23

1153 Kata
Untuk hari pemetikan anggur semuanya harus bangun pagi Mom berkata kami harus melakukannya sepagi mungkin sebelum kami terpanggang matahari walau saat ini tengah musim gugur. “Jadi, ayo kalian pemalas! Saatnya bekerja!” Mom bertepuk-tepuk tangan. Dengan mataku yang masih mengerjap-ngerjap aku mendapati Mom sedang mengguncang-guncang pundak Alec. Si b******k itu malah menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Sejenak aku merasa seperti kembali ke masa-masa kami masih remaja. Mom bahkan menarik lepas selimutku. Menampar “lembut” pipiku hingga akhirnya aku mengerjap dan terduduk. Sambil menggaruk-garuk tengkuk, aku mendapati sisi tempat tidur Abe sudah rapi dan aku tidak melihatnya di manapun. Mom sekarang tengah mengguncang-guncang bahu suaminya. Dad hanya mengerang dan mendorong tangan Mom hingga terlepas dari bahunya. Entah pukul berapa kami akhirnya tertidur semalam. Alec senang sekali ia punya teman untuk mengolok-olokku sekarang. Dan Dad – seperti ayah-ayah lainnya – lebih memilih banyak diam dan menikmati aku yang mencoba membela diriku dengan sangat menyedihkan. Alec akhirnya duduk sambil menggaruk-garuk puncak kepalanya. Dad juga bangun. Sekarang ia tengah membungkuk di atas lutut sambil memegang kepalanya dengan kedua tangan. Sedangkan aku dengan gerakan yang amat pelan mulai melipat selimutku. Namun mataku baru bisa terbuka dengan sempurna begitu mencium aroma daging panggang. Mom berdecak begitu mendapatiku mengendus-endus udara sebelum mencubit pipiku keras. “Ayo, bangun! Aku meminta Dalla untuk membuatkan kalian sarapan istimewa untuk kalian hari ini. Well, khusus untuk hari ini.” Aku mengaduh sambil menggosok-gosok pipiku. Tapi bersyukur dengan begitu akhirnya aku bisa sadar sepenuhnya. Alec sedang melipat selimutnya dengan gerakan paling lambat yang ia bisa. Setelah aku selesai dengan perlengkapan tidurku. Dengan langkah terseret aku menuju kamar mandi terdekat. Menutup pintunya dengan punggung dan memandangi pancuran lebih lama dari seharusnya. Sekali lagi menyeret diri ke depan wastafel. Berjengit begitu air dingin menyentuh kulit wajahku. Dari cermin aku terlihat menyeramkan. Namun sepertinya tubuhku mulai membiasakan diri untuk kurang tidur. Begitu aku selesai membuat diriku lebih sadar aku mendapati Alec menungguku di balik pintu dengan mata yang setengah terpejam. Ia langsung mendorongku ke samping dengan lengannya. Membanting pintu di belakangku hingga membuatku berjengit.    Mom dan Brooke sibuk menata meja makan. Dalla sendiri sedang mengeluarkan sesuatu dari dalam oven. Begitu aku mendekat aku menyadari itu adalah roti dengan bentuk paling “keriting” dari yang pernah aku lihat. “Aku tahu apa yang ada di dalam kepalamu. Jadi jangan katakan.” Dalla begitu aku berdiri di sebelahnya dan menyadari itu adalah roti gandum dengan banyak biji yang masih terlihat di permukaannya. “Kita tidak dalam waktu yang tepat untuk memilih-milih makanan.” Aku memberi jempol ke arah saudari iparku itu. “Walau mungkin kita juga butuh tusuk gigi lebih banyak untuk ini.” Dalla menyeringai yang kubalas dengan mengedikkan bahu. “Dan mereka juga berhasil membuat butter mereka sendiri.” Mom memberi Dalla senyum penuh sayang. Membuat Dalla bersemu. “Jadi apa yang para wanita akan lakukan selama kami berkutat dengan anggur?” Aku mencoba untuk mengambil roti yang sudah dingin tapi Dalla sudah menepuk punggung tanganku dengan keras sekali sehingga membuatku mengaduh. “Mengurus ternak. Mengumpulkan telur dan memerah sapi. Tapi Brooke berkata ia ingin membantu kalian memetik anggur.” Mom sambil menggosok-gosok punggung Brooke. Brooke memberi Mom senyum malu-malu sebelum Mom menyuruhnya untuk duduk. Dalla kemudian mendorong sekeranjang roti hangat ke dalam pelukanku dan menyuruhku duduk. Mom menarik lenganku agar aku duduk berdampingan dengan Brooke. Satu-persatu pria datang dengan Abe yang menggendong Gray. Dad duduk di kepala meja dengan Mom di sebelah kirinya. Alec di tengah dengan diapit dengan Dalla. Abe duduk disisi kanan Dad kemudian aku dan Brooke. “Karena kita tidak punya kulkas. Apa yang kalian lakukan dengan s**u sapi segar itu?” tanyaku setelah Dad selesai memimpin doa. “Butter dan hari ini kami akan mencoba membuat keju...” Dalla sambil menyerahkan satu potong roti ke atas piring suaminya yang tampak masih berjuang untuk tetap sadar. “Aku ingin membantu para gadis sebagai ganti Brooke.” Abe membiarkan Gray mencuri dendengnya. “Well, itu barter yang baik.” Dalla kelihatan senang dan ketika aku menoleh ke arah pria itu ia malah memberiku kedipan sebela mata. Aku sama sekali tidak ingin menebak apa yang ada di dalam kepalanya sekarang... *** Begitu semuanya selesai sarapan. Kami keluar rumah begitu sinar matahari pertama mulai terlihat. Alec tidak henti-hentinya menguap. Dad tampak lebih segar darinya. Masing-masing dari kami membawa keranjang dan senjata mereka masing-masing. Di dalam keranjangku berisi gunting dan di punggung melintang pedangku. Mom meminta kami untuk tidak bekerja sendiri-sendiri. Jadi ia (tentu saja) memasangkanku dengan Brooke. Gadis itu memakai salah satu blus lengan panjang yang menutup hingga pergelangan tangannya dan memakai bucket hat. Ia tampak jauh lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Dan seperti yang aku duga setiap kali ia melihat wajahku, Brooke akan mengalihkan wajahnya dengan pipinya yang menggembung akibat menahan tawa. “Kau tahu, setelah apa yang kau katakan semalam. Aku tidak bisa tidak tertawa setiap kali aku melihatmu.” Aku memberinya tawa palsu yang malah membuatnya makin tertawa sampai harus menutup mulutnya dengan kepalan tangan. Dari jarak sedekat ini aku baru menyadari betapa rimbunnya pohon-pohon anggur Alec.“Ayo, kalian anak kota. Sini aku ajari kalian bagaimana memetik anggur.” Ia lalu memberitahu kami untuk memotong tangkai anggur dua centi dari pangkalnya. “Ini membuat anggur itu segar lebih lama jika kita tidak bisa menghancurkan semuanya hari ini.” Alec mengawasi kami memetik anggur hingga ia merasa kami layak ditinggal. Sebelum ia berbalik untuk bergabung dengan Dad ia berkata. “Teriak saja jika kalian diserang atau menemukan sesuatu.”  Brooke dan aku menggumam mengiyakan. Lalu kami bekerja dalam diam. Buang anggur milik Alec sangat bulat dan mengilat sehingga sangat sulit rasanya untuk tidak singgah dan memakannya langsung dari pohon. Sedangkan Brooke sangat serius dengan tugasnya sehingga tidak menyadari aku lebih banhyak makan daripada bekerja. “Jamie, kita tidak akan bisa keluar dari sini segera jika kau tidak segera bekerja.” Brooke sambil berkacak pinggang. Keranjang sudah penuh setengahnya sedangkan aku sedang menghabiskan satu tangkai anggur sendirian. “Oke...Oke...” Brooke berbalik badan dan tanpa aba-aba seorang zombi berwarna pirang muncul entah dari mana dan nyaris menyergapnya. Brooke dengan cepat mengayunkan guntingnya untuk menancapkannya di tengah-tengah dahinya. Begitu Brooke sudha jauh dari jangkuan zombi yang kebingungan itu. Aku sudah meraih gagang pedangku dari atas bahu dan menebas  lehernya hingga putus. Pada saat itulah aku baru mendengar Brooke menjerit keras. Bersamaan dengan suara teriakan Alec dari kejauhan. Burung-burung beterbangan akibat teriakan Alec itu sehingga membuat kami berlari dengan meninggalkan keranjang anggur kami di tanah untuk mendatangi asal suara. Suara tembakan sangat keras dan suara sesuatu yang berat jatuh ke tanah... Napasku terengah bersamaan dengan senapan Dad masih teracung di depan. Alec sudah tersungkur di tanah dengan b****g lebih dulu. Ekspresi penuh ketakutan tergambar jelas di wajahnya. “Sepertinya mereka tahu masih ada manusia hidup di sini.” Dad sambil menurunkan senapan dari depan wajahnya. “Untungnya mereka tidak datang dalam berkelompok.” Alec memaki sambil berdiri. Ekspresinya sekarang penuh dengan kemarahan...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN