TAP LOVE DULU YA SEBELUM LANJUT, hehehe ...
Oiya, jangan lupa, mampir ke akun author juga dong dan pencet tanda FOLLOW, okay ... KISS ...
===
======
Rafa meninggalkanku sendirian di kamar ini. Aku masih mematung. Ada keinginan untuk melarikan diri. Tapi Rafa benar, untuk apa aku kabur. Rehan sudah menceraikanku. Tidak hanya lewat panggilan suara, tapi beliau juga mengirimkan pesan. Aku masih belum bisa menerima semua ini, tapi inilah kenyataannya. Amanda juga sedang bersama nenek dan kakeknya. Jadi tidak ada alasan untuk aku melarikan diri. Aku hanya bisa menuruti Rafa, agar dia tidak berbuat nekat. Aku masih ingin membesarkan Amanda.
Segera kukenakan gaun yang diberikan Rafa, tak lupa kerudung dengan warna senada. Aku yakin gaun ini harganya sangat mahal. Sedikit banyak aku tau tentang bahan dan kualitas jahitan, sebab aku juga menerima jahitan sembari bekerja.
Aku pun memoles wajahku dengan sangat cantik. Di meja rias ini semua peralatan tertata dengan apik. Semua lengkap, bagaimana Rafa bisa tau semua perlengkapan dandan wanita seperti ini? Ah sudahlah, aku tidak peduli dengan semua itu. aku tidak mau tahu. Yang bisa aku lakukan hanya mengikuti semua permainan Rafa. Aku hanya bisa mengikuti alur cerita ini. Entah sampai mana titiknya nanti.
Selesai dengan semuanya, aku kenakan sepatu high heels berwarna Navy. Warna yang senada dengan gaun dan kerudung, bahkan tas pesta ini pun warnanya sama dengan gaunku. Aku menatap penampilanku di balik cermin besar. Cermin ini menampilkan seluruh bagian tubuhku. Sungguh, semua ini sangat mewah. Bahkan waktu kami menikah dulu, gaun pesta yang kami sewa tidak seindah dan semewah ini. Kemana Rafa akan membawaku malam ini?
Tidak mau Rafa menunggu lama, akhirnya aku turun. Namun aku tidak menemukan siapa pun di sini, kemana Rafa? Aku menuju Ruang keluarga, di sana kulihat Mbak Rena sedang tertawa terbahak-bahak sembari menatap layar televisi.
“Mbak Rena, maaf, apa mbak melihat Rafa?” Aku menghampiri mbak Rena.
Mbak Rena menoleh ke arahku, “Masyaa Allah ... Masyaa Allah... Nisa cantik sekali, pantas saja Rafa tergila-gíla.” Mbak Rena menutup mulutnya, beliau terbelalak melihat penampilanku saat ini.
“Ayo duduk di sini, Temani mbak dulu nonton. Ada sule, dia sangat lucu, hahaha.” Mbak Rena menuntunku duduk di sebuah sofa besar. Wanita berisi itu terkekeh seraya menatap layar televisi.
“Maaf Mbak, apa mbak melihat Rafa?” Aku pun melayangkan pertanyaan yang sedari tadi ingin aku tanyakan.
“Rafa sedang ada tamu sebentar. Stafnya tadi datang, mungkin ada pekerjaan yang akan diurus oleh Rafa. Sebentar lagi dia akan datang. Tunggu saja di sini bersama mbak.”
“Mbak, maaf, bolehkah Nisa menanyakan sesuatu?”
“Tanya apa, Sayang.” Mbak Rena memperlakukanku dengan sangat baik dan lembut.
“Apa mbak Rena tidak memiliki keluarga?”
“Ada dong, memangnya mbak sejelek itu ya sehingga nggak ada laki-laki yang mau sama mbak, hehehe.” Wanita itu kembali terkekeh.
“Enggak, bukan begitu maksud Nisa. Justru Mbak Rena sangat cantik dan manis.” Aku jengah, aku pikir mbak Rena akan tersinggung.
Mbak Rena mengecilkan volume televisinya, kemudian menatapku dan menggenggan telapak tanganku.
“Pak Doni, supirnya Rafa itu adalah suami mbak. Rafa itu sangat baik. Dia tidak pernah memperlakukan bawahannya dengan semena-mena. Bahkan semua karyawannya begitu mencintai Rafa.”
“Lalu anak-anak mbak kemana?”
Mbak Rena melepaskan genggamannya. Dia menatap layar televisi tapi aku yakin hatinya tidak di sana.
“Dulu mbak punya anak. Anak lanang satu-satunya. Namun dia meninggal sepulang Sekolah. Ketika mbak menjemputnya, motor kami disenggol sebuah truk besar. Mbak terhempas kesebelah kiri sementara Bambang terhempas ke sebelah kanan. Tubuhnya remuk dilindas truk.” Mbak Rena menunduk, aku lihat dia menangis. Aku tau dia pasti sangat terluka.
“Mbak, maafkan Nisa. Nisa tidak bermaksud...” Aku memeluk mbak Rena dan mengusap-usap punggungnya.
“Nggak apa-apa, Nisa. Itu adalah takdir. Makanya mbak sangat senang ketika Rafa sering mengajak Amanda kesini. Mbak sungguh sangat bahagia. Mbak jadi berasa punya anak lagi, pengganti Bambang.” Mbak Rena berusaha tersenyum, tapi ke dua netranya masih saja basah.
Aku melihat ada satu ruangan khusus, ada banyak sekali mainan anak-anak. Bahkan di ruangan itu ada kolam renang kecil dan mainan castle. Semua mainan yang selama ini selalu diidam-idamkan Amanda. Namun karena keterbatasan ekonomi, aku belum mampu membelikan semua mainan itu.
“Semua itu adalah mainannya Amanda. Rafa begitu memanjakan putrinya itu. Rafa tidak segan mengimportnya langsung dari luar negeri demi memuaskan gadis kecilnya itu.” Mbak Rena sepertinya tahu jika aku memerhatikan ruangan itu.
“Mbak sendirian mengurus rumah sebesar ini?” Aku merasa betapa melelahkannya membereskan rumah sebesar ini sendirian.
“Enggak cah ayu, setiap pagi ada yang bertugas membersihkan rumah dan halaman. Dua orang wanita mengurus rumah dan pakaian dan satu orang laki-laki mengurus kebun dan perkarangan. Namun mereka tidak tinggal di sini, biasanya datang jam 7 pagi kemudian menjelang zuhur mereka pulang. Kadang-kadang sampai jam 3 sore kalau banyak yang dibereskan.”
“Owh, Nisa pikir mbak sendirian yang mengerjakan semuanya. Pasti sangat melelahkan.”
“Mbak hanya mengurus dapur, masak dan mengurus Amanda kalau Amanda datang ke sini. Mbak juga yang akan membereskan ruangan-ruangan pribadi Rafa yang sudah dibersihkan sebelumnya oleh pekerja, jika kembali berantakan.”
“Maaf mbak, boleh Nisa bertanya lagi?”
“Silahkan.”
“Mbak tau, darimana Rafa bisa mendapatkan semua ini? Nisa tahu betul dulu Rafa adalah pria yang sangat sederhana.”
“Kalau masalah itu lebih baik Nisa tanyakan langsung saja ke Rafa ya. Sebab kalau untuk masalah itu, tidak ada wewenang mbak untuk menjawabnya.”
“Owh ... ya sudah ... maaf ....”
“Tidak apa-apa, Nisa. Mbak sangat senang waktu Rafa mengatakan akan membawa Nisa ke rumah ini. Ia selalu memuji Annisa kepada mbak. Setiap membicarakan masalah Annisa, Rafa pasti berapi-api.”
“Owh, memangnya Rafa membicarakan masalah apa saja?”
“Banyak hal, katanya Nisa itu adalah wanita yang sangat cantik dan pekerja keras. Nisa adalah wanita yang keras kepala juga, hehehe ... pokoknya setiap mbak membicarakan masalah Annisa, Rafa selalu bersemangat.”
Aku hanya bisa tersenyum tipis. Sungguh, aku tidak tertarik dengan pernyataan mbak Rena. Jika memang Rafa begitu mencintaiku, lalu mengapa ia menceraikanku tanpa sebab? Mengapa ia meninggalkan aku dan Amanda begitu saja tanpa penjelasan?
Tidak, jika Rafa memang cinta, tidak mungkin ia akan melakukan semua itu terhadapku. Ia seolah menelantarkan aku dan Amanda begitu saja di saat aku tidak tidak punya pekerjaan. Dua tahun yang lalu, Rafa seolah membuang kami berdua. Lalu kini ia mengaku cinta?
Shiittt ...
Aku yakin, dalam hati pria itu tidak ada yang namanya cinta. Hati dan jiwanya hanya dipenuhi nafsu semata.
-
-
-
-
-
POV Rafa
Aku baru selesai mengurusi sesuatu yang sangat penting. Ini menyangkut masa depanku bersama Annisa.
Setelah menyelesaikan semuanya, aku pun keluar dari ruangan pribadiku dan menghampiri Annisa. Aku melihat Annisa sedang bercengkrama dengan mbak Rena. Mereka seperti begitu menikmati obrolannya. Aku pun mendekati tanpa menyapa keduanya.
“Ehem ....” Aku berdehem pelan sebab obrolan mereka sudah terlalu panjang.
“Eh, Rafa sudah datang. Kenapa tidak langsung bicara saja. Pakai acara berdehem segala.” Mbak Rena menoleh ke arahku lebih dulu. Kemudian Nisa bangkit dari tempat duduknya.
Aku begitu tertegun melihat pemandangan yang ada di depanku ketika Nisa mulai menoleh ke arahku. Ia sangat cantik di balik gaun berwarna Navy yang aku pilihkan. Riasan wajahnya juga begitu sempurna, sangat cantik dan elegan. Ia berhasil menyembunyikan matanya yang sembab di balik riasan matanya. Terlebih saat ini tubuhnya sudah ramping, menambah kesan elegan dan sempurna. Bibirnya yang berwarna peach agak pink juga terlihat sangat seksi dan menggoda.
Selama ini Nisa memang begitu piawai memoles wajahnya dengan makeup. Namun kali sangat berbeda, ia begitu memesona. Selama ini Nisa pasti tidak pernah menggunakan gaun seindah dan semewah ini. Makeup yang ia kenakan saat ini juga adalah produk berkualitas tinggi. Jadi wajar saja kalau Nisa berhasil membuat mataku tak mampu untuk berpaling darinya.
“Sudah bengongnya jangan lama-lama, nanti kemalaman.” Mbak Rena memukul bahuku dengan pelan, membuatku tersentak dan salah tingkah.
“Baiklah, ayo kita pergi sekarang.” Aku menggenggam tangan kiri Annisa dan menuntunnya menuju mobil.
Mobil Toyota Rush matic berwarna putih keluaran terbaru sudah menunggu kami di halaman depan. Annnisa dari dulu begitu memimpikan mobil ini. Aku ingat setiap kami berjalan-jalan menggunakan motor matic—karena memang hanya itu yang kami punya kala itu—Nisa selalu membicarakan impiannya itu. Begitu bermimpinya ia memiliki sebuah mobil berwarna putih. Namun aku belum mampu mewujudkannya. Bahkan motor matic yang Annisa gunakan sehari-hari adalah hasil keringatnya sendiri. Ia mencicilnya dari gajinya sebagai karyawan salah satu perusahaan kontruksi.
Ya, selama ini aku belum bisa membelikannya apa-apa. Bahkan sebuah cincing perak pun tidak. Dulunya aku hanyalah seorang pria sederhana yang bekerja sebagai karyawan dengan gaji UMR. Gajiku hanya mampu untuk memenui kebutuhan kami sehari-hari dan menutupi hutang-hutangku ke beberapa rentenir.
Ah, sangat menyedihkan memang. Tapi itu dulu, sebelum aku berubah menjadi pria yang memiliki segalanya. Kini, aku akan pastikan jika Annisaku tidak akan pernah merasakan kesusahan lagi. Aku akan membahagiakan Annisa sampai akhir hidupnya. Aku jadikan ia ratu selamanya. Akan aku bayar semua kesalahan masa laluku kepada satu-satunya wanita yang begitu aku cintai, dari dulu.