Bagian 10

2487 Kata
River masuk kelas setelah selesai menyelesaikan hukuman nya, sendiri, lantaran Tissa malah di ajak kabur oleh Arsen. Cowok bernetra sipit itu tidak tau kemana Arsen membawa Tissa pergi. Sepanjang pelajaran River tak memperhatikan sama sekali, keuntungan duduk di bangku belakang, guru yang tengah menjelaskan tidak begitu memperhatikan dia yang sedari tadi melamun. Debaran jantung River mulai kumat saat ingatan nya berselancar pada kejadian di perpustakaan tadi, dimana dia memeluk Tissa. Pelukan pertama yang mereka lakukan.  Regan yang sedari tadi menatap River dengan diam, dia menatap cowok yang tengah menopang dagu dengan kedua tangan nya. Teman sebangkunya kini berubah menjadi real sad boy entah apa alasan nya karena River belum membuka mulut sedari tadi, dia sendiri juga belum menanyakan. Regan berdehem, memecah kesunyian yang menyelimuti mereka berdua "Ehem, lo lagi mikirin apaan sih?" tanya cowok berambut coklat itu. River tersadar dari lamunan nya, menoleh ke arah Regan yang langsung menaikan alisnya, menunggu jawaban River. “Lagi mikirin Tissa" jawab River singkat dan jujur. Regan mendengus, dia ingin jawaban yang lebih panjang. "Udah gitu doang?" tanya cowok itu lagi. River menyipitkan matanya yang memang sudah sipit sejak lahir, kini cowok itu memposisikan duduknya menghadap ke arah Regan "Ya emang gitu doang, emang nya lo berharap gue jawab gimana?" River balas bertanya sekarang. "Lagian pertanyaan lo kan cuma gitu, yaudah gue jawab intinya aja" lanjut cowok ber netra sipit itu lagi. Regan mengembangkan senyum, senyum terpaksa setengah greget tentu saja. "Yaudah, sekarang penjelasan nya kalo gitu" "Penjelasan apa?" "Astagfirullah, ya robi, allahuakbar, Regan sabar kok, ntar kalo nggak sabar pasti gue banting-banting in kursi meja kelas" sela Regan sambil mengelus-ngelus d**a nya. River tersenyum kecil melihat teman sebangkunya yang uring-uringan, sedikit menghibur. Regan bangkit dari kursinya, dari pada meladeni ocehan River yang tidak nyambung sama sekali, lebih baik dia mengisi perut di kantin. Bel istirahat sudah berbunyi sejak tadi, dan dia dengan baik menunggu River yang sepertinya butuh teman curhat. Tapi siapa sangka kalau ujung nya malah bikin darah tinggi.  River menatap Regan yang melenggang pergi, tapi sebelum keluar kelas suaranya menginterupsi sahabat nya itu hingga dia berhenti "Mau kemana lo?" “Kantin" jawab Regan singkat setengah bete. "Tanpa ngajak dan ninggalin gue sendiri disini?" Tatapan Regan kini terkunci pada netra minimalis River, sejak kapan sahabat nya berubah jadi semanja itu, hm? Dengan stok kesabaran terakhir Regan menjawab pertanyaan River barusan "Ya elo maunya gimana? gue slepet juga lama-lama." “Cih!" River ber decih, lantas menyusul langkah kaki Regan keluar kelas. Enak saja dia di tinggal sendiri, mana lagi mode sadboy, siapa yang menyangka kalau nanti ada setan berbisik menyuruh River untuk melompat dari jendela dan berakhir patah tulang lantaran frustasi, hmmm, back to topik, terlalu melantur dan bertele-tele. Cowok ber netra sipit itu mengalungkan lengannya pada leher Regan, dia menoleh dan tersenyum tipis. River tau Regan tengah kesal kepadanya. "Sori deh, habisnya gue khawatir banget sama Tissa" River berceletuk. "Emang nya Tissa kenapa?" "Tadi gue berangkat bareng dia, terus telat dan akhirnya dihukum sama bu Ayu. Nah, pas dihukum tiba-tiba bang Arsen datang dan bawa tuh cewek berpipi pergi terus gak balik lagi. Dan sekarang gue khawatir banget sama dia" Regan mengangguk, dia paham sekarang kenapa cowok itu jadi khawatir, dan.. sedikit cemburu Regan rasa. "Lo udah coba telepon bang Arsen? Terus tanya dimana Tissa sekarang" "Udah, tapi ponsel nya nggak aktif" Langkah kaki mereka berdua memasuki area kantin yang lumayan ramai, River yang dengan sukarela memesankan makanan sementara Regan menunggu. Cowok itu mengeluarkan ponsel yang sedari tadi bergetar, panggilan yang sudah 2x Regan abaikan lantaran dari nomor yang tidak di kenal. Dia pikir setelah tidak diangkat si penelpon tidak akan mengganggu nya lagi, tapi nyatanya sampai sekarang si penelpon itu masih terus menghubunginya. Dengan berat hati, Regan menggeser tombol hijau, menempelkan benda pipih itu di telinganya. "Ya, hallo? Dengan Regan Mahesa Gunawan disini, ada yang bisa di bantu?"  Tidak ada yang menjawab, Regan mengecek ponselnya, masih terhubung, lantas menempelkan benda itu lagi di telinganya "Siapa sih? Nggak usah iseng ya, gue nggak ada waktu buat ngeladenin orang salah sambung kayak lo" meski sudah di cecar seperti itu, masih tak ada jawaban. Saat jempolnya hendak mengakhiri panggilan tersebut barulah si penelpon membuka suaranya. Regan terdiam, samar-samar dia mengingat betul suara yang barusan berucap, cowok itu menelan ludah, tangan nya gemetar dan mulutnya membisu hingga dia tak dapat membuka suara lagi. Hanya diam, hingga panggilan itu terputus. Otak Regan blenk, dia masih mencerna apa yang barusan terjadi. Tangan cowok itu menepuk pipi dua kali, menyadarkan agar kembali ke dunia nyata seandainya dia tengah berada di dunia mimpi, tapi ini bukan mimpi ini kenyataan. Cowok itu menggeleng-gelengkan kepala, "Tadi,.. nggak mungkin Ira, kan?" (^_^)(^_^) “River, jangan lari-lari Sayang” tegur Oma Mirna yang saat ini tengah duduk di ruang makan sembari menikmati sepiring salad buah. Tapi di kagetnya dengan sandal River yang beradu dengan lantai menuruni anak tangga dengan berlarian. Cowok itu berhenti sejenak, menoleh ke arah Oma Mirna, lantas nyengir lebar “Buru-buru, Oma” jawabnya, melanjutkan berlari menuju depan rumah. Cowok itu melupakan pesan Mommy Ra agar menurut pada ucapan sang Oma dan Opa, dasar anak nakal! Apa sih yang membuat River terburu-buru seperti itu? Jawaban nya adalah Arsen, mobil yang baru saja memasuki garasi membuat River langsung berlari untuk mengintrogasi abang nya yang baru saja pulang kuliah.  Arsen adalah tersangka atas menghilang nya Tissa seharian. Cowok berdimple di kedua pipinya baru saja membuka pintu mobil, tapi tangan River terlalu cepat menyambar outer yang melapisi kaus nya membuat cowok itu mau tak mau harus segera turun. “Jelasin ke gue kemana lo bawa Tissa” Arsen sedikit terkejut saat mendengar River yang berteriak kepadanya, dia mengerutkan kening, belum pernah melihat River semarah ini. Cowok dengan wajah blasteran surga itu tersenyum tipis kearah adiknya, lantas melepaskan cengkraman River pada outer nya “Lo bisa tanya tanpa emosi, kenapa lo semarah itu, hm?" Akhirnya dia terlepas, Arsen merapikan outer nya yang sedikit lecek karena ulah River. “Gue khawatir sama Tissa, jadi sekarang please jawab pertanyaan barusan." River menatap abang nya dengan tajam, Arsen masih diam. Mereka saling beradu tatap "Bang, lo tau kan gue bukan orang yang suka menuntut penjelasan apapun kecuali kalau keadaan nya mendesak dan darurat banget" Ya, Arsen sangat tau. Dia tumbuh bersama River, bermain bersama River dan menghabiskan masa kecil dengan River. Jadi cowok itu jelas tau bagaimana sikap River. Sedari kecil River memang seperti itu, dia lebih suka membiarkan apapun terjadi dan dia akan menyikapi semua hal dengan normal. Tidak suka memaksa, tidak suka menuntut, dan jarang peduli dengan urusan orang lain. Itulah River. Tapi kali ini Arsen tidak bisa memberitahu kemana perginya Tissa lantaran cewek itu menyuruh dia untuk tutup mulut. Bukan menjawab, Arsen malah melontarkan pertanyaan kepada River. “Lo suka sama Tissa?” tanya cowok itu mengalihkan pembicaraan. Tatapan nya serius menatap kearah River yang langsung membuang muka, dia tidak mungkin mengaku pada Arsen kalau memang dia menyukai Tissa. Ada hal yang nggak bisa River ceritakan disini, tentang dia yang punya janji dengan Arsen. Cowok tampan itu menarik sudut bibirnya, dia maju selangkah mendekati River "Lo tau kan apa resikonya saat lo menyukai Tissa, dangan bersamaan gue juga menyukai dia. Gue tau lo nggak lupa sama janji itu, jadi.. seharusnya lo tau apa yang seharusnya lo lakuin sekarang, mundur" River terkekeh, dia mundur selangkah agar tidak terlalu dekat dengan Arsen, cowok itu menatap jengkel ke arah Abang nya. "Ah, janji itu ya. Tapi, kenapa lo nggak pacaran sama dia di saat lo punya banyak waktu, sebelum gue dateng? Kenapa disaat gue dateng dan suka sama dia lo malah bilang kayak gitu, hm?" Arsen terdiam, River melanjutkan ucapan nya "Lo dendam sama gue? Bang, dulu gue nggak paham sama apa yang gue lakuin sampe bikin lo cemburu dan akhirnya lo bikin janji konyol itu" "Itu bukan janji konyol!" River benar-benar menyesali perbuatan nya lantaran menyetujui janji itu, padahal dia tidak paham sama sekali dengan apa yang sedang terjadi di masa lalu. Hingga bersamaan dengan dia yang mulai tumbuh besar dan memahami semua hal, kini River jadi tau kalau janji yang dia buat dengan Arsen suatu saat akan menjadi boomerang untuk dia di masa depan, dan kini akhirnya terjadi juga. Arsen menepuk pundak River beberapa kali, sebelum dia melenggang masuk ke dalam rumah. Tapi suara River menghentikan langkah kakinya. "Gue nggak akan mundur gitu aja, Bang. Gue nggak akan mundur cuma gara-gara janji itu, gue akan mundur kalau Tissa sendiri yang minta buat gue buat mundur dan berhenti menyukai dia" “Terserah apa kata lo, tapi gue bisa pastiin kalau semua perjuangan lo akan sia-sia. Karena bagaimanapun keadaan nya dan apapun alasan nya, Tissa pasti akan lebih milih gue daripada lo. Dan kalaupun dia memilih lo, lo harus menuhin janji itu. Gue tau, lo taat sama tuhan dan nggak akan mengingkari sebuah janji" Dihantam bertubi-tubi oleh kenyataan yang baru saja di lontarkan Arsen membuat River diam tak bergerak di tempatnya, cowok itu menatap kosong ke arah depan. Membiarkan Arsen melenggang dengan santai memasuki rumah. Apa iya dia harus mengikhlaskan satu orang lagi? River sudah banyak kehilangan, dia kehilangan Daddy Ken, dia kehilangan gadis masa kecilnya, bahkan dia sekarang kehilangan Mommy Ra sebagai teman keluh kesahnya, dan sekarang apa dia harus rela kehilangan Tissa yang belum sempat dimiliki? River meremas rambut tebalnya, lantas duduk di kursi dengan wajah frustasi. River mengambil ponselnya, dia men dial nomor Mommy Ra. Cowok itu tidak sanggup menampung semua beban yang ada, dia butuh Mommy Ra. Tapi setelah dering ke lima, tak ada jawaban membuat River mendesah kecewa, River lupa kalau di jam sekarang Mommy Ra pasti masih ada di kantor dan sibuk dengan pekerjaan nya. Saat hendak bangkit, River di kagetkan dengan Opa Johan yang berdiri di sampingnya, pria itu menunduk dengan senyum tipis. “Anak cowok kok mellow sih” Opa Johan berjalan, duduk di samping River. Pria berkumis putih yang sebentar lagi bakalan penisun itu memposisikan duduknya menghadap sang cucu. “Lagi ada masalah sama abang mu? Tadi Opa denger sedikit pembicaraan kalian" "Opa nguping ya?" tanya River sedikit  menggoda sang Opa yang langsung terkekeh. River melanjutkan ucapan nya "Nggak ada masalah apa-apa kok, Opa. Tadi River cuma tanya dimana Tissa, tapi Bang Arsen nggak mau jawab" "Kenapa kamu begitu khawatir sama Tissa?" tanya Opa Johan penasaran "River, mereka berdua itu sudah berteman lama, kamu percaya saja sama Arsen kalau dia akan terus menjaga Tissa dan nggak akan ngebiarin cewek itu kenapa-napa. Karena setahu Opa, Arsen tuh suka sama Tissa. Tapi malu aja buat ngungkapinnya" Cowok ber netra sipit itu diam, Opa Johan tidak tau bagaimana perasaan River sekarang. Ucapan nya barusan malah membuat River semakin berfikir kalau dia memang harus mundur. “Opa” panggil River, cowok itu membetulkan posisi nya menghadap ke arah Opa nya “Opa tau dimana gadis panti yang sering main dengan River dulu?” Netra sayu milik Opa Johan menerawang keatas, sudah lama sekali dia meninggalkan panti asuhan dan berhenti menjadi donatur tetap disana lantaran kepindahan nya ke Jakarta. Tapi meskipun begitu, ingatan pria tua itu tidak akan pernah melupakan gadis kecil yang membuat River dan Arsen selalu semangat untuk berkunjung ke panti asuhan. Tangan berkulit keriput itu mengelus puncak kepala River dengan sayang "Iya, Opa akan selalu ingat dengan gadis berambut berantakan itu. Tapi, semenjak keluarga kita pindah ke Jakarta dan Opa berhenti jadi donatur disana, Opa udah nggak tau lagi." River menghela nafas. Dia sudah bisa menduganya. “Kenapa tiba-tiba kamu membicarakan dia? Apa kamu ingin bertemu dengan gadis panti itu lagi?" River langsung mengangguk dengan semangat, dia merindukan gadis panti itu. Meski kecil kemungkinan dia bisa bertemu dengan dia, tapi River tetap menaruh harapan. Kalau tuhan mengizinkan, River akan sangat berterima kasih, mungkin kalau gadis itu kembali dia bisa merelakan Tissa untuk abang nya tanpa bertengkar. River tak ingin ada pertengkaran antara dia dan Arsen, River juga tak ingin persahabatan nya dengan Tissa jadi rusak. "Iya, tapi River nggak bisa berharap banyak kalau dia masih di Bogor, Opa" “Opa akan tanyakan ke pemilik panti, semoga nomornya masih aktif sampai sekarang. Besok, Opa akan kasih tau informasinya ke kamu. Dan kalau dia masih ada disana, Opa akan kasih izin kamu dan Arsen untuk pergi ke Bogor, berkunjung ke panti asuhan itu" Senyum di bibir River langsung merkah, senyum yang bukan hanya melengkung di bibir melainkan juga di mata membentuk bulan sabit yang indah. Semua orang pasti akan terpesona saat melihat senyum River yang indah itu. "Makasih ya, Opa" “Waah, kebetulan pada disini. Oma buat pisang goreng nih, enak dimakan sore-sore gini”  Opa dan cucu itu menoleh, mendapati Oma yang datang dengan pisang goreng panas di atas piring, mereka berdua langsung tampak antusias. Tadi sebelum kemari, Oma sempat menawarkan pada Arsen, tapi cowok itu menolak dengan alasan tidak nafsu makan dan ingin istirahat saja. "Wah, pisang goreng. Oma selalu tau apa yang River inginkan, jadi suka deh" Oma Mirna tersenyum menatap cucunya “Tiap lihat kamu, Oma selalu inget sama Mommy mu. Entah kenapa dia mirip banget sama kamu, River." celetuk wanita tua itu "Kamu mau denger cerita tentang Mommy Ra nggak?" “Ma, kalau sampai Ra tau bakal ngamuk dia” Mereka bertiga tertawa, kebersamaan kecil membuat River merasa hangat. Dia merasa di terima disini, River senang dan nyaman. Di sela Oma bercerita sesekali mereka tertawa, tawa lepas hanya terlihat dari wajah River sementara Oma dan Opa nya seperti menahan tangis saat mengingat masa lalu. Sebenarnya Oma Mirna juga tidak ingin mengingat masa lalu itu, masa dimana dia membenci anak nya sendiri, mengingat semua itu membuat Oma Mirna sesak. Dia selalu merasa bersalah kepada Radista. Tapi yang dia ceritakan tentu saja bagian baiknya, melewati bagian buruknya. Tanpa diperhatikan siapapun, cowok berambut cokelat sedari tadi berdiri di luar pagar rumah keluarga Purnama. Dia hanya bisa menatap kebersamaan kecil River dengan kakek dan neneknya, sementara dia? Regan tak punya siapa-siapa. Kakek nya berada di luar negeri semuanya, jadi untuk bercengkrama sehangat itu Regan jelas tidak bisa. Bahkan dengan kedua orang tuanya yang serumah pun, Regan tak punya kesempatan. Cowok itu menarik nafas panjang, lantas menghembuskan nya. Dia tidak boleh iri dengan kebahagiaan orang lain. Tidak mau mengganggu, Regan memilih untuk berbalik arah dan pulang. Hendak mencegah, tapi telat. Arsen yang sedari tadi melihat keberadaan Regan hanya bisa menatap sendu. Sudah lama ia tinggal di perumahan ini, tapi tak sekalipun dia kenal dengan Regan sebelumnya. “Broken home ya” gumam Arsen, lantas cowok itu masuk ke dalam kamar nya lagi. Ponsel Arsen bergetar, nama Tissa terpampang disana. Dengan segera cowok itu menempelkan benda pipih di telinga nya. “Hallo, gimana, Tiss?” tanya Arsen spontan. Sebenarnya bukan hanya River saja yang cemas akan kondisi Tissa, melainkan Arsen juga merasakan hal yang sama. Tissa terdiam sejenak, sebelum akhirnya cewek itu membuka suaranya “Gue mau minta tolong sama lo, buat bikinin surat izin ke sekolah. Kayaknya gue bakal lama disini” “Lo tenang aja, Tiss. Gue bisa hendle semuanya, lo fokus disitu aja nemenin nyokap lo” jawab Arsen "Urusan yang disini biar gue yang atur" “Thanks ya, Sen” Tissa berucap tulus, suaranya serak. Sepertinya cewek berpipi itu habis menangis “Oh iya, tetap jaga rahasia ya. Gue nggak mau ada yang tau kalau sekarang gue lagi ada di Aussie" Arsen mengangguk dan mengiyakan. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN