DUA PULUH TIGA: HAPPY BIRTHDAY MEI

1375 Kata
Ulang tahun Mei, seperti biasanya, harus ada perayaan. Nenek sudah bilang sama Bunda dan Mama kalau dia ingin mengadakan makan malam keluarga kecil - kecilan untuk merayakan ulang tahun Mei. Kalau kecil - kecilan berarti makan malam mewah barbecue daging dan seafood di halaman belakang rumah Juni, dengan tumpukan kado yang menggunung di meja untuk Mei, maka jawabannya adalah, ya, itu kecil - kecilan. “Nggak papa. Kan setahun sekali. Ini sama sekali nggak berlebihan, tho. Kamu ini sama anak sendiri nggak usah perhitungan.” Itu jawaban Nenek saat Mama protes, sungkan dan jadi nggak enak sendiri karena banyak alasan. Alasan pertama, hampir semua bajet pesta dari Nenek. Papa dan Mama cuma nyumbang snack, minuman dan kue ulang tahun saja. Hampir nggak ada artinya dibandingkan dengan apa yang sudah Nenek siapkan. Alasan kedua, karena tempatnya numpang di rumah Bunda Juni, tentu saja. Padahal mereka punya rumah sendiri, Tapi mereka nggak punya halaman atau tempat untuk menampung mereka semua. Dan alasan yang terakhir adalah, Mama nggak enak sama April. Bulan kemarin adalah ulang tahun April. Tapi Mama dan Papa kelupaan sehingga bahkan mengucapkan saja nggak. Apalagi memberi hadiah dan merayakan. April nggak bilang apa - apa, sih. Tapi sebagai Ibu, dia merasa nggak enak sendiri karena memperlakukan kedua anaknya berbeda. “Terimakasih, Bu.” “Ih, nggak usah sungkan. Mei udah kuanggap kayak cucuku sendiri. Ngomong - ngomong Mei udah dua puluh tujuh, kok belum nikah? Sama kayak Jun. Udah kepala tiga tapi nikah aja nggak kepikiran. Nggak sadar apa kalau Neneknya ini semakin tua.” Nenek ngomel - ngomel sendiri sambil membalik ikan bakar dan beberapa seafood yang sedang mereka masak di halaman belakang. Mama meringis, bingung harus menjawab bagaimana. Kenyataannya, Didit dan Mei sudah bertunangan tapi mereka belum ingin terburu - buru menentukan tanggal pernikahan mereka. Kalau anaknya maunya begitu, Mama bisa apa lagi? “Saya nurut saja anaknya mau gimana.” Mama menjawab kalem. April dan Jun datang bersamaan. Akhirnya setelah bujuk - bujukan dan adu logika di halte, Jun akhirnya mengalah dan mau ikut mobil Jun. Mereka berdua agak tercengang melihat apa yang sudah disiapkan Nenek dan keluarga April. Tapi nggak lama karena Nenek sudah memanggil. “Kamu ngapain berdiri aja di situ! Bantuin ini Bundanya Juni keluarin yang sudah disiapin di dalem!” April agak tersentak sedikit karena suara keras Nenek. Wajahnya sempat memerah, tapi lalu tersenyum mengangguk melaksanakan yang diminta Nenek. “Bunda, biar April yang bawa.” Katanya pelan menahan sesak. Lagi, dia dibentak di depan orang lain. Kali ini bukan hanya Jun, tapi ada Mama Papanya dan mungkin Bunda di dalam juga tadi sempat dengar. Rasanya di dalam sini, dia sudah nggak karuan lagi. Maunya dia pergi dari sana, tapi nggak enak sama yang lain. Jadi dia sebisa mungkin bertahan. “Pril, kamu istirahat dulu, Sayang. Kan baru dateng, ini Bunda aja nggak papa. Minum dulu…” “April! Mana tadi anaknya? Disuruh begitu aja lama banget!” Belum sempat Bunda menyelesaikan kalimatnya, suara Nenek yang memanggil April sudah terdengar lagi. Rasanya April nggak ingin berada di sana lagi. Ya malu, ya marah, ya sedih, semuanya bercampur jadi satu di dalam dirinya sampai dia sendiri bingung mana yang harus dimenangkan. “Nggak papa, Bunda. Biar April aja.” *** “Kamu ngapain tho, Jun. Istirahat dulu, biar itu dikerjain sama Papanya Mei.” Neneknya menegur Jun yang ikut bantu - bantu karena nggak enak kelihatan nganggur sendirian. “Nggak papa, Nek. Kalo banyak yang ngerjain kan jadi cepet selesai.” Neneknya berdecak, menarik lengannya menjauh dari sana, membuatnya buru - buru meletakkan piring bumbu yang tadi dipegangnya karena dia membantu Papa mengoles Bumbu pada ikan dan bahan lainnya yang sedang dibakar. Nenek menariknya untuk duduk di kursi dan memberikan segelas minuman untuknya. “Istirahat dulu, nanti kamu kecapean.” Katanya lalu beranjak pergi meninggalkannya. “Pril! Ambilin piring besar buat wadah ikannya ini, Pril!” Jun yang tadinya sudah akan meminum dari gelasnya urung saat melihat April bergegas masuk kembali ke dalam rumah untuk melaksanakan perintah Nenek. Tadi sekilas dia melihat ekspresi itu lagi di wajah April. Ekspresi kaku seperti karet yang ditarik secara maksimal hingga tidak elastis lagi. Ekspresi yang sama tiap kali ada yang menegurnya di depan orang banyak. Selain itu, dia juga menyayangkan sikap Nenek. Nenek menyuruhnya istirahat tapi membuat April mondar mandir begitu dari tadi. Acaranya memang nggak besar. Hanya kedua keluarga mereka yang terdiri dari tujuh orang dan Nenek meminta Mei mengajak beberapa temannya serta. Yang pasti Didit adalah kandidat utama yang diajak. Mungkin teman dekat Mei yang lain. “Eeeh, Mei sudah dateng sama temen - temennya.” Nenek menyambut Mei yang datang bertepatan dengan jamuan siap. On time sekali pemilihan waktu mereka. Nenek menggiring mereka semua untuk duduk di meja panjang yang disiapkan untuk acara ini. April juga ikut duduk di sana. Tapi belum sempat dia duduk dengan sempurna, Nenek sudah memanggilnya dan menyuruhnya melakukan hal yang lain. “April! Ini temen - temen Mei udah pada dateng, kamu ngapain diem aja?! Abilin mereka minum!” April tak menyembunyikan kekagetannya kali ini. Dia menatap tak percaya pada Nenek yang bahkan nggak melihat padanya, lalu menatap Mama dengan tatapan terluka. Sebentar saja. Tanpa berkata apapun, dia kembali berdiri, beranjak ke dapur. Jun ingin menyusul, tapi Neneknya malah mengajaknya ngobrol. Di dalam dapur rumah Jun yang sudah amat familiar itu April yang sudah sampai batasnya menangis. Awalnya hanya lelehan air mata tanpa suara, tapi lama kelamaan isakannya susul menyusul silih berganti. Dia berjongkok di balik konter dapur, berharap nggak ada yang menemukannya sedang menangis sendirian di sini. Dadanya sesak dan sakit. Dia nggak iri dengan Mei yang diperlakukan jauh lebih baik daripadanya. Dia nggak pernah iri. Itu adalah ungkapan perasannya yang paling jujur dari lubuk hatinya. Tapi berharap agar orang lain memperlakukannya dengan layak apakah salah? Dia nggak keberatan kok bantu - bantu begini di ulang tahun Mei. Malah dia senang. Nggak papa Papa Mama lupa sama ulang tahunnya, dia nggak masalah. Toh itu cuma salah satu hari dalam setahun baginya. Nggak ada yang special. Tapi diperlakukan seperti barusan membuat hatinya sakit. Dia malu, dia merasa tersisih, padahal dia sedang berada di antara keluarganya sendiri. “Hiks.” Dia menekan kepalan tangan ke bibirnya, berusaha menahan tangisnya agar nggak keluar lagi. Dia harus keluar, membeawa minuman ini untuk Mei dan teman - temannya. Kalau nggak, Nenek bakal teriak lagi sama dia. Dia sudah cukup malu tadi, nggak tahu apakah setelah ini dia bisa lebih malu lagi. “April?” April kaget saat suara Mama terdengar di belakangnya. Cepat - cepat dia menghapus air matanya dan menepuk - nepuk pipinya agar nggak terlihat terlalu sembab sebelum bangkit berdiri lagi menghadap Mama di seberang konter dapur. “Ya Allah, April kenapa, Nak? Kenapa nangis?” Mendengar pertanyaan Mama, malah seperti memutar tuas untuk membuka bendungan di mata April. Air matanya langsung jatuh susul menyusul tak terkendali. Melihat April seperti itu, Mama yang panik langsung berlari mendekat dan memeluk April. “April kenapa?” April hanya menggeleng. Ini seharusnya bukan hal besar kan. Kalau dia cerita, orang - orang pasti hanya akan menganggapnya lebay seperti yang sudah - sudah. Jadi April hanya menggeleng bungkam. “Cerita sama Mama, Nak. April, kenapa?” “Nggak papa, Ma. April nggak papa.” Dia berusaha terdengar menyakinkan tapi suaranya yang tresendat isakan terdengar amat tidak elegan. Jadi untuk meyakinkan Mamanya dia hanya menggeleng. “Nggak papa, kok nangis?” “Ma, kalau April pulang duluan gimana? Kayaknya April agak nggak enak badan. April mau istirahat aja.” “Tapi makan malam….” “April lebih butuh tidur daripada makan deh, Ma. Sekarang.” Bohong. Aslinya dia keroncongan luar biasa. Apalagi tadi hasil bakaran Papa baunya wangi banget. Tapi kayaknya saat ini dia nggak akan bisa menelan dan mencerna apapun. “Kamu beneran sakit, ya.” April tersenyum tipis. Sakit banget, Ma. “Ya udah, kamu pulang duluan, istirahat. Nanti biar Papa bawain makan malam ke rumah.” “Makasih, Ma. Tolong bilangin Kakak April minta maaf udah bikin kacau pestanya.” “Kamu ini ngomong apa, tho. Istirahat, ya. Kalau ada apa - apa langsung hubungi Papa. Jangan kaya kemaren lagi. Mama nggak mau lihat April sakit kaya kemaren.” PS. Maapkeun baru sempet update, hari ini banyak yang sakit jadi agak uwow hariku wkwkwkw enjoyyy
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN