POV Annisa
Aku tidak tau apa salahku sehingga Rafa memperlakukan aku seperti ini lagi. Ia mengenggam tanganku dengan sangat keras. Menarikku dengan paksa dan melemparkanku ke dalam kamar hingga aku tersungkur ke lantai. Rafa seperti terbakar amarah, tapi kenapa? Dia menutup pintu dengan sangat keras dan menguncinya.
Rafa tiba-tiba membuka semua kancing kemejanya, melempar kemeja itu kesembarang arah. Ia pun mulai melepas singlet yang membalut tubuhnya sembari terus mendekatiku. Aku terus mundur hingga akhirnya punggungku menabrak tepi ranjang membuatku tak bisa menghindar lagi.
Rafa kembali menggenggam rambutku dari balik kerudung, mengusap wajahku dengan kasar. Aku mendengus kesakitan.
“A—apa salahku kali ini, Rafa. Mengapa kau memperlakukanku seperti ini lagi.” Aku tidak mampu menahan air mataku.
“Aku benci kau menyebut-nyebut laki-laki itu.” Rafa perlahan melepaskan kerudungku dan tanganya yang lain mulai membuka kancing kemejaku.
“Rafa, aku mohon jangan lakukan lagi.” Aku berharap Rafa tidak melakukan hal itu lagi terhadapku. Aku berharap Rafa tidak menodaiku lagi. Jangan ... aku mohon, jangan lakukan itu. Aku tidak mau itu terjadi lagi, ya Allah ...
Rafa hanya diam, napasnya mulai memburu. Ia sudah mengunci tubuhku, berhasil melepaskan kemejaku dan melemparnya ke sembarang arah.
“Rafa kumohon, jangan lagi.” Air mataku semakin tidak terkendali.
Rafa tidak memedulikan isakanku. Ia semakin agresif. Aku tidak cukup kuat untuk melawan Rafa. Namun demikian, aku tetap berusaha mempertahankan kehormatanku. Rafa adalah mantan suami, haram untuknya menyentuhku kali ini.
Tapi sayang, usahaku sia-sia, pria ini mulai melumat bibirku dengan kasar. Tangannya mulai melepaskan Braku dan meremas kedua payudaraku. Rafa melakukannya dengan sangat kasar hingga aku semakin kesakitan. Namun sebelum sempat melepaskan pakaianku bagian bawah, ponselku tiba-tiba berdering. Rafa menghentikan aksinya dan segera menyambar ponselku yang berada di atas nakas.
“Alhamdulillah.” Aku bergumam seraya mengucap syukur.
Segera kuambil pakaianku dan memakainya. Belum sempat aku memasang semua kancing bajuku, ponsel itu kembali berdering.
“Angkat,”perintahnya
“Dari siapa?” tanyaku, lemah.
“Angkat saja, keraskan volume suaranya!” Rafa berkata dengan ketus.
Aku segera mengangkatnya walau belum selesai memasang semua kancing baju. Aku takut Rafa kembali tersulut emosi jika aku tidak menurutinya.
“Ha—Halo.” Aku gugup. Entah siapa orang yang ada di balik panggilan ini. Yang pasti aku hanya disuruh mengikuti semua perintah Rafa.
“Assalamu’alaikum.” Suara seorang pria yang tidak asing bagiku terdengar dari balik panggilan suara ini. Kulihat di layar ponsel, tidak ada nama siapa pun di sana. Ah, aku lupa kalau ponsel ini sudah direset ulang.
“Wa’alaikumussalam ... Ma—maaf, apakah ini bang Rehan?” Aku memberanikan diri bertanya sambil melirik ke arah Rafa.
“Ya, apa Nisa baik-baik saja.” Suara itu terdengar berat dan penuh beban.
“Nisa baik bang, maaf Nisa tidak mengabari abang kalau Nisa tidak pulang kemarin.” Aku berusaha berkata dengan sangat hati-hati. Mataku tetap melirik Rafa yang sedang duduk di sofa besar. Dia memerhatikan dan menyimak pembicaraan kami karena Rafa menyuruhku mengeraskan volume suara ponsel ini.
“Maafkan abang, Nisa. abang terpaksa mengatakan ini.”
“Mengatakan apa, Bang?”
“Abang akan menceraikan Nisa.” Suara itu kembali terdengar berat dan terpaksa.
Aku terkejut terhadap apa yang barusan aku dengar. Tidak mungkin suamiku menceraikan aku begitu saja tanpa sebab. Kami baru sehari menikah. Ia juga baru sekali menggauliku. Jadi mana mungkin ia akan menceraikan aku begitu saja.
“Apa yang abang katakan?” Aku tidak percaya bang Rehan akan melakukannya atas kesadarannya sendiri. Yang kutau, bang Rehan adalah pria yang saat taat dan lemah lembut. Walaupun dia seorang duda.
“Maaf Nisa, abang menghubungimu hanya ingin mengatakan hal itu. Jaga diri Nisa baik-baik. Terima kasih sudah hadir dalam kehidupan abang, walau hanya sesaat.”
Aku menggigil sehingga ponselku terjatuh ke lantai tanpa lebih dulu membalas salam terakhir dari bang Rehan. Aku tersungkur ke lantai dan menangis sejadi-jadinya. Tangisan yang begitu memilukan telinga.
“Sudah, hentikan tangisanmu, Sayang.” Rafa menghampiriku.
“Jangan coba-coba mendekatiku lagi Rafa Purnawan! Aku muak dengan ulahmu! Kalau kau mau, bunuh aku sekarang!”
Aku bangkit, aku tersulut emosi. Entah kekuatan apa yang datang. Aku menatap Rafa dengan tajam dan mengacungkan jari telunjuk sebelah kiriku kearah mukanya. Aku tidak peduli walau Rafa akan membunuhku saat ini.
“Nisa, tolong tenanglah. Aku bersumpah tidak akan melakukan apa spun lagi kepadamu.” Rafa tiba-tiba melunak. Warna wajahnya sekarang lebih tenang.
“Apa yang kau mau dariku Rafa Purnawan? Ohya, kau mau inikan? Ini yang kau inginkan bukan?”
Aku membuka kemejaku, kemudian aku lepaskan braku. Aku hadapkan semua ini kearah Rafa. Aku tak terkendali, aku seperti kesetanan. Ketika aku hendak melepaskan rok, Rafa langsung memegang kedua telapan tanganku. Rafa menghentikan segala aksi gilaku yang membuat aku berlutut di lantai.
“Maafkan aku Nisa.” Rafa mengatakannya sembari meraih selimut dari atas ranjang. Beliau melilitkan selimut itu ke seluruh tubuhku.
“Untuk apa kau menutupiku Rafa Purnawan. Aku sudah tidak ada harga dirinya di hadapanmu. Aku hanya jálang bagimu, iya’kan.” Aku terisak, menangis pilu sambil tertunduk.
“Jangan mengatakan itu, Nisa. Kau sangat berarti bagiku.” Rafa membelai rambutku dengan sangat lembut.
“Aku bersumpah tidak akan menyentuhmu lagi, Annisa. Tidak sampai kau halal untukku lagi.” Rafa bangkit dan kembali duduk di sofa besar.
Aku tidak menjawab apa pun. Bibirku terlalu kelu untuk mengatakan sepatah kata pun kepada Rafa. Aku hanya bisa mematung di sini. Hanya suara tangisan yang begitu memilukan yang keluar dari mulutku. Sesekali aku berteriak. Semua ini sungguh menyiksaku.
“Aku mohon, berhentilah menangis, kenakan lagi pakaianmu.” Rafa mengatakannya dengan suara pelan. Tak ada lagi amarah di wajahnya.
Tangisku berhenti seiring suara azan maghrib yang berkumandang dari ponselku. Aku meraih pakaianku dan aku kenakan kembali semua dengan baik, termasuk kerudung yang tadi dibuka paksa oleh Rafa. Suara adzan sedikit mampu menentramkan jiwaku.
“Mau kemana.” Rafa menghentikan langkahku.
“Aku mau salat.”
“Pergilah.”
Aku segera meraih mukena dan membentangkan sajadah. Salat mampu membuatku sangat tenang. Curhat kepada sang Khaliq mampu mengurangi segala sesak yang ada di jiwa.
Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang aneh.
Apa? Mengapa Rafa juga ikut membentang sajadah di sebelahku? Apakah Dia mau salat juga? Apa yang merasukinya hingga mau menjalankan ibadah? Aku membatin.
“Mau berjamaah?” Rafa menawarkan untuk salat bersama.
“Sendiri-sendiri saja.” Aku menolak tawaran Rafa karena aku tau bacaan qur’annya tidak begitu baik. Lagi pula aku mau salat lebih lama, aku ingin membaca surah yang lebih panjang dari biasanya.
Aku memang cukup lama bersujud di hadapan Allah kali ini. Aku tumpahkan segala keluh kesah dan deritaku. Aku berurai air mata sambil menengadahkan tangan. Aku tidak peduli Rafa memerhatikanku, itu tidak mengurangi rasa khusyukku dalam bermunajat.
“Sudah selesai?” Rafa menyapa dengan sangat lembut. Dia masih duduk di atas sajadahnya tepat di sebelahku.
Aneh, tadi dia begitu kasar. Sekarang sikapnya malah berubah seratus delapan puluh derajat.
Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaanya sembari mengemas peralatan salat.
“Tidak mau mencium punggung tanganku?”
“Maaf, kau bukan siapa-siapaku Rafa.” Aku memberanikan diri menolak. Aku tidak peduli jika ia kembali bersikap kasar.
“Nisa, aku mohon jangan bersikap dingin padaku. Aku tersiksa melihatmu bersikap acuh. Aku begitu mencintaimu Annisa Secilia.” Rafa bicara lembut, sementara aku membisu.
“Annisa, aku benar-benar minta maaf. Aku bersumpah tidak akan menyentuhmu lagi sebelum kau halal bagiku.” Rafa mengulangi ucapannya.
“Apa aku harus percaya?”
“Nisa tolong, percayalah padaku. Oya, aku ingin mengajakmu kesuatu tempat malam ini. Kau mau’kan?”
“Apa aku boleh menolak?”
“Kau tau kalau aku tidak menerima penolakan.” Tapi kali ini Rafa mengucapkannya dengan senyuman dan suara yang begitu lembut.
“Kalau begitu untuk apa kau bertanya.”
“Baiklah, aku tidak mau berdebat denganmu. Aku ingin kau bahagia malam ini.” Rafa tampak bangkit dan berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar ini.
“Bersiap-siaplah, pakai gaun ini. Aku sudah menyiapkan gaun, kerudung dan segalanya yang kamu butuhkan. Ini juga kenakan sepatumu. Itu ada tas di atas meja rias untuk kamu pakai nanti. Aku ingin kamu berdandan dengan sangat cantik malam ini. Kalau tidak cantik, maka aku akan membawamu ke salon terlebih dahulu.” Rafa menjelaskan semuanya dengan senyuman dan wajah yang tenang.
Aku tetap membisu.
“Aku tidak ingin menunggu lama, segeralah mandi dan bersiap-siap. Aku tunggu kau di bawah. Jangan lupa kunci pintunya dari dalam.”
“Mengapa kau tidak menguncinya dari luar?”
“Untuk apa?”
“Bagaimana kalau aku kabur.”
“Untuk apa kau kabur? Apa kau akan menemui mantan suamimu itu? Aku yakin kau tidak semurah itu Nisa.”
Aku membeku mendengarkan pernyataan terakhir Rafa.
===
======
Tuhkan? Aku boom update, hahaha ...
Hayo dong, jangan pelit-pelit sama TAP LOVE, dan jangan lupa FOLLOW akun author juga ya ... buat yang mau berteman denganku di social media, boleh Follow akun IG-ku dan Like halama facebookku ya ... IG = NHOVIE EN, sss : NHOVIE EN, FP f*******: : NHOVIE.
Makasih ya, kiss ...