Satu piring dan satu sendok kubawa masuk keruangan Bosku.
Ketoprak dalam bungkusan kupindah ke atas piring. Yang satunya kubiarkan masih dalam bungkusnya karena nggak mungkin Pak Abrisam mau makan semuanya. Dan kusisihkan di pinggiran meja.
Ruwet sekali rasanya meja Pak Abrisam penuh dengan kertas dan lain sebagainya.
Sebelum kupersilahkan Pak Abrisam untuk memakannya, aku menyarankan padanya untuk pindah ke sofa saja. Lagi pula di sana mejanya sedikit leluasa. Tidak ada benda-benda di atasnya.
Untungnya dia mau tanpa cek-cok dulu sama aku.
Kupersilahkan Pak Abrisam untuk menikmati ketopraknya dan tugasku selesai. Pekerjaanku masih banyak selain mengurus Bosku ini.
Tapi baru berbalik, Pak Abrisam memanggilku. Otomatis aku berbalik lagi. "Ada apa, Pak?" tanyaku dengan alis terangkat. Masih bersikap sopan.
"Kamu kok main pergi gitu aja? Saya harus mastiin barangkali di ketoprak ini ada racunnya," tuturnya tenang.
Tunggu dulu.
Dia bilang racun? Heh! enak saja kalau bilang. Ya lagian mana mungkin Bang Jono mau racuni pembelinya. Apa Pak Abrisam nggak sadar, yang sebenarnya racun itu mulut dia.
Kesal? Sudah jelas. Pak Abrisam ini sebenarnya maunya apa?
Aku tersenyum manis, pokoknya manis banget. Pura-pura nggak kesel padahal pengen banget ngejambak atau nggak nyakar muka Pak Abrisam.
"Bapak, Bang Jono nggak mungkin naruh racun ke makanan Bapak," jawabku, menarik kedua sudut bibirku.
Pak Abrisam menyenderkan punggungnya di sandaran sofa. "Iya saya percaya sama Bang Jono. Tapi, sama kamu saya masih ragu. Bisa saja sebelum ke sini kamu berhenti di mana gitu terus kamu kasih racun ke makanan ini."
Jelas mendengar itu aku melotot tidak percaya. Jadi, Pak Abrisam ini nggak ada percaya-percayanya sama aku? Padahal aku udah kerja sama dia bertahun-tahun.
Tapi, memang benar sih. Andai aku punya kesempatan, pengen banget rasanya kasih sianida ke makanan Bos laknat macam dia.
"Saya tahu kamu gak suka sama saya," lanjutnya saat aku cuma diam saja.
Loh, sejak kapan Bosku ini jadi peramal? Ah, baguslah kalau Pak Abrisam sadar diri. Siapa sih, yang suka sama orang yang sengaknya kebangetan?
"Jadi, buat membuktikan ini diracuni atau nggak. Kamu harus coba duluan," putusnya tanpa pikir panjang.
Aku maju selangkah. "Pak, ini sama sekali gak ada racunnya. Saya bisa jamin deh, Pak."
Bukannya aku nggak mau makan ketoprak itu. Perutku masih kenyang. Dan kalau pagi-pagi makan yang pedas bisa-bisa perutku bermasalah nanti. Kalau aku paksain nanti yang ada perutku yang bakal sakit.
Pak Abrisam melirikku. "Yakin kamu?"
Aku mengangguk yakin.
"Kalau ada racunnya, kamu duduk dipangkuan saya sambil suapin saya, ya?"
"Apa-apaan, Pak!" seruku tidak terima. Pak Abrisam aneh-aneh saja. Lagi pula ini di kantor. Tapi, bukan berarti kalau di luar kantor aku mau!
"Kenapa kamu kaget?" tatapannya penuh selidik.
Bego! Jelas aku terkejut. Pak Abrisam Bos saja, tapi pikirannya nggak digunain kayaknya.
"Pak, saya beneran gak kasih apapun di ketoprak Bapak." Aku geram sendiri.
"Saya coba," putusnya.
Aku mengangguk mempersilakan. Ya coba aja kalau nggak percaya. Lagian aku nggak segila itu sampai mau racuni makanan dia.
Tangan Pak Abrisam terulur mengambil sendok lalu menyendok ketropak dalam piring. Karena Bosku itu lebih suka saus kacangnya, dia mengambil banyak-banyak. Satu sendok masuk perlahan ke dalam mulut Pak Abrisam. Belum dikunyah sampai halus tiba-tiba Bosku langsung muntahin makanan itu di tisu.
Matanya seketika langsung menatapku tajam.
Waduh! Singanya ngamuk, nih!
Tiba-tiba tangan Pak Abrisam memukul meja di depannya dengan keras. Njir, aku sampai kaget.
"Apa-apaan! Kamu beneran mau ngeracuni saya?!" bentak Pak Abrisam.
Wajahnya yang ganteng jadi jelek karena merah padam. Serem juga ngelihatnya. Aku cuma nunduk. Kalau udah begini, bisa bahaya gajiku bulan ini.
Bang Jono nggak beneran ngasih racun, 'kan? Kok, Bosku sampai marah begini.
Kepalaku menggeleng keras. "Nggak Pak!" elakku dengan suara lantang tapi kepalaku masih nunduk.
Kudengar Pak Abrisam berdecak. Lidahnya dijulurkan keluar lalu dikipas-kipasi pakai tangannya. Duh, Bosku kepedesan kayaknya. Aku langsung melirik bungkusan di meja kerja Pak Abrisam. Mataku melotot, ternyata ketoprak yang kuhidangkan buat Pak Abrisam ketoprak yang pedas.
Tanganku memukul dahi pelan sambil mengaduh. Pantas dia kepedesan.
Bang Jono, sebagai penjual selalu totalitas. Pokoknya, orang pesennya biasa ketopraknya juga biasa. Orang pesennya pedes, Bang Jono kasih pedes banget. Dia gak pelit soal cabai atau sejenisnya. Pantesan langsung dimuntahin, ternyata Bosku makan cabai dalam bentuk ketoprak.
Boleh nggak sih, aku ngakak? Kenapa lihat dia kesakitan gitu malah membuatku pengen ketawa.
Soal pedas, Bosku memang suka. Tapi kalau pedas banget, Bosku mikir dua kali.
"Kamu sini!" bentaknya lagi.
Kepalaku kutegakan, lalu kutatap Pak Abrisam dalam diam.
"Sini saya bilang!"
Suaranya yang tegas itu membuatku meringis. Kedua telapak tanganku kutangkupkan seolah meminta maaf.
Kakiku melangkah mendekati Pak Abrisam.
Pak Abrisam mendudukan dirinya di sofa. "Duduk sini!" titahnya tegas.
"Apa Pak?" Aku pura-pura tidak dengar.
"Saya bilang, duduk sini!" ulang Pak Abrisam tegas sambil menepuk-nepuk pahanya.
Tenggorokanku seakan kering, air liurku serasa pekat. Ini nanti jantungku nggak bisa berdetak semestinya. Walaupun nggak ada rasa suka tapi tetep aja aku sama Pak Abrisam masih normal. Nanti kalau terjadi apa-apa bagaimana? Bosku ini orangnya m***m kan, kalau dia tertarik sama tubuhku bagaimana?
Ah! Aku malah jadi patung.
"Davina kamu nggak denger?!"
"Pak, saya masih ada pekerjaan lain dan Bapak ...." Aku melirik jam di pergelangan tanganku. "Ketemu klien, Pak," sambungku memberi alasan sekalian menghindari perintahnya.
"Kamu sudah racuni saya Davina. Dan lagi, saya ketemu kliennya nanti bukan sekarang. Kamu jadi sekertaris kok gak bisa nurutin kemauan Bos. Mau saya potong gaji kamu?" tanya Pak Abrisam enteng sekali.
Dalam hati mengumpat sejadi-jadinya, masa gajiku dipertaruhkan dengan harga diriku.
"Pak, bukannya begitu. Saya cuma nggak mau nanti orang yang lihat akan salah paham."
"Gak ada yang lihat. Udah cepetan sini!"
Astaga Bosku ini nafsu sekali rasanya. Apa aku seseksi itu?
"Dav?"
"Iya Pak?"
"Kamu ambil ketoprak yang di meja. Itu gak pedes kan?" Aku menjawabnya dengan anggukan. Kuturuti perintah Bos.
"Sekarang duduk di pangkuan saya."
Aku cuma menatapnya tanpa suara. Wajahku sudah ketakutan.
"Buruan atau say---"
"Oke, Bos!" jawabku pasrah tapi semangat, biar gajiku tidak dipotong.
Perlahan, dengan malu-malu aku duduk di pangkuan Bosku. Menggigit bibir bawahku dengan memejamkan mata. Begini-begini, aku masih punya malu, ya!
Segera aku mendudukan diriku di paha Pak Abrisam. Duh ... Rasanya kok aneh begini.
"Suapin saya," pintanya. Napasnya menyapu leherku, geli rasanya.
Sendok di piring kuambil, kusendokan ketoprak dan langsung kusuapkan ke mulutnya. Otomatis karena itu, muka kita berdua dekat banget. Pak Abrisam ngunyah makanannya sambil senyum-senyum.
"Dav, balik posisi kamu biar gampang."
What the?!
_____________________
Hello, masih setia baca cerita ini?
Untuk episode berikutnya yang gratis, yuk Masukan cerita ini ke library. Sekalian masukan cerita Dating with Psychopath ke library juga ya:*
Terima kasih masih jadi pembaca setia :*
Have A nice day, guys!
Best Regards
Zaynriz