“Aku tau, kau pasti heran kenapa sekarang aku bisa berubah seperti ini sekarang.” Rafa kembali membuka percakapan.
“Aku tidak berhak tau karena itu bukan urusanku.”
“Jangan begitu, Sayang, aku ini adalah suamimu. Kau berhak tahu apa pun yang terjadi pada diriku.”
“Kamu itu hanya mantan suamiku, Rafa.”
Rafa terdiam, aku pun juga.
Aku cukup tertegun melihat betapa indahnya pemandangan yang ada di depanku saat ini. Beberapa atap rumah warga yang rata-rata adalah rumah mewah. Dan disisi lainnya hamparan sawah yang hijau, menyejukkan mata. Hembusan angin yang masuk melalui pintu balkon yang memang terbuka sedari tadi, menambah kenyamanan ruangan ini. Bahkan aku belum tau di mana tepatnya aku berada saat ini.
“Aku mohon jangan bersikap dingin kepadaku, Nisa.” Baru kali ini aku medengar Rafa memanggil namaku dengan lembut. Sebab dari semalam dia selalu memanggilku dengan panggilan “sayang”.
“Maaf, aku hanya merindukan Amanda.” Mataku masih menatap hamparan sawah di bawah sana.
“Amanda aman bersama mama, jadi kamu tidak perlu khawatir.”
“Aku merindukannya.” Aku tak dapat menahan tetesan bening keluar dari netraku. Aku begitu merindukan putri semata wayangku itu.
“Nanti sore aku akan bawa Amanda ke sini. Ini adalah rumahnya dan juga adalah rumahmu.” Rafa mengucapkan itu dengan sebuah penekanan.
“Aku ingin pulang.” Tiba-tiba kalimat itu keluar dari mulutku. Membuat Rafa bangkit dan kembali memperlakukanku kasar. Dia menarik lenganku dan menghempaskan tubuhku ke atas ranjang. Aku menerima perlakuan itu lagi. Kenapa dengan Rafa? Apa aku salah bicara?
Rafa dengan cepat menutup pintu balkon dan menutup semua tirai hingga membuat ruangan ini sedikit temaram.
“Ada apa denganmu Rafa? Apa yang salah denganku? Kenapa kau memperlakukanku seperti ini lagi?” Aku kembali menangis walau mata ini masih terasa perih.
Rafa menghampiriku, aku lihat amarah di wajahnya. Dia membuka baju kaos yang menutupi tubuhnya dan melemparnya ke sembarang tempat, membuat d**a bidangnya terlihat sangat jelas.
Jangan lagi, aku mohon... Aku hanya bisa membatin.
Aku terus mundur hingga punggungku menyentuh dinding ranjang. Aku takut Rafa akan melakukannya lagi.
“Untuk apa kau minta pulang, ingin bertemu suamimu itu? Ingin mengadu kepadanya? Ingin bercuɱbu dengannya?” Kali ini Rafa menjambak rambutku yang berada di balik kerudung.
“Sa—sakit ....” Aku mendesis kesakitan.
Dia melepaskanku, bangkit dari ranjang dan berdiri dengan satu tangan di pinggang dan tangan lainnya mengusap wajahnya.
“Maafkan aku Rafa.”Aku berusaha tenang, melawan hanya akan memperburuk keadaan. Aku tidak ingin dia nekat, aku masih ingin membesarkan Amanda.
Rafa kembali mengenakan bajunya. Membuka kembali semua tirai tanpa membuka pintu balkon. Aku bersyukur Rafa tidak melakukannya lagi.
“Rafa, maafkan aku. Kau tau kalau aku bekerja. Hari ini aku bolos tanpa mengabari siapa pun. Aku mohon izinkan aku untuk mengabari atasanku.” Rafa menatapku dengan tajam.
“Aku tidak bohong Rafa, aku tidak akan berani membohongimu, aku hanya ingin menghubungi Pak Felix. Aku bisa dipecat jika tidak mengabarinya.” Aku berusaha meyakinkan Rafa agar dia tidak lagi tersulut amarah.
“Kau tidak perlu bekerja lagi. Kau akan memiliki segalanya sekarang. Kau hanya perlu mengurus diriku dan anak-anak kita. Bahkan dapur dan rumah sudah ada asisten yang akan mengurus semuanya. Lagi pula ini hari Minggu, mana ada orang bekerja hari Minggu, ha? Kamu memang tidak berbohong, Annisa!”
Aku buntu, aku tidak tau lagi apa yang harus aku katakan untuk membuat Rafa mengizinkanku pulang. Aku terpikir ingin menelepon kantor polisi agar aku segera dibebaskan dari sini. Sebab Rafa bukan siapa-siapaku lagi. Aku memiliki suami di rumah. Suami yang baru saja menikahiku sehari sebelum Rafa menculikku. Bahkan aku baru semalam tidur dengan suamiku.
Tok ...
Tok ...
Tok ...
Terdengar seseorang mengetuk pintu dari luar. Rafa berjalan menuju pintu kamar dan membuka kuncinya. Aku lihat Rafa sedang berbincang dengan seseorang, tapi aku tidak melihat itu siapa. Sayup-sayup kudengar itu suara beberapa orang pria.
Dia kembali masuk dan mengunci pintu. Kuncinya dia letakkan lagi di dalam saku celananya.
“Ini Ponselmu, bukan?” Dia memberikan ponsel itu padaku.
“Ini ambillah, semalam kehabisan daya. Aku lupa mengembalikannya selepas aku charge.” Aku yakin Rafa pasti berbohong.
Tidak penting Rafa berbohong atau tidak, yang pasti aku begitu senang ponselku kembali. Aku langsung menghidupkannya.
“Jangan coba-coba menelpon polisi atau siapa pun jika kau tidak mau aku berbuat nekat. Kau tidak ingin jika Amanda kehilangan Ibu, bukan?” Aku segera menghentikan jemariku yang semula hendak memencet sebuah nomor. Rafa tau kalau aku hendak menelepon polisi.
Aku melihat tampilan layar ponselku sudah berbeda. Kosong seperti baru di install ulang. Bahkan aku tidak menemukan satu spun nomor tersimpan. Aku tau, Rafa pasti sudah mereset ulang ponsel ini. Aku meletakkan ponsel itu di atas nakas, karena memang tak ada gunanya.
Tidak lama aku mendengar alunan suara adzan dari ponselku. Walau ponsel ini sudah direset ulang, jadwal dan panggilan adzan akan tetap ada karena memang bawaan sistemnya.
“Mau kemana?” Rafa menghentikan langkahku yang hendak menuju kamar mandi.
“Mau berwudu, sudah ashar.”
“Owh... pergilah.”
“Kau tidak salat?”
“Nanti saja, silahkan salat lebih dulu.” Untuk masalah ibadah, Rafa masih sama seperti dulu.
Sifat, sikap, kebiasaan dan kepribadian, Rafa memang tidak berubah. Masih sama seperti Rafa yang sudah bersamaku selama bertahun-tahun. Terkadang baik dan lemah lembut, terkadang kasar dan arogan. Rafa selalu mengelak dan mencari alasan setiap aku mengajaknya ibadah. Kadang tetap ia kerjakan, walau aku tau itu tidak dari hatinya.
Yang berubah hanyalah keadaan dan parasnya. Mungkin karena sekarang Rafa sudah kaya raya, membuat tubuhnya menjadi sangat terawat. Dia semakin tampan, atletis dan bersih. Berbeda dengan Rafa yang dulu.
Selepas melaksanakan salat, aku pun kembali memohon ampunan kepada sang pencipta. Apa yang Rafa lakukan tadi pagi dan sikap tubuhku yang merespon, membuatku sangat malu dan berdosa di hadapan sang khaliq. Kembali aku menangis dalam sujudku.
“Sudah selesai?” Rafa menyapa ketika aku sedang melepas mukena.
“Ya.”
“Duduklah di sini, bersantai bersamaku. Kita nonton bola sama-sama.” Rafa mengajakku duduk di sebelahnya.
Aku hanya bisa menurut. Aku berusaha tenang agar dia tidak kembali tersulut emosi. Aku kemudian duduk disebelahnya dengan kedua telapak tanganku mengepal di atas paha.
“Jangan kaku begitu Nisa. Aku tidak ingin melihatmu bersikap dingin kepadaku.” Rafa masih menikmati tontonannya. Sebenarnya tempat ini cukup nyaman untuk bersantai, tapi aku sedang tidak mau bersantai saat ini.
“Amanda jam berapa akan datang.” Aku teringat dengan janji Rafa akan membawa Amanda ke sini.
“Astaga, aku lupa.” Rafa bangkit dari tempat duduknya menuju lemari pakaian.
“Segera ganti pakaianmu dengan pakaian yang sedikit formal. Sebentar lagi Amanda akan datang. Amanda taunya kau di sini menolongku menyelesaikan beberapa berkas perusahaan yang tidak bisa aku selesaikan.” Rafa memberikanku satu stel pakaian lagi dan dia tampak tergesa-gesa.
“Segeralah bersiap-siap agar Amanda tidak curiga. Aku akan ke kamarku untuk berganti pakaian.” Rafa pun berlalu. Amanda putri kami sudah berusia enam tahun. Dia sudah cukup mengerti apa yang terjadi pada kedua orangtuanya.
Tidak lama, rafa kembali membuka pintu kamarku. Dia sangat rapi dan terlihat gagah. Tubuhnya yang kini atletis terlihat indah berbalut kemeja formal berwarna maroon.
“Kenapa kau memerhatikanku begitu, apa aku begitu tampan?”
“Astagfirullah....” Aku langsung berucap istigfar. Aku menyadari bahwa pria ini bukan siapa-siapaku lagi. Bahkan sekarang aku sudah memiliki suami.
“Kenapa istigfar, memangnya aku sètan.” Rafa mengusap kepalaku dengan sangat lembut.
“Apakah Amanda sudah datang?” Aku mengalihkan pembicaraan.
“Mungkin, ayo kita turun. Kita lihat, apakah Amanda sudah datang atau belum.” Rafa menggandeng tanganku keluar kamar.