"Bi, tadi Mona Minum s**u enggak ?," tanya Putri, ia meletakan tas di atas meja.
"Sudah non, dua botol," ucap bi Sinem melangkah ke dapur, ia ingin mencuci botol Mona.
"Syukurlah kalau begitu," Ia melihat Mona sudah tertidur pulas di dalam box baby.
Baginya Mona adalah segalanya, dia anugrah terindah yang pernah ia miliki. Walau ia kurang tidur, sering terjaga di malam hari, baginya kasih sayang Mona nomor satu. Karena ia sekarang orang tua tunggal, yang harus ia lindungi serta memberi penuh pengertian.
"Kamu sudah makan bi?,"
"Sudah non tadi makan sama ibu,"
"Bi, jaga mona ya,"
"Iya non,"
"Saya mau mandi dulu,"
"Iya non,"
Putri melirik jam melingkar di tangannya, ini sudah sepuluh menit berlalu tapi Mince tak kunjung datang. Padahal ia ingin Mince lah yang menjaga Mona. Ah, sudahlah palingan Mince ngalor ngidul dulu sama security bawah. Sudah seharusnya ia percaya pada bi Sinem, yang ia cari langsung dari yayasan Pelita. Selama ini bi Sinem bekerja dengan giat, mengikuti semua perintahnya.
Putri melangkah masuk ke dalam kamar, ia lebih baik mandi sebelum Mona terbangun. Bi Sinem memandang tubuh Putri menghilang dari balik pintu kamar. Ia kembali melanjutkan mencuci botol. Suara pintu terbuka seketika, bi Sinem otomatis menoleh. Ia memandang seorang laki-laki berkemeja putih tepat di daun pintu.
"Anda siapa?," tanya bi Sinem, ia meraih pisau di meja pantri sebagai alat pertahananya, karena ada laki-laki menyelusup di apartemen ini. Secara fisik laki-laki itu sama sekali bukan seperti penjahat, bahkan terlalu keren. Tapi penjahat sekarang, yang ganteng juga banyak, bukan jenis tatoan aja dan dekil yang ia lihat di Tv.
Farhan mengedarkan pandangan kesegala penjuru ruangan. Apartemen ini memang tidak terlalu besar, ia melihat foto Putri setinggi manusia bertahta di dinding. Ia tidak salah masuk apartemen, ia melihat box baby tepatnya di dekat sofa. Disana ada buah hatinya yang sedang tertidur pulas.
Hatinya seketika terhenyuh, melihat malaikat kecilnya. Ini lah pertama kalinya ia melihat sang anak. Anak ini adalah darah dagingnya dan keturunan. Ini merupakan perjuangan yang harus ia raih dan tidak akan ia lepas lagi.
"Kamu tidak kenal saya ?," ucap Farhan melangkah mendekati box baby. Ia menatap bayi berbadan gemuk yang sedang tertidur pulas. Air matanya jatuh seketika, bidadari cantik inilah yang ia inginkan. Terlihat jelas Putri menjaganya dengan sepenuh hati.
"Kamu siapa?," tanya bi Sinem lagi, ia tidak terima laki-laki itu menyentuh Mona. Ia di sini bekerja untuk menjaga Mona.
Farhan menarik nafas, menatap wanita muda berseragam biru itu, "Saya suami nyonya kamu,"
"Suami ?,"
"Iya, kalau tidak percaya kamu bisa lihat foto pernikahan kami tahun lalu," Farhan merogoh ponsel di saku celana, ia memperlihatkan sebuah foto yang ada di galeri ponsel. Ia memasangkan cincin pernikahan di jari manis Putri.
Bi Sinem menatap ke arah layar ponsel, ternyata benar laki-laki inilah yang menikahi majikannya. Tapi ia sama sekali tidak pernah melihatnya di sini.
"Jadi bapak, suaminya non Putri,"
"Iya, saya suaminya dan status kami belum cerai,"
Farhan lalu duduk di sofa, memandang wanita itu, "Saya selama ini saya tinggal di London, makanya kamu baru melihat saya,"
"London jauh ya pak,"
"Lumayan 22 jam, "
"Jauh banget pak,"
"Iya emang jauh,"
"Gimana ceritanya bapak bisa ada di sini,"
"Ceritanya panjang,"
"Terus pak ...," bi Sinem mulai kepo.
Farhan menarik nafas, ia melirik wanita itu yang mulai penasaran dengan kisahnya, "Tepatnya seminggu pernikahan kami, Putri malah meninggalkan saya. Padahal saya sayang sama dia, dan semua sudah saya siapkan. Saya tidak pernah menuntut dia bisa masak atau berkemas, bagi saya mendampingi hidup saya itu sudah cukup,"
"Owalah ...," bi Sinem menepuk bantal, karena gemas kepada majikannya yang cantik itu.
"Kamu tahu bagaimana perasaan saya, ketika mendapati istri saya kabur dari rumah. Saya stress ingin bunuh diri,"
"Jangan bunuh diri pak, dosa !," Sahut bi Sinem, ia merasa iba mendengar cerita Farhan.
"Bagaimana saya tidak stres, istri saya kabur dalam keadaan hamil. Saya tidak tahu kenapa nyonya kamu meninggalkan saya, padahal saya cinta dia,"
"Salah saya apa ? Saya kerja dari pagi hingga malam untuk mencukupi kehidupan kami berdua, agar dia bisa berbelanja apa yang dia suka. Tapi apa yang saya lihat, dia malah meninggalkan saya,"
"Oh Tuhan, kenapa non Putri jahat banget sama bapak. Padahal bapak baik dan cinta kayak gini," bi Sinem lalu duduk di salah satu sofa, mendengarkan adegan menyayat hati, pernikahan majikannya yang kandas ditengah jalan.
"Nama kamu siapa?," tanya Farhan, ia lupa berkenalan, sepertinya wanita itu sudah melunak dan akan berpihak kepadanya.
"Nama saya Sinem pak, non Putri biasa panggil bi Sinem,"
"Kamu masih muda, kanapa di panggil bibi sih ?," ucap Farhan tersenyum memandang wanita bekulit sawo matang itu.
"Enggak apa-apa pak udah biasa, dulu saya kerja di Denpasar juga di panggil bibi,"
"Owh gitu ternyata,"
"Jadi bapak dari London ke Jakarta?,"
"Iya bi kemarin saya baru sampai, ini demi istri dan anak saya. Saya mau kumpul sama keluarga kecil saya. Bibi tau lah gimana, rasa cinta saya sama majikan kamu,"
"Saya cinta banget bi sama dia, tapi dia malah enggak balas cinta saya. Dia suka kabur dari saya, saya salah apa coba sama dia ?,"
"Ya ampun, non Putri jahat banget sama bapak," bi Sinem semakin iba. Baginya cinta Farhan begitu tulus dan diabaikan oleh sang majikan. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi lagi. Baginya pernikahan adalah suatu yang harus di pertahankan.
"Walaupun jahat sama saya, tapi saya sayang banget sama dia bi," ucap Farhan lagi.
"Saya enggak mau kehilangan dia bi,"
"Saya udah cari dia setahun lamanya, ternyata dia di sini,"
"Selama ini bapak cari di mana?,"
"Seluruh kota Indonesia saya cari bi, ke Jogja tempat bude nya, ke Berlin tempat eyangnya, ke Palembang tempar om nya, ke Pontianak, ke Padang, ke Riau, ke Jambi. Banyak bi enggak bisa saya sebutin satu-satu,"
"Non Putri tega banget sama bapak, saya enggak tau bagaimana rasanya jadi bapak di tinggal non Putri,"
"Yang pasti saya tersiksa bi,"
Bi Sinem menyandar punggungnya di sofa, ia melihat Farhan bercerita dengan lirih, "Kisah cinta bapak membuat bibi enggak sanggup bayanginnya seperti apa,"
"Itu lah bi, bibi enggak tega kan lihat saya tersiksa seperti ini,"
"Hati saya hancur bi, melihat pernikahan retak, saya ingin keluarga saya utuh,"
"Bapak yang sabar ya," ucap bi Sinem.
"Iya bi makasih atas dukungannya. Dukungan bibi sangat berarti bagi saya,"
"Iya pak,"
"Selama setahun saya sudah cukup sabar menanti majikan kamu, untung saya enggk gila bi,"
"Bapak jangan gila, masa' cakep cakep gila. Sabar ya pak. Oiya bapak mau minum apa?," tanya bi Sinem lalu berdiri.
"Boleh deh bi, kopi tapi tanpa gula,"
"Iya pak, bapak kalau mau gendong Mona enggak apa-apa kok, bibi tau kalau bapak pengen peluk Mona kan,"
Farhan tersenyum mendengar penuturan si Sinem, asisten 9 baik itu. Ternyata nama malaikat cantik itu adalah Mona, "Bibi tau aja, kalau saya mau peluk Mona,"
"Wajah bapak sama Mona sama,"
"Ya iyalah bi, namanya juga anak saya," Farhan mendekati box baby, dan lalu meraih tubuh bayi itu secara perlahan.
"Kalau saya perhatikan Mona, enggak ada mirip mirip nya sama non Putri ya pak,"
"Berarti dominannya ke saya bi,"
Farhan hanya tersenyum, ia melihat tubuh bi Sinem manjauh darinya. Kini dia sedang membuatkan secangkir kopi untuknya. Ia mencium puncak kepala Mona dengan segenap hati.
"Putri nya kemana bi?," tanya Farhan penasaran, karena ia tidak melihat Putri di sini.
"Lagi mandi pak," bi Sinem membawa cangkir kopi dan meletakkannya di meja.
"Kok bapak bisa masuk ke sini?,"
"Saya tadi ketemu Mince di bawah, dia kasih kunci apartemennya sama saya. Dia juga iba terhadap saya bi, makanya sata bisa masuk," Farhan mencoba berkilah,
"Owh gitu ya pak,"
Farhan mengusap pipi Mona secara perlahan agar tidak menggangu tidurnya, "Kamu asalnya dari mana bi?,"
"Dari Boyolali pak,"
"Jauh dong merantau ke Jakarta," ucap Farhan.
"Namanya juga kerja pak, demi sesuap nasi," bi Sinem terkekeh.
Farhan mengambil dompet di saku celananya, ia mengambil tiga lembar uang seratus ribuan. Ia lalu menyerahkan uang itu kepada bi Sinem yang ia selipkan di tangan wanita itu.
"Ini untuk jajan kamu, ambil saja,"
"Haduh, jangan pak,"
"Ambil saja, hitung hitung beli lipstik sama bedak kamu. Kamu bisa kecengin tetangga sebelah,"
Bi Sinem tertawa, rejeki tidak bakalan ia tolak. Terlebih jarang sekali ada majikan memberinya uang secara cuma cuma seperti ini. Dengan senang hati ia menyimpan uang itu di saku bajunya,
"Makasih pak,"
"Iya sama-sama bi,"
Farhan tersenyum dan ia mencium pipi Mona. Ia pastikan tidak akan membuat Mona dan Putri jauh darinya lagi. Ia melirik bi Sinem masih duduk di posisi yang sama.
"Silahkan di minum pak kopi nya,"
"Iya bi, makasih ya udah buatin kopi untuk saya,"
***
Beberapa menit kemudian, Putri keluar dari kamar. Ia mengerutkan dahi menatap laki-laki duduk di sofa yang sedang menggendong Mona. Wajah laki-laki itu sama sekali tidak perubah sejak pertama kali bertemu, kecuali pada wajah itu tidak kelimis lagi. Bulu-bulu halun tumbuh di permukaan wajahnya. Ia menghentikan langkahnya, keringat dingin seketika jatuh di pelipis. Ia melihat bi Sinem sedang duduk di kursi pantri. Wanita yang ia beri tugas menjaga Mona, sekarang malah membiarkan Mona dengan orang lain, terlebih dia adalah Farhan.
"Eh non Putri," ucap bi Sinem, tersenyum menatap majikannya.
Otomatis Farhan lalu memandang lurus kedepan, ia melihat Putri. Wanita itu mengenakan celana pendek dan kaos putih berbahan lembut. Ia tersenyum penuh arti, akhirnya mereka bertemu lagi. Jika sudah bertemu seperti ini tidak akan ia lepas lagi. Terlihat jelas wajah itu cemas atas kehadirannya,
Apa yang Putri ia pikirkan semuanya benar-benar terjadi, ia meremas tangan yang sudah mendingin. Ia mendekati bi Sinem,
"Kenapa bibi biarkan dia masuk ?," ucap Putri geram. Ia tidak terima melihat Mona sudah berada di dalam pelukkan Farhan. Oh tidak, kepalanya mendadak pusing.
"Masuk sendiri non, kata bapak kuncinya dapat dari non Mince,"
Suasana mendadak gerah, ia tidak tau akan berbuat apa. Ia tidak yakin Mince menyerahkan kunci akses secara cuma-cuma seperti ini. Ia tahu akal licik Farhan, dia pasti sekongkol sama teman-temannya.
"Pak Farhan itu suami non kan, jadi bibi suruh masuk aja,"
Putri bertolak pinggang, ia benar-benar ingin memecat bi Sinem sekarang juga. Sungguh ia kesal luar biasa,
"Kasihan pak Farhan nya non, udah setahun non tinggalin. Non harusnya bersyukur punya suami sebaik pak Farhan,"
Farhan yang kendengar itu hanya bisa tersenyum penuh arti, ia menegakkan punggungnya mendekati bi Sinem dan Putri. Ia melihat Putri mundur teratur, ia dengan cepat meraih tangan kurus itu, sebelum dia melesat ke dalam kamar. Di sini ia ada bi Sinem yang akan membantunya, membuat keadaan yang lebih baik.
"Kamu mau kemana sayang," gumam Farhan, memandang iris mata bening itu.
"Lepasin enggak !,"
"Dari mana kamu tahu aku ada di sini !," Putri mencoba melepas cekalannya. Tatapan tajam itu selalu membuatnya takut dan sulit tidur.
"Non ...,"
"Kamu jangan ikut campur urusan saya !," Putri menggeram, karena bi Sinem lah yang mempersilahkan Farhan dan lihatlah sekarang dia sudah mengambil alih Mona.
"Ah non, tapi kasihan bapaknya. Jangan gitu dong non, udah setahun bapaknya cari non seluruh Indonesia," sahut bi Sinem.
"Sudahlah non, berdamai aja sama bapak. Non kok tega betul sama bapaknya Mona !,"
"Bapak Mona masih cinta sama non,"
Farhan menyungging senyum, sepertinya uang tiga ratus ribu yang ia selipkan di tangan bi Sinem membuahkan hasil. Kini bi Sinem berada di kubu dirinya.
"Bibi enggak tahu apa-apa urusan saya sama dia, jadi jangan ikut campur !,"
"Tapi non ...,"
"Saya enggak segan-segan pecat bibi sekarang juga !," Putri semakin kesal karena bi Sinem malah membela Farhan. Oh Tuhan, dari mana dia tahu bahwa Farhan mencintainya. Ia yakin otaknya bi Sinem sudah di cuci oleh Farhan.
Farhan berusaha tenang, "Bibi jangan dengerin ya kata-kata nyonya kamu. Kalau lagi kesel dia kayak gini, nanti saya yang gaji kamu,"
"Makasih ya pak,"
"Non jangan sia-siain bapak yang udah baik hati kayak gini,"
"Bibi ...!," Putri kesal luar biasa.
"Mari non, bibi masuk kamar dulu," bi Sinem lalu mundur teratur, lalu ngacir meninggalkan tuan nya.
Farhan menatap iris mata Putri, ia di sini perlu bicara empat mata dengan wanita ini. Rentetan pertanyaan yang mesti wanita ini jawab, karena setega itu meninggalkannya.
Mungkin dia lupa bahwa setatusnya itu adalah istri. Kepergian dia tidak menjamin sedikitpun hati tak menuai luka. Ini bukanlah perasaan sesaat yang pergi lalu selesai. Ia tidak suka sebuah komitmen dipermainkan seenaknya. Jika sudah sakral maka bertahanlah, maka semua akan baik-baik saja. Sekarang ia punya anak seharusnya di jaga bersama-sama. Ia mengerahkan semua yang ia punya, dia malah acuh. Padahal aku dan dia sudah menjadi kita.
"Harusnya kamu masih ingat, bahwa aku sudah mengatakan kalimat yang sakral di salah satu senja terbaik kita,"
***