Bab 2

1543 Kata
Flashback .. Kenapa dia selalu merasa gugup saat setiap kali berkunjung ke rumah ini, renung Laila saat berada di depan pintu yang dengan sangat ragu ingin dia ketuk. Padahal Laila sudah sangat mengenal penghuni rumah ini, walaupun setiap kali datang dia tidak pernah di sambut dengan baik. Tapi Laila akan terus datang setiap ada waktu, karena dia berusaha untuk menjalin hubungan baik yang tidak mungkin dia abaikan begitu saja. Menarik napas dalam-dalam, Laila mengetik pintu rumah itu juga sambil tidak lupa melatih bibirnya agar bisa tersenyum seluwes mungkin dan tidak terlihat kaku. Dengan harap cemas, Laila menggenggam erat tali paper bag berlogo toko kue terkenal kesukaan yang empunya rumah. Pintu terbuka sedikit dan seorang art menyambut kedatangan Laila di balik celah pintu itu. “Mbak,” sapa Laila, “Ibu ada?” Art itu terlihat diam dan ragu untuk menjawabnya. “Saya hanya ingin mengantarkan kue kesukaan ibu,” ujar Laila lanjut, art itu akhirnya mengangguk sebagai jawaban dia membukakan pintu dengan cukup lebar untuk Laila agar bisa masuk. Laila bernapas lega dan kemudian dia mengikuti langkah art itu menuju sebuah ruang yang Laila tahu itu adalah ruang keluarga. Tampak seorang wanita paruh baya dengan penampilan anggun sedang asyik membaca buku. “Ibu Alma, ada tamu,” ucap art itu saat berada di dekat wanita yang di panggil Alma. Tamu? Terdengar miris tapi tidak apa jika dia masih di anggap tamu yang penting bukan musuh. Alma melihat ke arah Laila berdiri dan dia hanya menatap sekilas kemudian kembali pada buku yang di bacanya. Laila melangkah mendekat dan begitu berdiri di hadapan Alma dia langsung mengulurkan tangannya, “Ibu, apa kabar?” Seolah tak mendengar atau tidak peduli, Alma terlihat asyik membaca buku yang ada di hadapannya. Tangan Laila mengantung lama tanpa ada sambutan sama sekali, membuat wanita itu akhirnya menarik tangannya perlahan. “Maaf kalau mengganggu ...” ujar Laila terdengar gugup. “Bi! Bi!” Ucapan Laila terhenti karena Alma yang memanggil artnya. “Ya Bu?” art itu tergopoh-gopoh menghampiri Alma. “Tolong buatkan saya minum,” perintah Alma dan art itu mengangguk sambil tetap berdiri menunggu dengan menatap pada Laila. Sementara Laila menatap pada Alma yang masih terlihat tak menghiraukan kehadirannya, begitu juga tak ada tawaran untuk duduk apalagi minum. Laila tersenyum getir dan tatapannya beralih pada art yang masih menunggu dan Laila hanya menggelengkan kepalanya, seperti mengerti art itu langsung berlalu masuk ke dalam untuk memenuhi perintah Alma. “Maaf Bu, ini ada Laila membawa kue kesukaan ibu ..” ujar Laila kembali terhenti bicara begitu melihat ekspresi wajah Alma yang terdengar mendengus kesal walaupun tak menatapnya sama sekali seolah memberi kode kalau wanita paruh baya itu tidak suka di ganggu, “Kalau begitu Laila permisi pulang dulu, maaf tidak bisa mampir lama-lama di sini.” Laila beranjak pergi dari hadapan Alma setelah meletakkan paper bag yang di pegang di meja, tentunya dengan hati yang teramat sedih dengan sikap nyonya rumah yang seolah tak memedulikan kedatangannya. “Bi!” Langkah Laila terhenti sesaat mendengar Alma memanggil art nya. “Bawa masuk ini ke dalam, terserah mau kamu makan atau di buang,” perintah Alma terdengar jelas. Laila memandang punggung Alma yang membelakanginya dan rasa perih itu semakin terasa perih ketika mendengar kalau pemberiannya tidak di hargai sama sekali. “Dan lain kali, kalau dia datang lagi bilang saja tidak ada orang di rumah, saya sudah tidak mau menerima tamu seperti itu lagi!” Deg! Dan hati Laila benar-benar semakin teriris perih saat mendengar perkataan itu keluar dari Alma. Ibu dari Pras, mertuanya! **Otw** “Kau harus sabar dengan mereka, jangan terlalu di ambil hati,” ucap Pras saat mendengar setiap kali Laila mengeluh dengan sikap orang tuanya, “Terutama ibu.” Ya, terutama ibumu, batin Laila kelu. “Mungkin mereka memang tidak menyukaimu, tapi lama-lama pasti mereka akan trenyuh juga, apalagi dengan sikap yang baik dan perhatian yang kau berikan,” lanjut Pras sambil tetap menatap tablet yang ada di hadapannya, “Toh, ibu juga tidak pernah bersikap memusuhi juga membenci, apalagi marah-marah padamu kan?” Laila yang merebahkan diri di ranjang hanya termenung dengan ucapan Pras, tapi seandainya pria ini tahu bagaimana sikap Alma saat terakhir dia berkunjung kemarin pasti pria itu tidak akan mengatakan hal itu. Selalu saja jawabnya sama seperti itu diberikan oleh Pras dan sepertinya terdengar sia-sia semua keluhan yang sudah di ucapkan Laila tadi. “Bersabarlah,” bisik Pras yang sekarang tiba-tiba sudah memeluknya dari belakang dan kemudian mencium leher juga tengkuknya dengan pelan. Dan Laila hanya bisa mengangguk pasrah, sabar yang sudah ada saat di awal tiga tahun pernikahan mereka. “Lusa Mas berangkat ke Jogja ,” bisik Pras di telinga Laila, “Ada kerjaan di sana.” “Berapa lama?” tanya Laila berbisik juga. “Satu minggu,” sahut Pras sambil mengelus perut Laila yang masih terasa rata, “Jadi minta jatah lebih malam ini boleh? Siapa tahu kali ini jadi.” Permintaan Pras hanya di jawab anggukan oleh Laila dan serasa seperti obat pereda sakit di hatinya, bercinta dengan Pras adalah obat paling mujarab apalagi saat keinginannya setelah ini terkabul, benih Pras berbuah di rahimnya yang sudah dia tunggu selama hampir tiga tahun pernikahan mereka. Dan semoga saja firasatnya kali ini benar tanpa menunggu malam ini! ***Otw*** “Aku tidak tahu harus bilang apa padamu, karena setahuku sikap Tante Alma padaku baik-baik saja,” ujar Sarah sambil menyeruput minuman yang ada di hadapannya. “Tentu saja kau bilang begitu, karena Tante Alma dan Mamamu sudah bersahabat baik sejak lama,” ujar Laila menatap sahabatnya itu dan Sarah mengangguk mengerti. “ Terkadang aku berpikir, kenapa dulu mereka bisa menyetujui pernikahan kami walaupun dari awal sudah jelas mereka tidak menyukaiku,” ujar lagi Laila mengeluh, “Mungkin juga sangat membenciku.” “Karena mereka ingin Pras bahagia,” sahut Sarah. Laila tersenyum miris, “Jika mereka ingin Pras bahagia, artinya mereka juga harus menerimaku sebagai bagian dari Pras, bukan malah ...” Rasa tercekat di lehernya membuat Laila menjeda ucapannya, “Bukan membuatku seperti musuh besar bagi mereka.” “Maaf,” ujar Sarah merasa bersalah. “Maaf? untuk apa?” ucap Laila heran. “Karena aku sudah membuatmu harus menghadapi situasi seperti ini, seandainya aku tahu mungkin aku tidak akan bersikeras menjodohkan mu dengan Pras waktu itu,” sahut Sarah dengan wajah menyesal. “Itu bukan salahmu, mungkin aku saja yang kurang berusaha untuk membuat orang tua Mas Pras benar-benar menyukaiku,” ujar Laila menarik napas dalam-dalam agar sesak di dadanya tak bertambah berat. Ada kesunyian di antara Laila dan Sarah, karena mereka berdua sama-sama melamunkan sesuatu. “Bagaimana kabar Airin?” tanya Laila tiba-tiba, “Sarah ..” Mendengar Laila menyebut namanya, membuat Sarah terkejut dari lamunannya, “Apa?” “Kabar Airin bagaimana?” ulang Laila. “Baik,” sahut Sarah. “Lukas masih sering menemuinya?” tanya Laila lagi. Sarah menggelengkan kepalanya tersenyum kecut, “Lukas sudah terlalu sibuk dengan istri barunya dan tidak punya waktu lagi untuk Airin.” Laila menghela nafas panjang, “Kasihan Airin dia terlalu kecil untuk mengerti untuk bisa mengerti dengan sikap Lukas seperti itu.” “Ya, begitulah,” sahut Sarah mengedikan bahunya. “Kau tidak mencoba mencari pengganti Lukas, Sarah?” tanya Laila memandang Sarah, “Ini sudah lebih satu tahun kau berpisah dengannya.” “Aku sedang menanti orang yang tepat datang dalam hidupku dan juga Airin,” sahut Sarah. “Semoga saja kau segera bertemu dengan pria yang tepat seperti yang kau inginkan, bukan hanya untukmu tapi juga Papa untuk Airin,” Laila menggenggam tangan Sarah. “Terima Kasih, “ sahut Sarah tersenyum sambil membalas genggaman tangan Laila. Inilah untungnya punya sahabat yang bisa saling mengerti, bukan hanya saling berbagi cerita keluh juga kesah tapi juga saling menguatkan ketika salah satu sedang menderita. Dan kemudian Laila menyadari, bagaimana kalau kehidupan rumah tangganya akan bernasib sama seperti Sarah? karena dia menyadari semua kemungkinan itu pasti ada. Siap atau tidak, Laila harus siap karena tidak tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya ke depan nanti. Dan entah rasa takut langsung menyergap begitu membayangkan kalau rumah tangganya bukan hanya akan sama seperti Sarah tapi juga dengan orang tuanya. ***Otw*** “Apa semua persiapan kalian sudah selesai?” tanya Alma pada Pras yang datang mengunjunginya. Pras menggeleng, “Belum, tinggal sedikit lagi.” “Perlu bantuan ibu?” tanya Alma. “Tidak perlu, kami berdua sudah mengurus semuanya,” sahut Pras menatap orang yang duduk di samping Alma, diam tak bersuara. “Kau yakin?” tanya Alma tidak percaya. “Yakin Bu,” sahut Pras. “Apa ada yang tahu rencanamu ini selain keluarga kita?” Alma terus bertanya. “Sejauh ini tidak ada, “ ujar Pras. “Apa Laila tidak curiga?” Alma kembali bertanya. “Tidak sama sekali, ”sahut Pras menggelengkan kepalanya. “Ibu harap, sampai ini semua selesai baru Laila tahu,” ucap Alma menatap Pras, “Dan mau menerima semua keputusan ini tanpa ada masalah.” Tak ada sahutan dari Bram, kecuali helaan nafas berat, “Semoga saja.” “Semoga saja semua berjalan lancar sampai semuanya selesai,” Alma menarik napas berat kemudian melirik orang yang duduk di sebelahnya, yang sedari tadi diam mendengarkan pembicaraannya dengan Pras. “Aku merasa bersalah dengan semua yang akan kita lakukan,” gumam orang itu menundukkan kepalanya dengan wajah cemas terlihat jelas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN