IX – Pualang Ke Jakarta

2459 Kata
                                                                Selamat membaca                                                                             ***                                                 Di malam yang kelam aku akan mengakhiri hari-hari di mana kita berusaha mencari cinta yang sesungguhnya, walau sebenarnya kita tahu, cinta tidak dilahirkan untuk orang b******k seperti kita.                                                                             ***             Cakra masih sibuk dengan memanggil suster untuk membersihkan pecahan gelas di ruangan Kanaya, dan meminta suster untuk membawakan Kanaya air minum pengganti untuk perempuan itu, setelahnya Cakra kembali meraih ponselnya, mengatakan kepada Nayla bahwa dirinya akan segera ke lapangan, dan dirinya menunda untuk kepulangan mungkin satu atau dua hari, ia juga mengatakan ia akan secepatnya untuk pulang.             “Kanaya?” Nayla berucap, ia memperjelas apa yang ai dengar tadi, ia sungguh khuwatir, selama dua tahun tertidur dengan panjang, ia takut Cakra sudah memiliki perempuan lain, walau sebenarnya ia sendiri yakin, Cakra dan Keral berbeda, masa lalunya dan keral pasti tidak akan terjadi di saat ia bersama dengan Cakra, ia yakin itu, ia yakin Cakra bisa memegang janjinya, bisa menjaga hatinya, dan setia dengan dirinya, saja, walau sebenarnya hubunganya dengan Cakra belum lah resmi, mereka belum menikah, dan Cakra belum menjadi suaminya secara sah.             “Ah, Nay, nanti kita sambung ya, jemputanku sudah sampai.” Cakra mematikan sambungan telpon itu lebih dahulu, tanpa mendengar jawaban dari Nayla, saat ini laki-laki itu tengah berada di luar kamar rawat Kanaya, laki-laki itu berjalan mondar mandir setelah memutus panggilan itu, memaki dirinya karena sudah melakukan hal yang bodoh, hal paling bodoh yang ada di dunia ini, kenapa ia bisa kelepasan saat memanggil Kanaya tadi, kenapa ia juga bisa berada di sini, bisa perhatian dengan perempuan seperti Kanaya itu, bisa khuwatir dengan perempuan itu, Cakra tahu ini salah, apa yang ia lakukan ini jelas salah, apalagi ia sempat berbohong dengan Nayla, demi menutupi saat ia berasama dengan Kanaya, Cakra sungguh berdosa sekali.             Cakra memilih meninggalkan rumah sakit, ia yakin sekali, Nayla pasti akan berpikiran yang macam-macam tentang dirinya, apalagi Kanaya, nama itu pasti sangat membekas di pikiran Nayla, Cakra menepuk kepalanya sekali, bodoh, ia melakukan hal yang bodoh, Nayla baru saja bangun dari komanya, dan tanpa sengaja ia sudah langsung menyakiti calon istirnya itu, kenapa Cakra jadi sebodoh dan segila ini?             Cakra kini sudah sampai di lapangan, Kanaya sudah mengatakan bahwa ia akan mengambil cuti, dan pekerjaan di sini Arya yang akan mengambil alihnya, Arya sudah lama ikut dengannya, dan Arya pasti paham tenteng perkejaanya kali ini, jelas, cutinya Kanaya, tidak benar-benar cuti, ia pasti akan menuntun Arya dari jarak jauh.             Dari meeting yang dilakukan hari ini di lapangan, pekerjaan akan dimulai mingu depan, dan tugas Cakra jelas memastikan bahan baku akan diterima paling lambat minggu depan, semua pekerjaan mereka sudah selesai di sini, dan harusnya besok mereka sudah bisa kembali ke Ibu kota, apalagi keadaan Kanaya yang sudah memungkinkan untuk pulang, lebih-lebih dengan jalur yang umum, sungguh, Cakra akhirnya bisa pulang dan bertemu dengan Nayla, akhirnya.             Cakra baru saja selesai makan siang, Cakra sungguh seperti anak kecil yang baru kembali dengan pacarnya, laki-laki itu kembali menghubungi Nayla, kali ini perempuan itu kembali tidak mengangkat panggilan darinya, mengingat ini sudah siang, dan Nayla sudah kembali ke rumahnya, Cakra pikir Nayla harusnya tidak melakukan apa-apa, apalagi dengan keadaan perempuan itu.             Telpon masuk membuat Cakra dengan cempat menyambar ponselnya, laki-laki itu sungguh berharap panggilan itu dari Nayla, ia sungguh takut Nayla berpikir yang tidak-tidak dengan diirnya tentang kejadian tadi, nama Kanaya pasti akan menjadi bahan pikiran yang memuakan di kepala Nayla, sungguh, Cakra yakin sekali akan hal itu.             “Eh, iya Kanaya?” Cakra menjawab panggilan telpon itu, Kanaya lagi yang menghubunginya, bukan Nayla perempuan yang ia tunggu.             “Supir ada sama kamu? Aku sudah boleh pulang nih, sudah pesan tiket pesawat juga, aku mau pulang dari rumah sakit.”             Senyum Cakra menggembang, ia ternyata benar-benar bisa pulang ke Jakarta, dua hari di tempat ini, sungguh memberikan Cakra pengalama baru, Cakra bisa melihat proyek  barunya, Cakra juga sempat mendengar suara tembakan, Cakra juga berkesempatan melihat luka tembak, benar-benar pengalaman yang baru yang Cakra dapatkan dalam dua hari ini.             “Oh iya sama aku, sebentar, sekalian aku jemput deh.”             Cakra benar-benar menepati apa yang ia katakana saat ditelpon oleh Kanaya tadi, setelah tiga puluh menit berlalu, laki-laki itu akhrinya tiba di kamar rawat perempuan itu, Kanaya sudah bersiap, perempuan itu sudah berganti pakaian, dengan baju rumahannya.             “Yee, pulang.” Kanaya berucap dengan riang, perempuan yang tengah duduk di kursi roda itu pun tersenyum dengan semeringah, Arya saat ini masih sibuk di lapangan, sedangkan Cakra memang sudah menyelesaikan pekerjaannya, hingga akhrinya Kanaya bisa pulang bersama dengan Cakra. “Thank’s Cakra.”             “Seneng banget, eh oh iya, mau nonton Elang main piano lagi enggak?” Cakra bertanya, sambil terus mendorong kursi roda yang diduduki Kanaya hingga ke mobil yang biasa mereka gunakan itu.             Kanaya terkesima, perempuan itu diam, saat tubuhnya malah diangkat oleh Cakra, padahal kan ia bisa berjalan sedikit dari kursi roda itu hingga ke dalam mobil, bahkan itu tidak berjalan sama sekali ia bisa melangkah, sungguh, Cakra kali ini benar-benar memperlakukannya dengan baik, Nayla sungguh pintar mencari calon suami seperti Keral, juga Cakra.             “Kan aku bisa sendiri.” Kanaya berucap, rasa bersalah itu tiba-tiba muncul, ia bisa memperlakukan dirinya sendiri, kalau pun Kanaya bisa ke hotel sendiri pun, dirinya akan pergi sendiri, tapi sungguh itu adalah satu hal yang tidak memungkinkan hingga dirinya menelpon Cakra dan meminta bantuan dari laki-laki itu.             “Nanti berdarah lagi, ribet banget soalnya,” omel Cakra. “Jadi gimana nih, ke Korea mau ya,” pinta Cakra lagi, laki-laki itu kembali bertanya, kembali mengingatkan Kanaya dengan apa yang diinginkan oleh laki-laki itu.             Elang, Korea, Piano, adalah kombinasi yang sangat menakjubkan pagi Kanaya, kepiawaian laki-laki itu dalam bermain piano dengan berperasaan membuat Kanaya tidak bisa mengalihkan pandangnya dari Elang, tahun baru ini Elang memang akan mengadakan konser piano solonya lagi, di tahan baru, ah, kalau terus bertemu dengan Elang, dan Cakra, Kanaya yakin ia akan terperangkap dalam keluarga itu, tapi, apa yang harus yang ia lakukan, ia juga merindukan laki-laki itu, juga merindukan suara piano yang laki-laki itu mainkan.             “Mau, tapi lihat entar,” jawab Kanaya yang sudah duduk di samping Cakra, dengan tenang di dalam mobil itu.             Cakra terdiam, sebenarnya kalau tidak sekarang ia berbicara dnegan Kanaya tentang niatnya yang ingin meminta tolong Kanaya untuk berbicara dengan Elang untuk mengajaknya pulang kapan lagi, ia harus melakukan ini sekarang juga, tapi melihat keadaan Kanaya sepetri ini, rasanya Cakra tidak tega menambahkan beban perempuan itu, Kanaya saja kesusahan dalam membawa dirinya, dalam menjaga dirinya, masa Cakra harus meminta pertolongan perempuan itu sekarang, dan menambakan beban Kanaya.             “Kanaya,” ucap Cakra dengan suara pelan. “Aku mau minta tolong, boleh enggak?”             Kanaya terdiam, mendenagr saura lirih Cakra, laki-laki yang biasanya berkelakuan di luar nalar itu berkata lirih, dan ingin meminta tolong kepadanya, apa, apa yang laki-laki itu mau kepada dirinya, sebenarnya.             “Apa?” jawab Kanaya sekenanya.             Cakra terdiam, mobil yang mereka tumpangi sudah tiba di depan hotel, ia pun menunda percakapan yang ingin ia katakana kepada Kanaya.             Kanaya menatap Cakra, bertanya apa yang laki-laki itu ingin katakakan tanpa bergerak sedikit pun, membuat Cakra yang sudah ada di depannya dengan kursi rodanya menatap balik perempuan itu, meminta penjelasan kenapa Kanaya tidak bergerak sama sekali dari pijakannya.             “Kamu mau ngomong apa?” pertanyaan dari Kanaya mendapatkan gelengan dari Cakra, ini bukan lah waktu yang tepat untuk Cakra meminta bantuan Kanaya, Kanaya sendiri saja kesusahan untuk membawa dirinya sendiri, lalu, apakah Cakra setega ini untuk menambahkan beban Kanaya, dengan cara meminta bantuan perempuan itu.             Dorongan di kursi rodanya membuat Kanaya menyentuh tangan Cakra, perempuan itu menatap Cakra dan menggeleng, ia bisa sendiri, kalau Cakra sibuk dan ingin meninggalkan Kanaya, maka Kanaya sudah tak apa-apa lagi, Kanaya yang menginap di lantai lima bisa naik sendiri dengan lift, dan jelas banyak staf hotel yang akan membantu Kanaya, jadi ini semua sama sekali tidak menjadi masalah lagi bagi Kanaya.             “Enggak apa-apa kok, masih ada yang sakit enggak sih Kan?” pertanyaan Cakra membuat Kanaya menggeleng, ia sudah dibekali obat yang ia tebus di apotek rumah sakit tadi, Kanaya juga akan dengan rajin meminum obatnya, ia tahu hidupnya masih panjang, Kanaya sungguh tidak ingin hidup sakit seperti ini, selain menyusahkan dirinya, Kanaya juga merasa akan menyusahkan orang yang ada di sekitarnya.             Kanaya sebenarnya sudah bisa berdiri, ia hanya tidak diperbolehkan terlalu banyak berjalan, apalagi Kanaya tidak lama dirawat inap, lukanya juga masih terlalu basah, sungguh masih rentang dalam pergerakan dan aktifitas Kanaya.             “Sebenanrya aku bisa loh berdiri sendiri.” Kanaya kembali protes saat Cakra malah memapahnya, meletakan perempuan itu di kasurnya, saat ini, dua orang yang sudah dewasa itu sudah berada di kamar Kanaya, hanya berdua.             Besok, Nino, Cakra dan Kanaya akan pulang ke Jakarta, menurut perkiraan Kanaya, Arya akan ia tinggal di sini, mengurus pekerjaan yang akan dilaksanakan, setelah terkihat aman, maka Arya akan pulang, ia juga kembali akan meminta pertolongan Cakra untuk kepulangannya besok.             “Kamu ngaku ke aku, kamu mau minta tolong apa,” merasa sudah banyak sekali ditolong Cakra, apalagi akibat Keral yang sudah berlaku jahat kepada Nayla, Cakra dan Nayla menjadi gagal menikah, sungguh itu adalah hal yang membuat Kanaya merasa bersalah atas dua orang itu, dan entah perasaan dari mana, Kanaya malah ingin selalu membantu dura oang itu.             Cakra masih terdiam, laki-laki itu malah sibuk memilih menu makan yang ingin ia berikan kepada Kanaya, Kanaya belum makan siang, Cakra tahu itu.             “Aku mau ketemu Nayla deh.” Kanaya berucap yang segera mendapatkan respon dari Cakra.             Cakra terdiam, ia hanya menatap Kanaya, jujur saja, Cakra juga sebenarnya ingin mengenalkan Kanaya kepada Nayla, Kanaya saat ini tengah menjadi rekan kerjanya, dan Nayla harus tahu akan hal itu, Cakra sungguh tidak ingin ia menyimpan sesuatu yang Nayla tidak suka, selama dua tahun wanita itu tertidur, jelas saja perempuan itu masih ingat dengan apa yang telah Kanaya lakukan kepadanya.             “Nanti waktu di Korea aku bakal ajak dia,” kata Cakra lagi. Saat ini sudah November akhir, yang berarti desember akhir hanya sekita satu bulan lagi, waktu yang singkat untuk mempersiapkan diri, bagaimana dengan tanggapan Nayla nanti kalau ia tahu bahwa Kanaya yang dahulu menghancurkan hubungannya dengan Keral, kini bekerja sama dengan Cakra, sungguh, Cakra masih tidak bisa membayangkan reaksi perempuan itu bagaimana, nantinya. “Kalau Nayla marah gimana?” Cakra menyuarakan kekhuwatirannya langsung kepada Kanaya, memberikan pandangan tentang Nayla kalau ia tahu bahwa Kanaya kini berada disektiaran hiudpnya lagi.             “Ya gue balas marah lah.” Kanaya menjawab cepat dan cuek, jelas saja jawaban itu hanyalah bercanda.             “Heh!” Cakra langsung menyambar apa yang dikatakan Kanaya, mata Cakra pun menatap kearah Kanaya, tidak terima dengan apa yang perempuan itu katakan.             Kanaya tertawa, senyum perempuan itu mengembang dengan sempurna, kalau Nayla marah, mungkin tidak, ia dan Keral kan dulu sudah bertemu Nayla saat Nayla dan Cakra melakukan acara pertunangan walau pun sebenarnya itu tidak sengaja, seharusnya mau marah, Nayla harusnya marah saat ia dan Keral datang diwaktu itu, kalau sekarang Nayla marah rasanya sungguh sudah kelewatan bukan? Walau pun kalau Nayla marah, ia sama sekali tidak akan membalas amarah Nayla itu, Nayla wajar marah kepadanya.             “Jadinya mau nih ke Korea?” Cakra kembali bertanya.             Kanaya menuatkan alis, kenapa dengan Korea, kenapa harus Korea, ada apa di Korea? Kenapa sejak tadi Cakra begitu memaksa ia untuk berangkat ke Korea, padahal kan untuk bertemu dengan Nayla, Kanaya bisa ke rumah Nayla langsung, sekalian meminta ma’af kepada orangtua Nayla, atas nama Keral.             “Enggak tahu Cakra, ya semoga aja sudah sehat nanti, kenapa sih?” sebentar, Korea, Elang, akhir tahun, yang berartiu ke awal tahun, itu kan, waktu pertunjukan Elang, Elang mengatakan padanya bahwa ia akan melakukan pertunjukan di awal tahun 2021 nanti, dan Kanaya sudah berjanji untuk menonton pertunjukan laki-laki itu. “Oke, oke aku baru ingat, akhir tahu Elang ada pertunjukan kan? Yaudah kita ke Korea,” ucap Kanaya akhirnya, tanpa pikir panjang, mengingat janjinya dengan Elang, jelas Kanaya tidak ada alasan lagi untuk menolak ajakan Cakra pergi ke Korea.             Cakra mengembangkan senyumnya, saking bahagianya karena langkah pertamanya lancar, laki-laki itu tiba-tiba saja memeluk Kanaya yang duduk di atas kasur sedangkan awalnya Cakra duduk di depan meja cermin, di kamar perempuan itu, Cakra benar-beanr bahagia, ia sungguh berharap, Kanaya menjadi jalan pembuka untuk kembalinya Elang ke Indonesia.             “Enggak usah peluk-peluk, kepincut berabe entar urusanya,” kata Kanaya, mencoba melepaskan pelukan laki-laki itu dari tubuhnya, apa yang dikatakan Kanaya benar-beanr keluar dari hatinya, perempuan itu tidak sedang bercanda dengan Cakra, Kanaya sungguh takut Cakra malah kepincut dengannya nanti, malah semakin ribet, lagi pula, Kanaya sungguh tidak ingin kejadian buruk itu terulang lagi, ke dua kalinya.             Menyadari apa yang sudah ia lakukan dari teguran perempuan itu membuat Cakra langsung melepaskan pelukannya dari badan Kanaya, Kanaya beanr, akan menjadi masalah besar kalau dia akhirnya menjadikan apa yang dikatakan oleh Kanaya tadi, benar-benar akan menjadi masalah nantinya, lagi pula, tidak mungkin ia akan bersama dengan Kanaya, Cakra sungguh mencintai Nayla, cinta mati rasanya, Cakra saja sudah menunggu Nayla selama dua tahun dengan setia, jadi rasanya, kalau hanya dengan Kanaya, maka Cakra tidak akan tergoda, apalagi Kanaya, sempat berbuat masalah dengan Nayla dahulu, Cakra tidak akan mungkin menjadi Keral ke dua di kehidupan Nayla.             Telpon Cakra kembali berdering, kali ini seperti biasanya, kembalinya Nayla menjadi hal yang sangat berarti dan membawa perubahan kehidup Cakra, Cakra kembali menjadi jatuh cinta dengan perempuan itu, memiliki tunangan yang perlu kabarnya, memiliki tunangan yang ia rindukan, Cakra sungguh merasa menjadi hidup lagi.             “Sayang,” sapaan dari Cakra menggema di sana, saat ini Nayla tengah duduk di kamarnya, hal satu-satunya yang perempuan itu bisa lakukan saat ini. “Besok aku pulang,” kata Cakra menutup pintu kamar Kanaya, laki-laki itu memilih untuk pergi dari kamar Kanaya, tidak mau menggangu istirahat perempuan itu.             Senyum kecut Kanaya terlihat di bibirnya, Nayla begitu beruntung mendapatkan laki-laki seperti Keral, dan saat ini, perempuan itu juga mendapatkan calon suami idaman seperti Cakra, Nayla sungguh diberkati dalam hidupnya, benar-beanr mendapatkan hal yang baik, dikelilingi oleh orang yang baik juga menyayangi perempuan itu.             Kanaya memandang cermin yang ada di depannya, ia cantik, punya wajah yang mulus dan tegas, ia juga bisa bekerja, tapi ia sungguh tidak seberuntung Nayla, Kanaya, sama sekali tidak memiliki seorang yang menunggunya seperti Cakra menunggu Nayla, Kanaya tidak memiliki seseorang sebagaimana Keral yang mencintai Nayla sebegitu dalamnya, hingga saat perempuan itu terlepas dari genggamannya, Keral malah mengejarnya kembali, Kanaya sungguh merasa iri dengan perempuan itu.             Kanaya kembali memandang dirinya, bagaimana bisa ia mengembalikan semuanya, mengembalikan dirinya sebelum bertemu dengan Keral, agar ia tidak merasa begitu tertekan seperti ini, jujur saja, melihat Cakra, melihat Nayla, sungguh membuat Kanaya merasa malu sekaligus sakit, ia sungguh merasa malu dan tidak pantas untuk bertemu dengan permepuan itu.             “Tidak apa-apa Kanaya, ingat ini semua karena Keral, bukan karena kamu,” lirih Kanaya pada dirinya sendiri, menenangkan dirinya, agar ia tidak merasa patah dan malu lagi.                                                                                         ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN