Mengambil Kembali Milikinya

2245 Kata
Aubrey menatap lega anak-anaknya yang sudah tertidur lelap pada malam ini setelah perjalanan panjang dari Macau ke Jakarta. Aubrey merasa melahirkan Max dan Mia adalah keputusan paling tepat yang pernah ia buat dalam hidupnya. Bersama dua anak kembarnya, Aubrey banyak belajar mengenai arti hidup sesungguhnya, ia juga semakin menghadapi dunia yang kadang tidak adil padanya. Mereka bertiga sudah tiba di rumah Bibi Aubrey yang bernama Kartika—Aubrey biasa memanggilnya tante Tika dan anak-anak Aubrey memanggilnya dengan panggilan Nenek. Tika adalah adik kandung dari ibu Aubrey, suaminya sudah meninggal dan ia tidak memiliki anak. Tika hanya hidup bersama kucing-kucingnya yang ia rawat sepenuh hati. Semenjak ibu kandung Aubrey meninggal dan Aubrey merantau ke Macau, ia hanya berbagi kabar dengan Tika. Jadi setelah mendengar Aubrey akan pulang ke Indonesia, Tika dengan senang hati mempersilahkan Aubrey dan anak-anaknya untuk tinggal bersamanya di rumah yang nyaman ini. “Max dan Mia sudah tidur, Brey?” Tanya Tika sambil berbisik ketika membuka pintu kamar Max dan Mia. Aubrey menoleh kearah pintu, lalu melangkah keluar kamar menghampiri Tika dan kemudian menutup pintunya. “Mereka semua sudah tidur, tante.” “Kamu yakin mau datang ke rumah itu?” “Aubrey yakin, tante.” Jawab Aubrey tanpa ada keraguan sama sekali dalam dirinya. Tika kemudian mengeluarkan sepucuk kertas dari dalam kantung bajunya. “Ini alamat baru rumah Ayahmu.” Kening Aubrey mengernyit ketika menerima alamat yang tertulis di kertas itu. “Lalu rumah lamaku?” “Sudah dijual setahun setelah kamu meninggalkan Indonesia.” Ada lubang kekecewaan dalam hati Aubrey begitu mendengar kabar tersebut. “Itu rumahku dan ibu, tante…” lirihnya dengan suara parau. Ia masih sangat kecewa ayahnya dengan mudah menjual rumah yang dahulu mereka huni bertiga penuh cinta dan kehangatan. Ayahnya seperti tidak perduli dengan kepergian Aubrey ke Macau dan pasti ibu tirinya yang menghasut ayahnya agar menjual rumah lama Aubrey. Tika tidak mengatakan apa-apa, hanya menarik Aubrey kedalam pelukannya dan mengusap rambutnya dengan penuh kasih sayang. “Yang sabar ya Aubrey, tante juga tidak bisa lagi bilang apa-apa ke ayahmu ketika dia menjual rumah itu. Istri barunya benar-benar berhasil menghasutnya.” “Aku akan benar-benar mengambil hak milikku, tante. Masih banyak peninggalan ibu dari rumah lama itu. Bahkan rumah lama itu atas nama ibu!” Tika mengangguk mengerti. “Tante akan dukung kamu, Aubrey. Cepat pulang setelah kamu mendapatkan hak kamu atas peninggalan ibumu, oke?” “Iya tante, aku tahu.” “Jaga diri baik-baik, Aubrey. Jangan terlibat masalah.” Tika terlihat sangat khawatir pada Aubrey yang akan kembali menemui Ayah, ibu tiri serta saudari tirinya. Karena Tika tahu, Aubrey kini akan berhadapan dengan orang-orang terkemuka. Sedangkan wanita itu terlihat sangat tenang. Aubrey dan Tika kemudian menuruni anak tangga rumah, tapi ketika hendak ke pintu keluar, tiba-tiba Aubrey mendengar suara Max memanggilnya. “Ibu!!!” Max berlari dan langsung memeluk Aubrey yang berjongkok dihadapannya. “Ibu mau kemana?” Aubrey tersenyum lembut. “Ibu mau pergi sebentar, Max. Ada urusan. Ingat apa yang ibu bilang pada kamu dan Mia sebelum ke Indonesia?” “Harus nurut, baik dan membantu nenek. Tenang saja bu, Max dan Mia nggak akan merepotkan nenek!” Jawab Max. “Anak pintar.” Aubrey lalu mengecup dahi dan kedua pipi Max, lalu memeluknya lagi. “Ibu titip Mia, ya.” “Siap, ibu!” Jawab Max, ia cukup mengerti untuk ukuran bocah lelaki berusia lima tahun. Ketika Aubrey sudah menjauhi pekarangan rumah, Max kembali berteriak. “Hati-hati, ibu! Max sayang ibuuu!” Aubrey menganggukkan kepalanya, ia tersenyum lebar. Tidak ada rasa takut sama sekali dalam dirinya untuk menemui orang-orang terkemuka itu. Ia hanya cukup ke rumah ayahnya, mengambil hak-nya serta barang-barang peninggalan ibunya dan tidak akan berurusan lagi dengan keluarga baru ayahnya. *** Taksi yang dinaiki Aubrey berhenti begitu memasuki gerbang cluster perumahan dan terjebak macet di perumahan. Iya, macet di perumahan elite yang berisi mobil-mobil mewah disini. Aubrey pada akhirnya turun terlebih dahulu dan berjalan sendirian menuju alamat rumah ayahnya yang sudah berada di tangannya. Sepanjang jalan Aubrey tak henti-hentinya terheran melihat mobil-mobil mewah disekitarnya, mobil-mobil dari beberapa stasiun televisi ternama, sampai mobil polisi yang menjaga area ini. Langkah Aubrey melambat ketika melihat kerumunan orang di depan sebuah rumah mewah seperti design bangunan eropa. “Ini rumah Ayah sekarang?” Aubrey sampai menggelengkan kepala dan berdecak kagum melihat rumah yang sangat mewah dihadapannya ini. Ada sebuah karpet merah yang digelar di depan pekarangan rumah untuk menyambut para tamu yang sudah datang. Banyak sekali wartawan, kameramen, bahkan fans-fans selebriti yang terkenal berkumpul di dekat karpet merah itu, meliput tamu-tamu yang datang di rumah ini. Aubrey dengan nekat menelusup masuk ke kerumunan para wartawan dan cameramen itu. “Maaf, ada acara apa ya di rumah ini?” tanya Aubrey pada salah satu reporter di sampingnya. “Kamu nggaktahu? Ini acara ulangtahun Zia Lee!” Lalu reporter itu menatap penampilan Aubrey sekilas. “Reporter baru, kah? Dari stasiun tv mana?” Namun Aubrey tak menjawab, menghiraukannya begitu saja dan bergerak kearah lain—berusaha menembus kerumunan wartawan. Hingga ia kemudian terdorong-dorong semakin kedepan ketika ada aktris ternama kembali datang dan melangkah diatas red carpet. “Asisten!” ada seorang wanita yang cukup sibuk dengan gaun panjang menjuntai seorang aktris yang baru saja turun dari mobil dan hendak berjalan di red carpet. Wanita itu lalu kembali berteriak dihadapan wajah Aubrey. “Woy, asisten!” “Kamu bicara dengan saya?” Aubrey menunjuk dirinya sendiri. Aktris tersebut lalu menatap dandanan sederhana Aubrey yang seperti asisten aktris kebanyakan. “Kamu asisten, kan? Sini! Tolong bantu saya mengangkat rok gaun ini.” “Maaf, saya tidak mau. Saya sibuk!” Aubrey menjawab dengan dingin dan pergi melenggang begitu saja melintas di tengah jalur karpet merah tersebut. Seorang reporter dengan cepat meliput Aubrey yang baru saja ribut dengan seorang aktris ternama Indonesia dan kemudian melintasi red carpet dengan santau memasuki rumah Zia Lee. Aktris wanita itu cukup terkejut karena belum pernah ia diperlakukan sedingin itu oleh orang lain. Wajahnya sampai memerah karena malu dan marah diperlakukan seperti itu oleh Aubrey. Aktris itu menatap punggung Aubrey dengan kesal sambil menggertakan giginya. Aubrey melangkah dengan tegap, pandangan mata lurus kedepan tanpa gentar seperti ayam jago yang siap bertarung. Namun Aktris itu tidak bisa berteriak kesal padanya karena kini banyak wartawan meliputnya. Aubrey pantas dikira seorang asisten. Karena pakaiannya sangatlah santai dan sederhana. Berbanding terbalik dengan wanita-wanita disini yang tampil dengan dress terbaik milik mereka serta memakai parfum-parfum yang harum semerbak. Bahkan pelayan yang ditugaskan dalam pesta ulangtahun Zia Lee memakai setelan jas rapi dan berpenampilan lebih baik dari Aubrey. Namun penampilan sederhana ini sangatlah menguntungkan Aubrey. Ia dikira asisten aktris dan diperbolehkan masuk kedalam rumah ini—kedalam pesta ulangtahun Zia. Aubrey sampai tertegun melihat rumah yang begitu mewah ini. Semua furnitur di rumah ini sangatlah berkelas, ada tangga melingkar di rumah ini, jendela kaca yang sangat besar, grand piano di tengah-tengah ruangan yang dijadikan untuk pesta kali ini dan lampu gantung kristal di tengah ruangan terlihat sangat mewah mendominasi keindahan ruangan ini. Ia merasa dunia semakin tidak adil padanya atau ayahnya tidak adil padanya. Semenjak ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi, Aubrey dibiarkan hidup penuh dengan kesusahan bersama ibu dan saudari tirinya. Uang pas-pasan karena uangnya diatur oleh ibunya, banyak aturan hingga sikap dingin ayahnya kepadanya karena dipengaruhi oleh ibu tiri Aubrey. Aubrey sudah bertekad tidak ingin bertemu dengan ayahnya lagi dan menginjakkan kaki di rumah ayahnya semenjak terakhir kali ayahnya mengantarkannya ke bandara. Ya, Ayah Aubrey mengantarkan Aubrey ke bandara saat hendak melanjutkan kuliah di Macau. Tapi setelah itu, ayahnya seolah lepas tanggung jawab dan tidak mau perduli lagi pada Aubrey. Langkah kaki Aubrey menuntunnya ke tangga melingkar di rumah ini. Suara grand piano yang dimainkan seorang pianis mengalun lembut menyambut tamu-tamu yang datang di pesta ulangtahun Zia. Sampai Aubrey berdiri di balkon yang menghadap kedalam ruangan, melihat dari atas para tamu undangan kalangan selebriti dan orang-orang terkemuka di Indonesia. Pada saat itulah Aubrey melihat pasangan ibu dan anak—Sarah dan Zia Lee. Aubrey memiringkan kepalanya, tersenyum getir melihat betapa bahagianya mereka berdua yang telah menghancurkan hidup Aubrey lima tahun yang lalu. Lihatlah senyum bahagia Zia sekarang, dirinya dikelilingi oleh para selebriti muda yang tampan dan cantik. Zia Lee kini termasuk selebriti yang terkenal dengan kekayaannya juga. Setelah Zia masuk di dunia hiburan, sepertinya dia telah meninggalkan masa-masa gelapnya ketika menjadi seorang simpanan lelaki hidung belang dan melayani pria mana saja yang mampu membayarnya untuk bercinta. Kini Zia menampakkan image baru—seorang aktris muda berprestasi dan kaya. Orang-orang juga tahu perjuangan Zia untuk bisa menjadi aktris dan model terkenal seperti sekarang. Mulai dari peran rendahan yang tidak diketahui orang, hingga menjadi pemeran utama pada sebuah film layar lebar. Selama lebih dari empat tahun, Zia benar-benar meroket dalam dunia hiburan dan belum pernah ada skandal sama sekali, mereka tidak tahu saja jika seorang Zia Lee yang banyak penggemarnya ini pernah menjual saudari tirinya sendiri dan membiarkan Aubrey diperkosa. Sarah sendiri terlihat sangat anggun dan berkelas, menyapa para tamu dengan memegang segelas wine di tangannya. Senyumnya elegan, bersikap ramah kepada siapapun yang menyapanya atau mengajak bicara. Sedangkan Zia semakin lama semakin resah, karena Gabriel tak kunjung datang. Tatapan matanya berkeliling mencari pria dingin nan ketus namun mampu meluluhkan hatinya itu. Tapi kemudian tatapan Zia terkunci pada seorang wanita berpakaian biasa yang sangat dikenalnya. Dengan segera senyum di wajahnya membeku, matanya melebar tak percaya menatap Aubrey yang kini sudah turun dari anak tangga dan berada diantara kerumunan para tamu undangan. Tanpa pikir panjang, Zia langsung keluar kerumunan teman-temannya yang sedari tadi mengajaknya berbicara. “Kalian lanjut ngobrol dulu aja, aku permisi dulu. Ada keluarga yang datang, nanti aku kembali lagi, okay!” Ucap Zia pada teman-temannya. Zia segera menarik Aubrey begitu bertemu, mengajaknya ke sebuah lorong sepi diluar rumah agar tidak ada yang melihat mereka berdua. “Kenapa kamu kembali kesini?! Masih punya muka kamu datang kesini?!” Berbanding terbalik dengan Zia yang penuh emosi, Aubrey malah menatapnya dengan tenang. “Aku ingin mengambil hak atas rumahku dan barang-barang peninggalan ibuku!” Ada beberapa tamu undangan yang lewat, membuat Zia pura-pura tersenyum ramah dan mengangguk sopan kearah tamu yang menyapanya. Lagaknya para tamu itu tahu bahwa kini Zia sedang berbicara serius dengan seseorang, jadi mereka tidak menganggu Zia atau menghampirinya terlebih dahulu. “Siapa yang menyuruhmu kembali ke Indonesia? Aku sudah muak melihat wajahmu!” “Aku sudah lulus, tentu saja aku harus kembali.” Aubrey bahkan tertawa kecil dan mencibir menjawab umpatan Zia. Zia mengangkat wajahnya, menatapnya dengan angkuh. “Barang-barang ibumu sudah aku buang!” Gigi Aubrey bergemeletuk menahan amarah, tangannya mengepal erat, sekarang ia begitu menahan diri untuk tidak memukul kepala Zia disaat banyak tamu-tamu berdatangan. “Kamu sangat tahu waktu, Aubrey. Sengaja kan kamu datang kesini disaat aku mengadakan pesta ulangtahunku? Kamu benar-benar menghancurkan hariku. Bisa-bisanya kamu datang dengan pakaian selusuh ini, seperti pemulung! Memalukan!” Ejek Zia. Aubrey tidak bereaksi banyak terhadap ejekan-ejekan Zia. Tetapi matanya menjadi lebih dingin dan ia semakin tak acuh. “Kalau kamu pikir aku memalukanmu, maka tinggal berikan aku barang-barang peninggalan ibuku.” “Barang apasih yang kamu maksud? Baju-baju lusuh dan sepatu jeleknya itu? Sudah aku buang!” Jawab Zia dengan kesal. “Sudah bertahun-tahun juga kamu menghilang. Siapa juga yang mau menyimpan sampah itu. Kamu minta aku mengambilkanya? Kamu nggak lihat kamu berada dimana sekarang? Lihat aku begitu sibuk sekarang!” Aubrey tersenyum sinis. “Baju dan sepatu lusuh? Perhiasan-perhiasan ibuku dan surat rumah lama itu masih aku tinggalkan begitu saja saat aku pergi. Aku tidak akan pergi sebelum aku mendapatkan kembali semua barang peninggalan ibuku!” “Heh, kamu ngancam aku?!” Mata Zia menyalak marah. “Aubrey, buka matamu! Lihat kamu sekarang untuk melihat perbedaan status kita lebih jelas. Kamu bukan siapa-siapa disini, aku tuan rumahnya, aku lebih hebat darimu sekarang. Bahkan kalau aku mau, aku bisa panggil security sekarang untuk mengusirmu!” Omelan Zia terputus ketika ia melihat mobil sport mewah milik Gabriel memasuki pekarang rumahnya. Pria itu benar-benar datang untuknya, datang sendiri membawa sebuah buket bunga besar dan hadiah yang dititipkan kepada pelayan rumahnya karena Gabriel kini sudah melihat Zia yang berdiri disamping taman rumahnya. Zia kembali menatap Aubrey sekilas, menatap penuh amarah, lalu tiba-tiba menunduk dan berbisik pada Aubrey dengan kejam. “Aku masih menyimpan semua rongsokan milik ibumu itu dan tenang saja, perhiasan ibumu serta surat rumah juga masih dalam kuasaku dan ibuku. Kamu mau ambil? Masuk saja sana dan ambil di dalam.” Zia lalu hendak membalikkan badannya, lalu ia menyentuh bibirnya sendiri dan memasang ekspresi terkejut ketika kembali menatap Aubrey. “Oh, kamu tahu Aubrey, aku sangat berharap kamu mati lima tahun yang lalu.” “Zia!” Aubrey benar-benar kehilangan kesabarannya sekarang. “Jadi nggak ambil rongsokan ibumu dirumahku? Tapi kayaknya nggak mungkin deh, karena sebelum kamu ambil, besok aku akan membakar semua barang ibumu itu. Lagipula siapa yang masih menyimpan barang rongsokan orang yang sudah mati?” Plak! Aubrey tidak bisa menahan diri lagi untuk tidak menampar wajah cantik Zia. Wanita itu berteriak sambil memegang pipinya, langkahnya sampai terhuyung mundur, menatap Aubrey dengan takut. Aubrey kembali mendekatinya, melayangkan tangannya kembali ke pipi Zia namun kemudian seorang pria menahan tangannya. “Hentikan, kenapa kamu menamparnya?!” pria itu menatap Aubrey dengan menusuk, begitu dingin, tangannya begitu kencang menggenggam pergelangan tangannya. Tatapan mata Aubrey langsung terkunci oleh tajamnya mata Gabriel yang menatapnya. Namun bukan karena ketampanan Gabriel yang membuatnya terhenti. Melainkan wajah tampan itu, wajah tampan yang kini sangat dekat dengannya, begitu mengejutkan karena sangat mirip dengan wajah anak lelakinya dirumah. --- Follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN