BAB 5

1930 Kata
Mince melirik Arnold yang masih fokus dengan kemudi setir. Ia diam-diam membuka hendel pintu ketika mobil berhenti diperepatan lampu merah. Sialnya, pintu ini sama sekali tidak bisa terbuka, karena terkunci otomatis ketika mobil berjalan. Mince merogoh sesuatu dari tas, ia ambil ponsel itu secara perlahan. Ia menatap ke arah layar persegi itu dan mencari kontak Putri, ia ingin mengatakan bahwa Farhan datang menemuinya. Seketika tangannya tersentak, ponsel itu kini beralih di tangan Arnold yang sedari memperhatikannya. "Sial !," umpat Mince berang, padahal ia baru saja ingin memberi tahu Putri bahwa Farhan ada di sana. Setidaknya menunggu hingga pesan itu terkirim. "Lo apaan sih ! Kembaliin !," Mince mencoba mengambil ponsel dari tangan Arnold. Arnold tersenyum licik, "Kamu mau ngubungin siapa hemm," "Ngubungin bokap gue lah, sini HP nya !," Arnold seketika tertawa, ia melihaf sekilas pada layar, "Yakin bokap ?," "Ya iyalah bokap gue, lo enggak tau apa bokap gue polisi ?. Gue mau ngasih tau bokap, kalau gue dalam keadaan darurat. Agar lo di tangkap dan masuk penjara !," timpal Mince asal. Arnold menyelipkan ponsel itu di saku celana, tadi ia melihat sebuah pesan singkat untuk Putri, "Ayah kamu polisi ?," tanya Arnold menahan tawa. "Iya kenapa ? Lo takut kan, cepat turunin ! Sebelum gue aduin lo sama bokap !," "Hemmm," "Ayo cepat turunin !gue enggak ngubungin bokap deh, gue masih baik hati sama lo !," "Cepat turunin, !," "Setahu aku, ayah kamu pesiunan pegawai PLN, bukan polisi," "Enak aja !, ngaco lo !," Mince tidak terima. Ia semakin kesal dari mana nih orang tau kalau ayahnya pensiunan PLN. Ia yakin, si b******k ini dari awal sudah menyelidikinya. "Sudahlah akui saja," ia teringat Farhan mengatakan bahwa ayah Mince adalah pensiunan PLN. Ibunya hanya rumah tangga biasa. "Aku tahu kamu tadi ngubungin Putri, iya kan !. Kalau kamu mau lawan aku ya beda kelas lah. Kalau kamu mau aman, lebih baik duduk manis dan dengerin kata-kata aku," Mince ingin muntah ingin menuruti semua kata-kata laki-laki berengsek ini. Ia memilih diam, memandang ke arah jendela. Ia sudah kesal luar biasa di culik oleh Arnold. Ia tidak tahu apa-apa tentang dia, kecuali dia juri di acara Master Chef. Ia menyesali karena telah berkenalan dengan Arnold di studio tadi. Ternyata dia begitu licik dan sama aja berteman dengan si amang. Ia tidak tahu akan berbuat apa selain diam, setelah mobil ini berhenti, ia pastikan akan kabur. Beberapa menit kemudian, Mince memandang bangunan tower Partemen Puri Garden. Ia hafal betul lingkungan ini. Oke sip, ini memang tidak terlalu jauh dari rumah orang tuanya. Jika di rumah, ia akan aman bersama keluarganya. Mince setenang mungkin menghadapi Arnold. "Kok ke sini?," "Ikut saja," Arnold melirik Mince sepertinya wanita itu sudah melunak, karena sepanjang perjalanan tadi dia hanya diam. "Kamu tinggal di sini?," tanya Mince mencoba memastikan. "Iya," "Owh gitu," Arnold membuka sabuk pengaman, ia menatap Mince masih di posisi yang sama. Ia tersenyum penuh arti, "Kamu beneran cantik kalau diam seperti ini," "Dasar gombal," "Kita ngobrol-ngobrol dulu dan aku akan masakin kamu," "Kamu sudah makan?," tanya Arnold lagi. "Belum sih," "Mau sphageti?," Mince tersenyum, "Mau kok," "Serius ?," "Serius dong," "Oke," ucap Mince seketika mendengar tawaran Arnold, padahal ia tidak yakin bisa memakan masakan Arnold. Mungkin laki-laki itu menaruh racun di atas masakannya. "Kamu tinggal sendiri ?," "Iya," "Owh gitu," Mince melirik Arnold, ia berikan senyum tercantik yang ia miliki, "Makasih ya udah mau masakin untuk aku," "Iya sama-sama," "Aku seneng loh, ada chef sekelas kamu, mau buatin aku makanan. Aku merasa spesial gitu deh," Arnold tersenyum ia menoel hidung mancung itu, lihatlah senyumnya begitu cantik, "Yaudah, turun yuk," "Iya," Arnold membuka hendel pintu, diikuti Mince. Mince mengikat rambutnya ke belakang, ia melirik Arnold tidak jauh darinya. Ia menarik nafas, dan segera mengambil langkah seribu bayangan. Meninggalkan basement begitu saja, dengan sekuat tenaga ia kerahkan. Ia yakin ia bisa menyusup lingkungan ini, karena ia sudah berada di daerah ini cukup lama. Ia hafal betul di mana jalan tikus dan jalan pintas yang ia lewati. Ia berlari pontang panting, masuk ke rumah penduduk. Mince terus berlari tanpa henti menoleh kebelakang. Ia melewati perumahan warga, ia menyusup gang-gang kecil. Ia bahkan menyetop remaja berseragam yang sedang bersepeda karena menghalangi jalannya. "Maaf ...," "Ih mbak hati-hati dong," "Ganggu aja mbak nih !," "Ya maaf," dengus Mince karena di marahi oleh bocah ingusan itu. Mince terus belari, tidak menanggapi anak itu. Ia semakin kuat berlari ia harus bisa pulang ke rumah orang tuanya sekarang juga. Arnold melihat Mince kabur menjauh, ia sepertinya tidak bisa mempercayai Mince begitu saja. Lihatlah dia kabur berlari dengan kecepatan tinggi. Ia sudah terkecoh dengan sikap manis Mince beberapa menit yang lalu. Seharusnya ia tidak membiarkan Mince keluar sendiri. Ia berlari mengejar Mince, tubuh itu sudah melesat menjauh. "Sial !," Arnold menggeram, ia melihat Mince masuk ke dalam rumah penduduk. Ia melihat para warga yang memperhatikannya, ia terus berlari mengejar ketertinggalan. Ia tidak peduli beberapa orang pengguna jalan yang hampir nambraknya. Yang ia pikirkan hanyalah menangkap Mince. Ia tidak peduli sumpah serapah di lontarkan pengguna jalan. Ia hampir saja menabrak tukang cilok, untung saja gerobak itu ngerem mendadak. "Aduh bang kalau jalan hati-hati dong !," "Maaf mang, maaf mang !," "Kalau jalan liat-liat mas ! Saya bayar pajak loh !," pada pengguna pengendara bermotor tepat di hadapannya. Motor ini juga nyaris menabraknya. "Maaf pak, maaf !," kata maaf, adalah kata yang tepat dalam kasus masalah ini. Arnold terus berlari mengejar ketertinggalan, ia sudah hilang jejak, tubuh Mince sudah menghilang tepat di sepertigaan jalan. Ia tidak tahu di mana Mince berada. "Berengsek !," Ia mengatur nafas yang sulit diteratur, ia sudah di sepertigaan gang. Ia yakin Mince bersembunyi di lingkungan ini. Tidak mungkin Mince dengan cepat hilang begitu saja, karena dia berlari seperti kukang. Ia masih berlari mencari sosok Mince yang hilang entah kemana. Ia mendengar suara klakson mobil "Maaf pak," Arnold menepi di pinggir jalan. Ia memandang laki-laki bertopi hitam itu, mendekatinya, "Cari siapa bang?," Alis Arnold terangkat menatap laki-laki itu, "Cari calon istri saya pak," Arnold mencoba menjelaskan. "Kenapa calon istrinya bang?," "Biasa pak kabur, padahal saya sudah mau nikahi dia," "Owh gitu," "Iya pak, soalnya tadi dia kabur," "Yang mana orangnya bang ?," pak hansip ikut-ikutan berjalan mendekatinya, karena ia berada di dalam perumahan padat penduduk. Mungkin mereka merasa iba, karena ia sudah bingung. "Rambutnya panjang warnanya mirip rambut jagung, yang pasti cantik pak," ucap Arnold menjelaskan. Seketika warga yang melintas di jalan berkumpul, penasaran apa yang telah terjadi pada adegan kejar-kejaran itu, "Kenapa bang?," tanya laki-laki berpakaian hansip itu. "Gini pak, calon istri saya kabur. Padahal saya mau ketemuin dia sama orang tua saya, dia nya malah kabur, belum siap. Tolong saya dong pak," Arnold dengan wajah memelas. "Wah, jadi masnya mau nikah," "Iya pak saya mau nikah," "Eh bukannya abang ini Chef Arnold ya. Jurinya master chef," bapak-bapak berkendara mulai mengenalinya. Arnold tertawa, "Ah bapak tau aja," "Bang, saya sering loh nonton acara abang," "Abang hebat bisa masaknya cepet, salut sama abang," "Bang boleh minta selfie enggak bang?," "Boleh kok pak, asal bapak bantu saya cari calon istri saya," "Itu mah gampang bang, lewat group WA RT, semua pasti bakalan tau," Arnold menyungging senyum melihat Hansip itu mengeluarkan ponselnya, "Wah itu bagus pak," "Iya pak, orang tua saya jauh-jauh dari Palembang. Jadi saya di sini mau ketemuin dia sama ibu saya pak," ucap Arnold memelas, ia sengaja membuat tampang sedih, agar warga membantunya. "Tapi calon saya katanya belum siap, malah kabur, padahal saya cinta banget loh pak sama pacar saya," "Yang mana mas fotonya, nanti saya bantu lewat group, hansip juga" Alis Arnold terangkat, kebetulan ia menyimpan ponsel Mince. Ia memperlihatkan layar persegi itu kepada hansip itu. Ia bersyukur warga membantunya. Sementara di sisi lain, Mince bersembunyi di dekat jemuran warga. Ia mengatur nafasnya yang sulit di atur. Lelah luar biasa sudah pasti, karena ia bukanlah wanita yang rajin olah raga, terakhir olah raga tahun lalu. Ia mendengar sayup-sayup suara Arnold dan warga, sepertinya mereka membicarakannya. Ia ingin muntah mendengar calon istri. "Dasar pembohong !," dengus Mince memilih berjongkok di dinding. Ia akan bersembunyi hingga suasana aman. Oh Tuhan, ia sekarang sudah seperti buronan. Jantungnya maraton, ia menepis keringat yang jatuh di pelipis. "Neng ngapain jongkok di situ !," Mince lalu menoleh ke arah samping, ia melihat ibu-ibu dari balik jendela dapur. Ia menelan ludah bingung ingin berbuat apa "Eh empok, cuma numpang duduk aja pok," ia yakin wanita itu adalah betawi asli, karena logatnya begitu kental. Ia mengusap tengkuknya yang tidak gatal, karena suara cempreng itu begitu menganggu sekali menurutnya. "Jangan duduk di situ neng, duduk dimari," "Iya mpok," ucap Mince, berdiri mendekati ibu-ibu berhijab itu. "Dari mane neng?," "Dari tadi mpok," Mince terkekeh. "Tadi mpok liat ramai-ramai di luar, katanya ada chef Arnold. Ganteng neng, liat yuk neng, mpok mau minta selfie, ini mau ambil HP ketinggalan di kamar," mpok itu keluar dari pintu, ia melihat ke arah layar persegi membaca pemberitahuan di group. Memandang ke arah wanita itu, sama seperti di layar. "Eneng calon istrinya chef Arnold ya," "Loh," "Ini ada group RT neng, ada foto eneng di sini," Mince hampir tidak percaya, bahwa di dalam WA pun ada group RT, "Bukan mpok beneran," elak Mince. "Udah neng ngaku aja, kasihan chef Arnold cariin eneng di luar sana, ini infonya eneng kabur," Mince mengigit bibir bawah, ia memandang ke arah pintu pagar, sebelum ibu-ibu ini berteriak memanggil Arnold. Ia berlari keluar dari pintu pagar, memandang kerumunan warga yang sedang sibuk dengan Arnold. Sebelum warga memergokinya, ia berlari sekuat tenaga menuju ke arah jalan karena rumah ini mentok berpagar. "Neng ... tungguin !," teriaknya. Arnold menoleh mendengar suara teriakan. Ia memandang Mince yang berlari keluar dari rumah berpagar. Ia mengejar Mince dan tidak akan menundanya lagi. Jika sudah seperti ini ia tidak akan lengah. Cukup mudah mengejar ketertinggalan itu, karena Mince belari terbirit-b***t, tenaganya habis tidak tersisa. Ia menarik tangan itu dengan itu sekali hentakkan. Otomatis langkah Mince terhenti, "Kamu mau kemana hemmm," ucap Arnold menatap iris mata bening itu. Sebenarnya ia ingin tertawa melihat Mince dengan tampang mengenaskan. Ia yakin wanita itu lelah luar biasa. "Kamu mau coba kabur sayang," "Apaan sih !," "Ini calon istri abang !," ucap bapak-bapak bertopi berjalan mendekatinya. Arnold tersenyum, "Iya pak, ini calon saya," "Enak aja ! Enggak pak dia bohong, justru saya yang mau di culik sama dia, tolong saya pak !," Arnold tartawa, "Biasalah suka ngambekkan pak, pengennya minta putus terus calon saya," "Jangan gitu neng, chef Arnold nya sayang gitu," "Iya neng, jangan sia-siain cintanya chef Arnold. Kasihan calon mertua neng, jauh-jauh dari Palembang mau ketemu neng," "Di tv chef Arnold emang galak neng, tapi kalau aslinya kan enggak," "Sok tau banget, mau aja kalian di bahongin !," dengus Mince. Arnold menahan tawa, ia mengelus puncak kepala Mince, tidak lupa diberinya kecupan pada puncak kepala itu. Memeperlihatkan pada warga bahwa dirinya adalah laki-laki yang penuh perhatian. "Ciyeee romantis banget bang," "Cepat nikah chef," sahut yang lainnya. "Keliatan banget chef Arnold baik neng, jangan sia-siain cintanya chef Arnold," "Makasih ya pak atas dukungannya," ucap Arnold penuh kemenangan. "Tanpa bapak, saya mungkin tidak mungkin menemui calon saya," "Semoga langgeng ya chef," "Iya pak, saya selalu berdoa seperti, Mari pak kita pulang dulu pak, ibu," "Iya chef, hati-hati, jangan ngambek lagi ya neng," "Kalau saya cium enggak bakalan ngambek lagi pak," Mince melirik Arnold tersenyum penuh kemenangan. Semua warga membelanya, hanya kerena dia jauh lebih terkenal. Mau bantah percuma saja karena mereka lebih percaya Arnold. Ia mengikuti langkah Arnold, menahan kesal teramat sangat. Padahal tadi ia hampir saja lolos dari laki-laki berengsek ini. Tapi apalah daya, ia sudah tertangkap basah. Cekalan tangan itu semakin erat menuju tower gedung apartemen Puri Garden. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN