Aku tahu mobil ini tidak akan berhasil jauh. Padahal kami sempat mengisi bensin tangki satu jam yang lalu. Jadi pada akhirnya aku harus mengucapkan selamat tinggal pada mobil tua ini ketika kami baru saja melewati papan nama Bellmawr.
Abe masih sama membisunya dan au tidak ingin repot-repot membuka percakapan dengannya. Bahkan saat ini saat mesin mulai berasap di tengah jalan seperti ini, Abe masih tetap diam.
Perkataannya sebelumnya benar-benar menyakiti hatiku membuatlu sempat berpikir ia akan akan membajak mobil ini dan membuangku ke jalanan. Saya tahu dia mampu melakukan itu. Tinggi dan tubuhnya dibangun mirip dengan pikiran. Dengan keahlian Taekwando saya yang tersisa dan sikapnya yang penuh kejutan, itu mungkin akan berakhir sebagai pertarungan yang bagus untuk mengurangi sedikit rasa frustrasi yang menumpuk.
Tiba-tiba aku mendengar Abe mendengus, tapi sepertinya aku salah dengar. Karena sekarang ia tengah berdeham-deham. Aku berbalik dan menemukannya sedang menepuk-nepuk dasbor dengan wajah kosong. “Ia tidak bisa bertahan, kan?” Ia bertanya sambil menatapku. Alisnya berkerut.
“Ya,” jawabku. Agak kikuk dengan kejadian sebelumnya yang masih terngiang-ngiang di kepalaku membuatku malah mengalihkan pandangan ke luar jalan. “Dan - terimakasih Tuhan - kita ada di kota sekarang."
"Tuhan. Apakah kau mempercayai-Nya?"
Aku membeku beberapa saat setelah selesai melepaskan sabuk pengaman. "Aku percaya Dia." Setelah itu aku tidak mengijinkan ia memberi tanggapan apapun karena aku sudah berada di luar, mengambil semua bawaanku di kursi belakang. Berat pedang di pundakku memberiku ketenangan yang kubutuhkan. Itu membuatku hampir melupakan Glock yang masih tersimpan di dalam tas selempang. Aku menepuk-nepuknya pistol itu dari balik tas yang sekarang tergantung di depan d**a.
Abe baru keluar setelah aku sudah di trotoar. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut kota yang bisa dijangkau mataku. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu dengan pikiran-pikiran itu di benak saya. "Sial! Kita benar-benar melewati New Jersey! Kita benar-benar pergi ke arah yang berlawanan! ” Ayahku adalah orang yang cerdas. Ia tahu kemana dia pergi. Aku yakin ia juga orang yang menyarankan Alec untuk tetap tinggal di rumah pertaniannya.
Abe hanya menatapku seolah aku sudah gila. Aku langsung berdehem. “Dan tempat ini terlalu sepi. Kita harus cepat."
Kami bertemu dengan sekelompok zombie beberapa kali, jadi kami harus berbelok mencari jalan lain lagi. Mereka benar-benar berkeliaran tanpa arah. Aku rasa saat ini tidak ada manusia lain yang hidup di kota ini kecuali kami.
Secara kebetulan kami bertemu pandang. Mata hitam besarnya menatapku dengan heran. “Kita butuh mobil baru. Berkeliaran tanpa tameng seperti ini membuat kita rentan." Karena memang belum ada tanda-tanda mobil yang bisa kami kami disekitar sini.
Hal yang paling membuatku heran sebenarnya perasaanku saat ini. Aku tidak pernah memiliki perasaan ingin melindungi seseorang sebelumnya. Kurasa itu karena aku sudah terlalu lama menjadi yang termuda dan Abe terlihat seperti anak hilang. Bahkan saat ini aku merasa harus berpegangan tangan dengannya agar ia tidak lagi ingin berkeliaran.
Tapi semua pertanyaannya sejauh ini pasti tidak datang dari pemikiran seorang anak kecil.
Aku lalu melihat sekeliling dan menemukan berbagai toko di sekitar kami. Tidak ada satupun dari toko-toko tersebut yang selamat dari penjarahan. Semua kaca jendela pecah. Etalase kosong. Ada noda darah di lantai yang dikelilingi pecahan kaca. Aku tidak ingin membayangkan apa yang sebenarnya terjadi di sana.
Mendadak aku berhenti ketika tiba-tiba Abe masuk ke salah satu toko tanpa ragu-ragu. Aku hampir berteriak untuk memperingatkannya, tapi aku segera menutup mulut dengan tanganku. Ada sekelompok zombie tidak cukup jauh dari kami dan saat ini Abe benar-benar berjalan di lantai yang penuh kaca, namun kali ini dengan alas kaki. Aku membuntutinya rapat dengan mulut terkatup rapat begitu menyadari toko apa ini sebenarnya
Toko ini jelas adalah tempat penampungan hewan sebelumnya. Banyak sekali kandang yang kosong. Beberapa mainan berserakan di mana-mana, begitu pula karung makanan hewan. Penampungan hewan ini terlihat menyedihkan bahkan dlilihat dari sudut pandang manapapun. Sementara aku berdiri dengan semua perasaan campur aduk di kepalaku, Abe sudah berdiri di depan salah satu sangkar tertutup di salah satu ruangan yang terlihat seperti ruang pemeriksaan. Ada seekor kucing Persia dengan bulu berwarna putih keabuan yang terlihat sangat sakit. Kucing itu bahkan tidak bereaksi ketika Abe membuka kandangnya dan meraihnya.
“Kau sudah tidak punya waktu yang tersisa bahkan ketika semua ini terjadi, kan?” Abe berbisik pelan sambil membelai wajah kucing itu. “Kau ingin keluar?” Aku menyaksikan Abe membawanya keluar dari kandangnya dengan kagum. Kucing itu terlihat sangat kurus di samping bulunya yang tebal. Kucing itu benar-benar tidak banyak bergerak ketika Abe meletakkannya di lantai. Setelah beberapa saat, Abe melirikku dengn dahi mengerut.
"Apa? Kau ingin ia memelukmu?” Abe bertanya setelah mendekati kucing itu. Aku berkedip dua kali. Itu karena aku lebih bingung daripada kaget. “Bagaimana kau bisa yakin apa yang ia inginkan?”
“Ia tidak punya banyak waktu lagi dan ia ingin kau memeluknya. Abe menatapku dengan seringai kecil. "Kupikir kalian semua senang memberi kenyamanan pada orang yang sekarat?"
Aku menyadari ia mengatakan "kalian semua". Namun saat ini kucing itu menatapku dengan sedikit kesedihan yang membuat hatiku sakit. Aku tidak punya pilihan selain mengambil kucing itu. Ia lebih ringan dari yang aku kira dan ia langsung memelukku. Rasanya seperti ia benar-benar merindukan pelukan - untuk Tuhan yang tahu - berapa lama.
“Apakah kau kebetulan tahu namanya juga?” Aku terkekeh saat menimang kucing itu. Aku hampir merasa ia tersenyum padaku.
“Ia telah mendapatkan begitu banyak nama dari banyak master. Ia ingin kau memberinya nama juga.” Abe menjelaskan. Ia memberiku senyum paling lembut yang pernah aku lihat setelah menghabiskan beberapa hari bersamanya.
Alisku terangkat untuk menatap kucing yang dengan nyaman meringkuk di pelukanku. Setelah berpikir sejenak aku mengumumkan, “Bolehkah aku memanggilmu Gray? Maafkan aku. Aku juga payah menamai avatar di video game. Jadi, jangan marah."
Kucing itu mengeong. Saya menganggapnya sebagai iya.
“Jadi, ayo pergi? Abe bergumam ketika aku sudah berjongkok untuk memberi Gray sisa air dari botol minumku. “Tadi kau bilang ingin mencari... mobil?”
Aku mengangguk sambil terus mengawasi Gray yang menjilati air. Kucing itu hanya melakukannya beberapa kali sebelum melompat masuk ke pelukanku lagi. “Kita membutuhkan makanannya jika kita ingin membawanya bersama kita.”
Aku bangkit dan Abe sudah berdiri di hadapanu untuk membelai kepala Gray. Kucing itu menyembunyikan wajahnya di celah lenganku ketika Abe berkata, “Gray akan baik-baik saja. Apakah benar, Gray?”
Gray tidak memberikan respon apapun, namun wajah abu-abunya sekarang menyusup jauh masuk dalam lenganku. Ia mulai mendengkur.
"Tidak. Tidak. Kita harus membawa beberapa! Sekantong kecil makanan kucing atau sekaleng tuna yang bisa kita bawa. Gray terlalu ringan dan aku tidak menyukainya!"
Abe menatapku seperti aku sudah kehilangan akal. Tapi aku bersikeras. “Kalau kau tidak ingin membantuku. Aku bisa pergi mencari sendiri ... ”
Abe segera menghentikanku. "Aku saja. Tetaplah di sini. ”
Aku tidak tahu mengapa Abe terlihat kesal karenanya.
Tidak butuh waktu lama baginya untuk kembali dari dalam toko itu. Ia mengayunkan sekaleng tuna tepat di depan wajahku. "Sekarang, oke?" Ia kemudian memutar b untuk menyimpannya di tas besarku. Dengan ia yang berdiri sedekat ini, aku tidak bisa merasakan kehangatan apapun dari tubuhnya.
Dan bagaimana ia juga tidak memiliki bau apapun?
Kami mendapati sekelompok zombi yang berkeliaran di ujung jalan, tapi aku malah mendapati diriku berjalan begitu nyaman dengan Abe di sisiku. Ia selalu tenang. Pakaian serba putihnya yang masih tanpa cela membuatnya lebih bersinar. Ia juga tidak pernah melakukan apapun dengan rambutnya ...
Sial! Dengan semua kegilaan ini, aku benar-benar lupa tentang krim pagi dan malamku!
***