BAB 2: Memilih Profesi Masa Depan
“Candy nih” gadis bertubuh kecil dengan wajah menggemaskan itu menerima kotak s**u yang disodorkan teman prianya. “Makasih” suara kecil yang begitu terdengar kawaii itu mampu membius siapapun yang mendengar.
Benar-benar gadis yang dilihat dari sisi manapun sempurna. Wajah cantik bagai boneka barbie arab dengan tubuh kecil yang tampak mampu menipu siapapun, tidak akan ada yang menyangka bahwa gadis bertubuh kecil dengan wajah boneka itu sudah menjadi mahasiswa semester akhir yang tidak lama lagi akan segera lulus.
“Sekeras apapun aku belajar, tetep ajah ga masuk otak” keluh Candy Syam Bie dengan bibir cemberut. “Nanti malam aku kerumah kamu Can, aku kasih kamu private khusus” Candy menoleh pada Rafael yang notabenenya salah satu mahasiswa terpintar diangkatannya.
“Beneran?” Candy memasang wajah takjub, membuat pipi Rafael memerah padam sambil mengangguk. Candy semakin tersenyum dan mendekat, “Tapi kalo masih ga masuk otak percuma Raf” nafas Candy terasa panas di leher Rafael yang duduk tepat di sampingnya.
“Ya udah, aku usahain kita duduk berdekatan pas ujian akhir nanti. Kalo kamu ga tau jawabanya kamu bisa nanya aku dan kalo kamu butuh bantuan sama skripsi kamu, kamu tinggal bilang aku ajah” Candy semakin tersenyum manis pada Rafael.
Mengangguk antusias Candy akhirnya kembali memperhatikan tumpukan kertas di depanya. “Abis kelar semua nanti kamu mau jalan sama aku? Aku pengen refreshing berdua sama kamu Raf”. Rafael langsung mengangguk meski wajahnya tampak masih tidak percaya. Dia merasa baru saja diajak kencan oleh gadis paling cantik yang sudah lama menjadi incaran banyak orang, entah mengapa Candy memang sering mengajaknya bicara, Rafael jelas merasa Candy tertarik padanya.
Bagaimanapun Rafael yang juga anak salah satu investor terbesar universitas, sangat mampu melakukan banyak hal berkat posisi orang tuanya itu.
Hirarki terasa berbeda dalam ruang lingkup Rafael. Entah apa yang menarik Candy mendekat. Sosok Rafael atau Hirarki yang begitu kuat di sekeliling lelaki itu.
Rafael pernah melihat Candy sering terlihat hampir menangis saat jawaban pada kertas ujian nya belum terisi, membuat Rafael akan langsung membantu dan mengisi semua kertas ujian Candy. Hanya sahabat terdekat Candy yang tau dari mana nilai-nilai besar yang diperoleh Candy.
Rafael yang terlalu polos tidak juga sadar meski sudah tiga tahun lamanya dimanfaatkan.
Rafael terlalu mengutamakan sosok Candy yang terlihat begitu rapuh, membuat pria polos yang memiliki rasa tanggung jawab tinggi itu senantiasa selalu ingin melindungi Candy. Hingga tanpa sadar sudah terjerat pesona gadis itu seutuhnya.
Suara ponsel Candy membuat gadis itu langsung mengangkat teleponnya. “Ada apa ayahku sayang?” Candy selalu tanpa beban mengatakan hal-hal berlebihan pada ayahnya. “Oh koper? Tapi aku lagi ngisi tugas sama Rafael” Rafael mengangguk sambil mengisyaratkan tidak apa-apa.
“Hem ok, aku langsung ke tempat kerja baru ayah” telepon terputus. Rafael tersenyum saat Candy menatapnya memelas. “Maaf hem” Rafael langsung mengangguk memaklumi. “Jadi ayah kamu udah kerjasama sama perusahaan besar itu?” Candy mengangguk semangat.
“Ayah udah kerjasama dan dia keliatan seneng banget, bahkan ga tidur semalaman saking ga sabarnya. Tapi malah lupa bawa berkas kesepakatan sama perusahaan itu”. Rafael terkekeh geli. “Udah sana pergi, tugas kamu biar aku yang ngerjain” Candy mengangguk dan menyentuh pipi Rafael lembut. “Makasih Raf” gadis itu langsung berlari keluar perpustakaan kampus.
“Dia selalu semanis itu” gumam Rafael pelan.
* * *
Candy yang menggunakan dres di atas lutut berwarna pink dengan rambut yang di kepang dua itu sedikit takjub dengan gedung yang didatanginya. “Ayah kayak abis menang Lotre” Candy terkekeh sendiri dengan ocehanya.
Baru selangkah kakinya berjalan tubuhnya sudah ditabrak oleh tubuh yang lebih besar darinya. Sesaat ia lupa untuk terjatuh, tersadar—Candy langsung menjatuhkan diri sambil meringis kesakitan. “Oh maaf” pria yang tampak sudah dewasa itu menyentuh lutut Candy, memastikan tidak ada luka di kaki gadis yang baru ditabraknya.
“Mau ke rumah sakit?” Candy langsung menggeleng pelan. “Aku gapapa ko ka” suara yang benar-benar terdengar imut membuat pria itu menatap Candy sedikit lama. “Kamu jangan-jangan anak pak Adam yang kelas 2 SMP itu yah? Oh acaranya udah mau mulai mending kamu langsung masuk ajah.” Candy memiringkan kepalanya tidak mengerti.
“Tapi, aku udah mahasiswa semester akhir dan aku ga kenal pak Adam” pria itu terkekeh, membantu Candy berdiri dan membetulkan jepitan Candy. “Ok aku Arya, sekali lagi maaf yah soal yang tadi” Candy hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.
Jantungnya berdetak terutama saat pria di hadapannya ikut tersenyum dan mulai berjalan menjauh.
Candy menyentuh jepit rambutnya sambil tersenyum. “Bie kamu lama banget sih sayang” Candy menoleh, menatap ayahnya sambil tersenyum manis. “Maaf yah, tadi macet dijalan. Oh yah tanggal wisuda udah ditentuin beberapa minggu setelah sidang dan sidangnya satu minggu lagi. Ayah tenang ajah semuanya pasti bakal lancar” Ayah Candy yang bernama Samuel Lam itu tersenyum dan menyentuh pundak anaknya.
“Ayah bakal dateng bawa buket bunga besar sambil bawa banyak coklat kesukaan kamu” Candy tertawa dan mengangguk antusias. “Janji yah” Samuel mengangguk sambil kembali tersenyum.
Dari kejauhan, pria lain memperhatikan dengan bingung.
“Si 10 M?”
Baru mau diteriaki, gadis itu sudah pergi menjauh sambil sesekali menoleh dan melambaikan tanganya pada pria tua yang tadi berbincang dengan nya.
“Kena lu cebol”.
* * *
“Isi dan kumpulkan Bio kalian hari ini juga” setelah salah satu dosen membagikan kertas pada masing-masing mahasiswa, ia tampak langsung meninggalkan ruangan.
Candy menatap kertasnya malas. Dia belum memikirkan ingin bekerja dimana. “Candy kenapa masih belum di isi?” pertanyaan Rafael sukses membuat semua mata tertuju pada Candy. “Aku ga tau mau daftar kerja dimana dan mau nyoba di bagian apa” seisi ruangan jadi terdiam, ikut berpikir.
“Sebenernya dibandingkan kerja di perusahaan Candy lebih cocok jadi Model?” salah satu anak kelas memberi pendapat membuat salah satu sahabat Candy menanggapi.
“Model baju anak SD?” Candy menoleh kesal pada Bianca Balie, sahabatnya sendiri yang memang memiliki tubuh ideal bagai seorang model itu memang kerap meledek dirinya.
Gelak tawa akhitnya terdengar. Candy sudah biasa mendengarnya, bukan hal aneh jika seisi ruangan kerap mengatainya dengan sebutan anak SD. Mungkin karena kelakuan dan wajahnya masih tampak seperti anak SD, tapi soal tinggi badan Candy berpikir bahwa dirinya terlihat pendek karena teman-temannya saja yang terlalu tinggi.
“Tapi entah kalian sadar atau nggak Candy rasanya makin tinggi” Candy menatap Lola yang juga sahabatnya. “Bener kan?” Candy memastikan dan beberapa orang disana jadi lebih memperhatikan Candy dan menyadari hal itu.
“Meski ga terlalu keliatan tapi emang bener lo kayaknya makin tinggi” salah satu anak lain berpendapat. Candy memegangi pipinya malu “tinggi aku emang naik 6 cm”. Semua orang dalam ruangan itu kembali tertawa.
“Kalo gitu kamu udah cocok jadi wanita karir. Candy pasti bisa lolos dari semua tes. Candy itu selain cantik yah pinter juga. Pasti diterima ko di perusahaan besar” salah seorang teman lain memberi saran membuat gadis sunda sahabat dekat Candy tertawa. “Gila sih Candy mah pinternya ga ketulungan”. Salsa Nasya, salah satu dari tiga sahabat Candy menyenggol pundak Candy saat mendengar pujian tadi.
“Cosplayer? Kamu punya muka boneka barbie arab, jadi kayaknya jadi Cosplayer profesional bakal cocok deh buat kamu. Lagian aku tau kamu ga terlalu suka kalo ngelakuin kerjaan yang sama secara berulang” Rafael memberi saran membuat Candy mengacungkan jempol padanya.
Tampaknya banyak yang mendukung saran dari Rafael untuk Candy. Candy baru menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kemampuan apapun. Membuat dirinya kepusingan karena hal itu. Memang tidak baik hanya mengandalkan wajah saja.
“Model, wanita Karir, sama Cosplayer apanya? Dia mah cocoknya jadi Bodyguard”. Sebuah suara menginterupsi—menarik perhatian seisi ruangan.