Ke esokkan harinya, Andrian bangun lebih pagi dari Aline. Karena dia masih merasa bersalah pada wanita itu. Andrian ingin membuatkan wanita itu sarapan, hanya nasi goreng biasa yang menurutnya simpel dan tidak membutuhkan waktu banyak. Terlebih dirinya akan berangkat kerja, jadi membuatkan nasi goreng tidak akan membutuhkan waktu yang lama.
Aline masih dengan stelan tidurnya, dengan rambut yang wanita itu gelung tinggi menampakkan leher jenjangnya. Pemandangan seperti ini memang sering Andrian lihat, namun tetap saja membuat dia selalu berdebar. Apalagi Aline yang selalu terlihat cantik setiap harinya, membuat dirinya mendapatkan vitamin setiap harinya.
Aline memandang Andrian bingung, pria itu sudah berpakaian rapi namun masih sibuk dengan penggorengan. Kemeja putihnya dilapisi oleh apron berwarna peach membuat Andrian terlihat menggemaskan di matanya. Dia pikir pria seperti Andrian memakai apron akan terlihat aneh, tapi pemikirannya itu dibantahkan oleh Andrian--- suaminya sendiri. Membuat sudut bibirnya berkedut, tersenyum.
"Kau sudah bangun?"
Aline mengangguk lalu duduk di kursi bersebrangan dengan Andrian.
"Makanlah, semoga kamu suka." Titah Andrian sambil menaruh nasih goreng di hadapan Aline.
Sejujurnya Aline tidak pernah sarapan dengan nasi, perutnya selalu berulah jika dirinya mencoba makan, makanan yang berat di jam-jam seperti ini. Perutnya akan mulas, tapi melihat nasi goreng dihadapannya ini membuat dia tidak bisa untuk menolaknya.
Aline mencobanya dengan pelan, Andrian melihatnya dengan harap-harap cemas. Meskipun wajah Andrian biasa-biasa saja, namun di dalam hatinya perasaannya itu berdebar.
"Kau menconteknya di internet?" Tanya Aline begitu dirinya menyendokan nasinya ke dalam mulut.
Andrian menggeleng mendengar pertanyaan Aline.
"Bagaimana rasanya?"
"Lumayan, rasanya seperti nasi goreng yang sering aku beli."
Andrian mendengus mendengarnya.
"Bagus lah kalau begitu,"
Andrian kemudian duduk berhadapan dengan Aline. Pria itu menyesap teh hijau nya dengan khidmat. Aline yang melihat Andrian hanya meminum teh hijau pun merasa aneh.
"Mengapa kau tidak sarapan?"
"Ini, aku sedang sarapan."
Aline berdecak.
"Kau hanya minum, bukan makan. Mengapa kau tidak makan? Bukankah kau membuat nasi goreng ini banyak?"
"Tidak, aku sudah cukup melihatmu sarapan. Perutku rasanya sudah kenyang ketika kamu memakannya dengan lahap."
Andrian menggoda Aline, membuat wajah wanita itu memerah.
"Kau menyebalkan ya,"
Kali ini Andrian tergelak mendengarnya.
"Jadi, apakah kamu sudah memaafkan ku?"
Aline menaruh sendoknya di atas piring yang telah kosong, entah nasi goreng itu enak atau Aline memang sedang lapar. Meskipun mungkin tidak keduanya, tapi melihat masakan yang dimasakan olehnya habis Andrian begitu senang.
"Tidak, kau saja tidak memakan masakan ku."
Andrian jadi teringat kemarin malam, pria itu kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Mungkin itu pelariannya yang terlihat kikuk.
"Maafkan aku soal kemarin,"
Aline mengibaskan tangannya, pertanda dia tidak ingin dibahas.
"Jika kau bisa memasak mengapa kau tidak memasak? Mengapa kita harus makan di luar?"
"Memasak membutuhkan waktu yang lama, sedangkan aku harus pergi pagi-pagi."
Aline mengangguk membenarkan
"Kalau begitu, aku pergi ke kantor dulu."
Aline mangangguk kemudian beranjak dari duduknya.
"Apa kau benar-benar tidak akan sarapan?"
Andrian mengangguk yakin.
"Bagaimana kalau aku buatkan makanan untuk makan siang mu?"
Dan Andrian menggelengkan kepalanya, membuat Aline kesal bukan main. Dia tahu dia tidak bisa memasak seperti Andrian, tapi apa salahnya sih jika dia ingin membantu pria itu. Hanya membuatkan omelet dan sosis bakar kan dia juga bisa, toh selama beberapa bulan ini dia juga selalu membuatkan pria itu sarapan seperti itu. Tapi kenapa sekarang Andrian menolaknya!
"Tidak perlu, aku tinggal memasukannya ke dalam wadah."
Aline menaikan salah satu alisnya, tidak mengerti dengan ucapan Andrian.
Pria tampan itu mengambil sebuah wadah plastik yang terdapat tutupnya, dia kemudian mengambil udang pedas saus barbeque yang berada di dalam microwave. Dia kemudian memindahkan makanan itu ke dalam wadah yanh sudah dia sediakan. Aline yang melihatnya dari samping melotot, tidak percaya jika masakannya kemarin malam tidak pria itu buang. Semua makanan buatannya Andrian pindahkan ke dalam wadah plastik. Tapi anehnya makanan tersebut hanya terisa sedikit, cukup untuk satu porsi. Padahal kemarin malam dia membuatnya untuk 2 porsi, lalu satu porsi lagi ke mana?
"Apa kau memakannya semalam?" Tanya Aline yang begitu penasaran dengan masakannya yang tersisa sedikit.
Andrian mengangguk membuat Aline tidak percaya.
"Mengapa kau memakannya?!"
Andrian kini menghadap Aline sepenuhnya. Alisnya terangkat tinggi tidak mengerti dengan pertanyaan Aline.
"Memangnya kenapa? Bukankah masakan kemarin itu untukku?"
Iya sih makanan itu untuknya. Tapi mengapa dia memakannya?
"Bukankah kau tidak suka aku memasak makanan untukmu?"
"Tidak, tentu saja tidak. Aku bukannya tidak menyukai kau memasak, aku hanya tidak ingin membuatmu repot dan terluka gara-gara kau memasak untukku. Ingat kau di sini bukan asisten rumah tangga, kau di sini pemilik rumah ini."
"Tapi, aku kan ingin memasak untukmu."
Andrian menghela napasnya, wanita di depannya itu benar-benar keras kepala.
"Baiklah, aku mengizinkanmu."
Aline tersenyum mendengar jawaban Andrian.
"Sebaiknya kau segera bersiap, biar aku yang membereskan ini."
Kedua tangan Andrian berhenti di udara. Ia memandang Aline dengan pandangan yang sulit di artikan.
"Sudah sana, aku yang membereskan ini."
Andrian kemudian mundur ke belakang membiarkan Aline mengambil alih tugasnya.
"Terima kasih,"
Andrian berujar sambil pamit ke atas untuk mengambil jas dan juga tas kerjanya. Aline mengangguk dengan tangan yang sibuk memindahkan makanan.
Setelah kepergian pria itu, Aline masih asyik dengan pekerjaannya. Sejujurnya dia tidak percaya jika Andrian memakan masakannya, terlebih pria itu kemarin membuat mood nya rusak. Tapi melihat Andrian yang bahkan membekal masakannya membuat dirinya begitu senang. Dia jadi ingin memasak hal yang lain yang akan pria itu sukai, tangan Aline kemudian mengambil sendok lalu menyendok udang saus barbeque buatannya untuk dia cicipi saat Andrian telah pergi. Dia juga mengambil beberapa masakan yang lain yang kemarin dirinya masak.
Tak ingin Andrian mengetahui apa yang dilakukannya, Aline segera membereskan pekerjaannya. Dia lalu berjalan ke ruang tamu menunggu Andrian turun, dan tak lama kemudian pria itu turun dengan penampilan yang semakin rapi. Aline lalu menyerahkan sebuat tas kecil yang berisi kotak bekal kepada Andrian. Pria itu mengambilnya dengan senyum tampannya, yang mungkin untuk sebagian wanita di luaran sana. Senyum milik Andrian adalah vitamin, tapi rupanya itu tidak berlaku untuk Aline. Karena pria itu tidak terpesona dengan senyumana suaminya sendiri. Hatinya sudah penuh oleh mantan kekasihnya, sehingga pria setampan Andrian saja Aline tidak menyukainya.
"Nanti malam, kau ingin aku bawakan apa?"
Aline sejujurnya kaget ditanyai seperti itu oleh Andrian. Karena tidak biasanya Andrian bertanya seperti itu, biasanya Andrian membawakan saja tanpa perlu bertanya. Dan ini membuatnya bingung.
"Kau ingin dimsum lagi?"
Aline secara refleks menggeleng.
"Lalu?"
"Untuk sekarang aku belum ingin apa-apa, tapi ... Bisakah nanti aku mengabarimu jika aku ingin sesuatu?" Tanya Aline dengan ragu-ragu.
Andrian tersenyum mendengarnya.
"Tentu, kau bisa mengabari ku."
Andrian kemudian pamit untuk bekerja, Aline mengangguk membiarkan pria itu pergi. Sedangkan dirinya pergi kembali ke dapur, untuk mencoba masakannya kemarin malam. Aline mencoba udang saus barbeque yang dibuatnya, matanya melotot begitu merasakan masakannya. Udangnya memang matang, tapi rasanya sungguh mengesalkan. Rasa masakannya begitu asin, membuat dia segera membuang makanannya dan meminum air putih.
Kemudian dia mengambil bakwan jagung, dan rasanya kembali membuat dirinya membuang bakwan jagung tersebut. Kali ini bukan asin, tapi hambar.
Aline menghela napasnya, bisa-bisanya Andrian memakan masakan hancurnya. Dirinya merasa sedih dan tidak becus, masak seperti ini saja dia tidak bisa. Tapi mengapa Andrian masih mau memakannya? Apakah karena kasihan kepadanya? Atau apa? Dia benar-benar malu dan tidak berguna. Padahal masak masakan seperti ini harusnya tidak sulit bukan? Tapi mengapa dia tidak bisa?
Aline menghela napasnya, dia kemudian kembali ke atas kamar untuk membersihkan diri. Membiarkan dapur yang masih berantakan diberesi oleh asisten rumah tangganya. Mood Aline benar-benar turun, dan ia malas untuk membereskan dapur. Jadi dia menyerahkan tugas itu kepada asisten rumah tangganya, sedangkan dia sendiri membereskan perasaannya yang berantakan.
Tbc