuhkan. Jadi… babay to those semi formal outfits.
“Masih ditekuk aja mukanya?” Novi menegur saat mereka sudah berada di dalam lift. Kebetulan mereka cuma berdua aja. Novi sudah tau dari gosip yang beredar dan dari curhatan April. Jadi sedikit banyak dia tau alasan kenapa wajah April bagai tisu bekas lap cebok.
“Masih santer. Gue pusing dengernya.”
Novi tertawa. “Lagian lo juga, ngapain sih mikirin gosip. Kalo yang digosipin lo sih, masuk akal. Lah ini, boro - boro.”
Novi bener. Kadang dia juga mikir gitu. Kenapa juga dia harus mikirin gosip tentang Jun sampai sebegininya. Padahal dia nggak ada sangkut pautnya sama sekali sama gosip yang lagi beredar. Yang digosipin kan Jun, sama Bu Sabrina. Kenapa malah yang pusing April?! Lihat, Bu Sabrina bahkan malah terlihat semakin sumringah dan cerah setiap harinya karena yang digosipkan bersamanya adalah Jun. Dan Jun… Awalnya dia panik karena April marah - marah, nuduh dia yang macam - macam. Tapi dia langsung menjelaskan. Dan setelah April yakin dan percaya sama Jun, cowok itu kembali cuek. Jadi satu - satunya yang pusing gara - gara gosip ini ya April sendiri.
Apalagi kalau bukan tentang Jun. Emang ya, orang kalau udah jatuh cinta tuh suka nggak masuk akal!
“Gue duluan, ya Nov.” April melambai karena dia lebih dulu sampai di lantainya.
Novi membalas lambaiannya. Dia masih harus terus sampai lantai empat.
“Yuhu. Ntar ketemu lagi pas lunch. Gue bawa manisan buah bikinan gue buat kalian cobain!”
April mengacungkan kedua jempolnya menyetujui.
Dia langsung menuju ruangan Jun. Dan dia agak kaget saat sudah Ada Bu Sabrina di sana. Sama Jun, sih. Mereka berdua lagi ngobrol. Tapi kan tetep aja keki.
“Eh…. saya bisa kembali lagi nanti kalau misalnya…”
“Masuk, Pril. Siapin agenda saya untuk hari ini.” Jun menyela tegas.
“Baik, Pak.” Dengan patuh dia berjalan ke mejanya dan langsung menata barang - barangnya dengan kilat sebelum melakukan apa yang Jun minta.
“Sekretarisnya telat kok nggak ditegur sih, Mas Juned. Nanti tuman, loh.” Suara Bu Sabrina yang walaupun lembut tapi di telinga April berasa bagai sembilu.
Secara otomatis dia melirik bagian bawah layar desktopnya untuk memeriksa waktu. Aman loh. Ini bahkan belum jam official kantor. Masih kurang dua menit lagi.
“Nggak telat kok, Rin. Kita aja yang kepagian.”
“Tapi nggak etis lah Mas. Masa atasannya malah lebih dulu datang.”
“Nggak masalah, selama tugas dan kerjaannya selesai. Saya nggak begitu suka orang yang serin g lembur. Menurut saya, itu buktiin kalau manajemen waktunya jelek.”
***
“Pulang bareng gue?” Jun menawarkan saat mereka sedang bersiap untuk pulang.
April langsung menggeleng, membuat Jun mendesah lelah. Cewek ini kenapa sih. Sejak minggu lalu yang dia mendadak menghilang dan tiba - tiba muncul pas dia lagi enak dipijat Sabrina, sampai sekarang bawaannya jutek terus. Dia nggak mau bareng pulang pergi, nggak mau bareng makan. Padahal Jun udah jelasin semuanya loh. Lengkap, komplit. Nggak kurang satu detail pun. Tapi tetep aja nggak membawa perubahan apapun.
“Lo kenapa, sih, kok jadi gue di diemin gini? Gue kan udah jelasin semuanya ke lo.”
“Apa sih lo Juni. Sok playing victim. Najis banget. Gue nggak ngapa - ngapain lo, ye.” April meleletkan lidahnya kesal.
“Abisan lo nggak mau pulang sama gue.”
“Gue ada acara, makanya gue nggak mau pulang sama lo.”
“Rencana? Sama siapa?”
“Ada deh, pokoknya gue nggak pulang sama lo.”
Jun menipiskan bibirnya. April nggak kaya biasanya, terlihat bersemangat begitu dia saat bilang kalau dia ada rencana.
“Paling lo mau pergi sendiri kan? Oh gue tau, mau belanja bulanan, kan? Kan abis gajian. Gue temenin, ya. Oke - oke?”
Dia mendesah saat lagi - lagi April menggeleng. Gadis itu sudah meraih tasnya, sudah bersiap untuk meninggalkan kantor.
April menggoyang telunjuknya pelan. “Anda salah Bapak Juned. Gue nggak mau belanja bulanan hari ini. Sekalian aja ntar week end dua hari lagi. Dan nggak, ya. Gue nggak pergi sendiri kali ini. Gue beneran ada acara dan gue udah janjian sama orang, Udah ya, gue duluan! Bye!”
“Eh eh eh!”
“Apa lagi?”
“Bareng lah turunnya. Males jalan sendiri, mulut orang - orang pada nyinyir.” Seminggu ini dia sudah berjuang keras menulikan telinga. Tapi wajar lah, kalau dia capek. Manusia capek kan wajar. Dia bukan superman yang nggak punya capek.
“Salah sendiri. Makanya, lain kali kalo minta pijit Bu Sabrina itu mulut lo sumpel aja pake lolipop! Pake desah - desah nggak jelas lagi. Sukurin. Lo yang awalnya bikin fitnah.” April menjawab, kali ini sambil berbisik biar nggak kedengeran Bu Sabrina yang ruangannya pas di samping Jun. Padahal asal mereka nggak lebih dari 5 Oktaf sih aman. Nggak kedengeran.
Jun melirik kesal. Dasar Maleficent! April kok hatinya keras banget nggak ada iba - ibanya sama dia akhir - akhir ini. Dia diam saja, nggak membalas April apapun. Lagian mau di balas apa? Aprilnya udah ngacir duluan. Dia langsung mematikan lampu ruangannya, mengunci dan meletakkan kuncinya di boks dekat lift dan berdiri diam di sebelah April menunggu lift.
“Lo sampe malem banget?” Karena terlalu sunyi, Jun kembali bertanya. Rasanya salah gitu kalau ada April tapi mereka hanya diam - diaman.
“Kenapa?”
“Nanya doang.”
“Belum tau, nggak usah nungguin deh.”
“Lo pergi sama siapa sih?" Dia masih terus mencoba saat mereka masuk ke dalam lift. "Lobby, kan?"
April mengangguk, dan Jun memencet tombol lift untuk mereka. "Apa sih, Jun. Lo jangan kaya Bapak - bapak kuatir sama anak perawannya deh. Papa aja nggak segitunya."
Lah asem, Jun dibilang Bapak - bapak. Karena kesel dia jadi asal nyeplos aja, "kan lo bilang lo udah nggak perawan juga."
April memutar matanya jengah. "Whatever. Terserah lo."
Jun baru sadar kalau dia bikin salah. Mulutnya lagi - lagi asal nyeplos tanpa dipikir. Dia baru aja mau minta maaf saat dahinya mengernyit karena mengikuti arah pandang April yang mendadak cerah saat pintu lift terbuka.
"Janu! Jadi, kan kita?"