Andrian masih dengan setia duduk di samping ranjang yang ditiduri Aline dengan pelan ia mengusap rambut istri sementaranya itu dengan lembut. Tak ingin Aline terbangun oleh aksinya, Andrian memilih untuk menghentikan kegiatan mengusap rambut Aline. Dan untung saja, ketika dirinya sudah berhenti Aline terbangun dari tidurnya. Mata cantiknya seketika memandang Andrian yang duduk di sampingnya.
"Kau sudah pulang?"
Andrian mengangguk.
"Apakah ini sudah malam?"
Andrian menggeleng membuat Aline seketika terbangun, dan membenarkan letak duduknya jadi menyender di kepala ranjang.
"Kita ke klinik."
Ajak Andrian yang seketika mendapat tatapan horor dari Aline.
"Aku tidak sakit, untuk apa ke sana!"
Andrian menghela napasnya. "Kaki mu terkilir."
"Hanya terkilir tidak perlu ke klinik."
"Baiklah, kalau begitu saya panggilkan tukang urut bagaimana?"
Wajah Aline seketika berubah menjadi pucat, yang benar saja.
"Tidak mau! Itu pasti akan sangat menyakitkan."
"Lalu bagaimana kamu bisa sembuh jika tidak di obati, hm?"
"Memakai salep saja."
Andrian menggeleng. "Tidak bisa, luka di kakimu tidak seringan di tangan. Kamu harus di urut."
"Aku tidak mau." Jawabnya dengan nada merengek.
"Itu tidak akan lama, saya janji kamu bahkan tidak akan merasakan kesakitan."
Aline menatap Andrian aneh, dia jelas tidak percaya. Mana mungkin di urut tidak akan membuat kakinya sakit, itu mustahil sekali.
"Saya janji, jika kamu mau di urut. Saya akan mengabulkan keinginan kamu."
"Hanya itu?"
Andrian menaikan alisnya bingung. Memangnya apalagi?
"Kamu ingin apa memangnya?"
Aline seketika berpikir dengan tangan yang memegangi dagu.
"Setiap pulang dari kantor kau harus membawa makanan kesukaanku."
Andrian mendengus sambil tersenyum, lalu dia mengangguk menyetujui.
"Lalu?"
Aline kembali berpikir lagi yang membuat Andrian gemas melihatnya.
"Untuk saat ini hanya itu saja."
"Benar? Tidak ingin yang lain?"
Aline mengangguk yakin.
"Baik, kalau begitu saya akan minta tolong bu Dewi, untuk memanggil tukang urutnya ke sini."
Aline mengangguk dengan tidak yakin.
"Kau benar-benar kan, jika di urutnya tidak akan sakit?"
Andrian mengangguk mantap, yang tetap saja menurut Aline suami sementaranya itu berbohong kepadanya.
"Kamu ingin makan dulu? Sebelum tukang urutnya kemari?"
"Boleh,"
"Tunggu di sini saya akan turun ke bawah."
Aline mengangguk. "Kau sudah makan?"
Aline bertanya ketika Andrian sudah berdiri di ambang pintu.
Pria dengan setelan kantornya itu tersenyum. "Saya akan makan setelah kamu selesai."
Aline seketika menggeleng. "Tidak, kau harus makan bersama ku."
"Jika saya makan, kamu bagaimana?"
"Bagaimana?"
"Iya, jika saya makan lalu kamu bagaimana? Tanganmu masih sakit kan?"
Aline dengan tegas menggeleng. "Tidak, pergelangan tangan ku sudah sembuh."
Andrian menyipitkan matanya, menatap Aline dengan tatapan yang curiga.
"Tanganku sudah sembuh."
Andrian diam saja masih memandang Aline dengan tatapan yang seolah Aline berbohong, dan jelas saja itu membuat Aline kesal.
"Kau tidak percaya?"
Aline berdecak kemudian mengambil ponselnya yang berada di samping tempat tidurnya. Jika kemarin tangannya masih sangat nyeri untuk mengambil sesuatu, tapi sekarang tidak lagi.
"Lihat ini," Aline menggoyangkan ponselnya ke hadapan Andrian.
"Sudah tidak sakit lagi?"
Aline mengangguk mantap.
"Baiklah kalau begitu, saya percaya."
Aline langsung tersenyum mendengarnya.
"Kalau begitu saya turun ke bawah mengambilkan makanan untuk kita berdua."
Aline mengangguk menyetujui, Andrian kemudian beranjak dari ranjangnya lalu berjalan meninggalkan kamar.
Andrian masih tidak percaya dengan perubahan Aline kepadanya, semakin hari dia merasa Aline semakin dekat dan terbuka kepadanya. Dan dia merasa sangat senang, tapi seharusnya tidak seperti ini. Aline seharusnya tidak dekat dengannya, karena jika wanita itu terus menerus seperti ini. Maka dia tidak akan bisa untuk melepaskannya, dia takut dia akan menjadi egois dan menahan Aline untuk disisinya, dan dia tidak mau untuk seperti itu.
Tapi, untuk kali ini izinkan dirinya untuk egois menerima semua perhatian Aline kepadanya.
Mereka berdua makan dengan tenang, Aline begitu cerewet bertanya mengenai tukang urut yang akan mengurutnya nanti. Aline bertanya kepada Andrian, apakah pria itu pernah di urut juga? Andrian jelas menjawab iya. Lalu Aline kembali bertanya, mengapa dia sampai di urut? Apakah dia mengalami cidera juga. Andrian menjawab jika dirinya cidera ketika sedang olahraga, dan Aline kembali bertanya apakah cidera yang di alaminya parah, dan Andrian menjawab iya. Belum sempat Aline kembali mengajukan pertanyaan, tukang urut yang di panggil Andrian kini sudah datang dan masih berada di bawah.
"Kamu ingin di urut di sini?"
Aline menggeleng. "Tidak, bisa bantu aku untuk berjalan ke bawah?"
Andrian mengangguk, dia kemudian berjalan menghampiri Aline lalu mengangkat Aline menbuat wanita itu memekik.
"Kenapa kau mengangkatku?"
"Aku takut kamu kesakitan jika berjalan."
"Ta-tapi, badanku berat untuk kau gendong."
"Tidak, kau ringan."
Jawab Andrian dengan salah satu matanya mengedip, membuat wajah Aline merona dibuatnya. Andrian terkekeh melihat Aline yang sedang malu, wanita itu bahkan menyembunyikan wajahnya pada d**a bidang Andrian.
Ketika sampai di ruang tamu, Aline di dudukan di single sofa.
"Mau ke mana?" Tanya Aline begitu Andrian akan beranjak dari sisinya.
"Saya akan duduk di sana."
Andrian menjawab sambil menunjuk sofa di seberang Aline. Aline seketika menggeleng tidak mau.
"Di sini saja temani aku,"
Andrian tidak bisa menolak, Aline memegang lengan Andrian dan Andrian hanya menepuk tangan Aline dengan lembut.
Wanita tua yang akan mengurut Aline itu bertanya, di mana cidera yang di alaminya. Andrian menunjukan pergelangan kaki Aline yang cidera. Wanita tua itu kemudian mengangguk melihat kaki Aline, Aline yang melihat jika wanita tua itu akan memeriksa kakinya seketika memegang erat lengan Andrian. Dia benar-benar ketakutan, bahkan belum di apa-apakan Aline sudah keringat dingin.
"Jika kamu takut jangan melihatnya, lihat saya saja."
Aline mengangguk menyetujui dia melihat Andrian yang entah mengapa, membuat perasaannya lebih menghangat. Aline meringis begitu wanita tua yang mengurutnya memulai aksinya, kemudian Aline meringis nyeri karena kakinya mulai di pijat, dan tak lama kemudian Aline menjerit kesakitan ketika wanita tua itu menarik kakinya hingga berbunyi. Aline menangis karena rasanya begitu nyeri, Andrian yang melihatnya tidak tega. Dia menghibur Aline dengan perkataan-perkataan yang membuat wanita itu tenang. Tapi Aline tidak mau mendengarkan, Aline terus saja menangis meminta berhenti. Sampai wanita tua itu benar-benar menghentikan pijatannya.
"Terima kasih, Bu." Sahut Andrian ketika melihat wanita tua itu yang akan pergi setelah mengobati Aline.
Andrian mengusap-usap punggung Aline dengan sayang, membiarkan Aline puas dengan tangisannya. Dapat Andrian pastikan jika Aline baru pertama kali di urut seperti ini, teelihat jika wanita itu benar-benar ketakutan.
"Sssttt sudah ya, jangan menangis lagi. Nanti kamu pusing."
Aline mencoba untuk berhenti menangis, namun masih terdengar bunyi sesenggukannya.
"Coba sekarang gerakin kaki kamu."
Aline menggeleng tidak mau.
"Di coba dulu ya, kaki kamu tidak akan sakit kok."
"Nggak, itu pasti sakit."
"Percaya sama saya, kaki kamu sudah sembuh."
"Nggak! Aku nggak mau."
Andrian menghela napasnya sabar.
"Baiklah kalau kamu nggak mau." Pasrah Andrian membiarkan Aline dengan kekeras kepalaannya.
Tbc