Aku kembali ke kamarku dan menatap layar laptop yang memang sudah menyala semenjak Annisa masuk rumah ini. Aku memasang CCTV di setiap sudut kamar tempat Annnisa kusekap, bahkan kamar mandi pun tak luput dari CCTV. Tujuannya Cuma satu, aku ingin selalu mengawasinya. Aku merasa berhak atas dirinya, tubuhnya dan semua yang ada pada diri Annisa.
Pagi ini aku kembali masuk ke dalam kamar tempat Annisa berada. Aku melihat Annisa terbaring di lantai, di atas sajadah tempatnya shalat. Aku menutup pintu dengan sangat pelan, agar tidak membangunkannya. Dengan hati-hati aku mengangkat tubuhnya hendak memindahkannya ke atas ranjang.
“Apa yang akan kau lakukan Rafa Purnawan!” Aku tersentak. Baru saja aku hendak mengangkatnya, Annisa terjaga.
“A—aku hanya ingin memindahkanmu ke atas ranjang.”
“Kau tidak perlu melakukanya.” Annisa tampak bangkit, melepas mukena yang sedari tadi ia kenakan. Aku lihat Nisa sangat pucat.
Ia berusaha berjalan, tapi kemudian terjatuh. Aku dengan cepat menyambutnya dan memindahkannya ke atas ranjang.
-
-
-
-
-
POV Nisa
Aku sangat pusing pagi ini. Aku biarkan Rafa mengangkat tubuhku ke atas ranjang karena aku memang tidak memiliki tenaga untuk mencegahnya.
“Kau sangat pucat, Sayang. Ini pasti karena dirimu belum makan apa pun sedari sore. Aku akan membawakan makanan untukmu.” Rafa berbicara sangat lembut sambil mengusap kepalaku.
“Tidak perlu, aku tidak lapar. Aku hanya ingin pulang.” Aku berusaha berbicara walau sangat lemah. Menangis membuat energiku terkuras cukup banyak. Apalagi aku memang belum makan apa pun dari kemarin sore.
“Aku tidak menerima penolakan, Sayang. Tunggu disini, jangan kemana-mana, aku tidak akan menyakitimu.” Ia mengusap lembut pipiku.
Tidak lama ia kembali membawa sebaki makanan. Aku menyandarkan punggungku ke dinding ranjang, sementara Rafa telah duduk di tepi ranjang di sebelahku.
“Mbak Rena sudah membuatkan nasi goreng, kau suka nasi goreng’kan, Sayang. Aku akan menyuapimu.”
“Aku sungguh tidak lapar, kau saja yang makan.” Aku menolak suapan dari Rafa.
“Kau lupa, aku tidak menerima penolakan.” Rafa menatapku begitu dalam. Aku hanya bisa menurut.
Setelah suapan ketiga, Rafa memberikan segelas s**u hangat. Aku memang sangat haus, mungkin karena terlalu lama menangis dan memang aku belum minum apa pun sedari sore. Aku menghabiskan segelas s**u pemberian Rafa.
“Lagi ya, Sayang.” Rafa kembali menyuapiku.
“Maaf, aku benar-benar sangat kenyang, aku bisa muntah jika tetap kau paksa.”
“Pantas saja sekarang sayangku tampak sangat kurus. Makannya sedikit sekali. Padahal dua tahun lalu kau tampak sangat gemuk.” Rafa tertawa ringan, senyumnya masih manis. Sama seperti Rafa yang dulu pernah begitu aku cintai.
“Nanti aku akan buat Annisa Secilia menggemuk kembali.” Ucapnya lembut sembari membelai kepalaku.
Aku sedikit lebih segar, mungkin karena perutku sudah terisi. Apalagi aku menghabiskan segelas besar s**u hangat yang diberikan Rafa tadi. energiku kembali tumbuh.
“Kau tampak sangat kusut dan bau, pergilah mandi.” Rafa mengatakannya dengan ekspresi wajah yang cukup menggemaskan. Sejujurnya rasa itu masih ada, apalagi melihat Rafa memperlakukanku dengan sangat lembut dan penuh kasih sayang seperti ini. Berbeda dengan perlakuannya tadi malam.
“Aku tidak punya baju ganti.”
“Aku sudah menyiapkannya.” Rafa mengambil dua lembar handuk berwarna putih dan sebuah pakaian dari dalam lemari yang memang sudah ada di kamar ini. Tak lupa ia memberiku sepasang underwear.
Aku mengambilnya dan berlalu menuju kamar mandi tanpa berucap apa pun.
-
-
-
-
-
POV Rafa
Aku melihatnya berlalu menuju kamar mandi, karena aku memang menyuruhnya membersihkan diri. Sebelum itu aku memberinya pakaian, lebih tepatnya pakaian tidur. Dia langsung mengambil tanpa melihatnya terlebih dahulu.
Aku langsung menyalakan ponselku, untuk apalagi kalau bukan ingin melihat ritual yang di lakukan Annisa didalam kamar mandi. Pikiran liar menguasai otakku. Apa salahnya aku menikmatinya, bukankah Annisa adalah milikku.
Aku lihat semua dengan sangat jelas, karena aku memang memasang CCTV berkualias di kamar ini. Aku tidak tahan melihat Nisa mulai melepas satu persatu pakaiannya. Menyiram tubuh dan rambutnya dengan air.
Aahhhh ...
Ingin rasanya aku mendobrak pintu kamar mandi ini dan melumatnya saat ini juga. Tapi berusaha aku tahan, aku tak ingin kembali menyakitinya. Nisa kemudian masuk ke dalam bathtub. Aku lihat, ia begitu menikmati ritual berendamnya. Aku yakin selama ini Nisa tidak pernah mandi di dalam bathtub seperti ini.
“Nisa sayang ... kau masih sama seperti dulu. Kebiasaanmu tidak berubah. Kau tidak akan pernah tahan apabila melihat air. Kau bisa berendam berjam-jam tanpa memerhatikan sekitar.” Aku bergumam pelan sambil memandangi wajah cantik Annisa dari layar ponsel.
Annisa Secilia memang tidak akan tahan apabila melihat air. Setiap kami pergi jalan-jalan ketempat pemandian, Nisa akan langsung menceburkan diri kesana dan akan lupa pada semuanya. Selalu aku yang menjaga Amanda. Jadi aku pastikan, ia akan betah berlama-lama di dalam bathtub itu. Aku langsung mengalihkan perhatianku pada yang lain. Aku keluar dari rekaman itu dan mulai menghubungi beberapa orang demi mengurus usahaku dan untuk memeriksa urusan lainnya.
Sudah hampir dua jam, Annisa belum juga keluar dari kamar mandi. Aku tiba-tiba khawatir dan kembali melihat rekaman CCTV kamar mandi. Nisa masih di sana, betah berendam di dalam bathtub. Aku segera menuju pintu kamar mandi, khawatir Nisa akan masuk Angin jika terlalu lama di sana.
“Sayang ... keluarlah dari bathtub, sekarang! Kau bisa demam berlama-lama di dalam sana.”
Aku tidak mendengar jawaban apa pun dari sana. Aku melihat sekilas ke layar ponsel dan kembali mataku terbelalak melihat Nisa keluar dari bathtub. Bagian punggung menghadap ke arah CCTV membuatku dapat melihat dengan sangat jelas setiap lekuk tubuhnya yang tidak tertutup sehelai benang pun. Ada sesuatu yang memberontak dibawah. Aku segera membuang muka dari rekaman ini.
“Sayang, cepatlah keluar. Kau bisa demam berlama-lama di sana.” Aku mengulangi ucapanku tadi.
“Rafa, apa kau tidak punya pakaian yang lainnya? Mengapa kau memberiku pakaian seperti ini, aku tidak mau memakaianya.” Nisa baru menyadari pakaian seperti apa yang kuberikan padanya.
“Tidak ada pakaian yang lain. Kau pakai saja pakaian itu sayang. Hanya ada aku di dalam sini, tidak akan ada siapa pun yang akan melihatmu berpakaian seperti itu.”
“Justru karena ada kau, maka aku tidak mau memakai pakaian ini. Ku mohon, ambilkan aku pakaian yang lain.”
“Aku tidak menerima penolakan, Sayang. Pakai saja atau aku akan menyakitimu lagi.” Ah, mengapa aku ceroboh mengatakan hal itu pada Nisa. Ia pasti akan terluka mendengarkan perkataan itu. Mengapa aku selalu saja mengancamnya.
Tidak ada jawaban dari dalam. Tiba-tiba Annisa keluar, satu handuknya dipakaikan kekepala untuk mengeringkan rambutnya yang basah, dan handuk satunya dia lingkarkan ke bahu untuk menutupi bagian tubuh atasnya.