Ketika Lola Marah

1204 Kata
Di Kampus Setelah tidak masuk selama beberapa hari, kini Lola kembali ke kampus. Hari ini Lola berangkat bersama Vava, salah seorang teman dekatnya di kelas. Saat berada di kelas, Zen menagih janji Lola untuk memberikan surat keterangan sakit yang waktu itu Lola janjikan padanya. Meskipun sudah berlalu dan dosen sudah memberikan izin, tetapi Zen tetap ingin menagih Lola. Zen ingin Lola menjadi orang yang bertanggung jawab dengan apa yang dia katakan bahkan hal sekecil apapun itu. “Mana surat keterangan sakitnya?” tanya Zen sambil menodongkan tangannya. “Apa Sih Zen,” ucap Lola pura-pura tidak tahu. “Waktu itu kan kamu minta tolong aku bikinin aku surat izin untuk dosen. Nah suratnya udah aku bikinin, sekarang mana surat keterangan sakit dari dokter yang kamu janjikan?” tanya Zen. “Buat apa sih Zen? Toh udah dapet izin dari dosen masa kamu masih nagih surat keterangan dari dokter,” ucap Lola. “Waktu itu kamu janji bakal kasih surat keterangan sakit dari dokter tapi sampai detik ini kamu belum penuhin janji kamu. Aku cuma mau kamu jadi orang yang bertanggung jawab dengan apa yang udah keluar dari mulut kamu,” cap Zen. Beberapa saat kemudian dosen datang, sehingga membuat Zen terpaksa untuk tidak melanjutkan pembicaraan dengan Lola. Setelah dosen selesai mengajar, semua mahasiswa dalam kelas diperbolehkan meninggalkan kelas. Zen pun mengejar Lola yang berlari bersama Vava. ****** Setiap hari, Lola selalu berangkat dan pulang bersama Vava. Ketika Zen mengejar Lola, ia mengajak Vava untuk berlari lebih cepat agar tidak terkejar oleh Zen. Sayangnya, Vava sudah tidak kuat lagi untuk berlari kencang. Alhasil, mereka dapat terkejar oleh Zen dan terpaksa harus ada pertengkaran kecil disana. “Va, ayo dong Va. Kita harus lari lagi kalau kita berhenti disini nanti Zen bisa ngejar kita,” ucap Lola. “La, aku udah gak kuat lari lagi. Aku capek,” ucap Vava yang sudah ngos-ngosan. “Ayo doang Va tolongin aku, kita jangan berhenti disini. Kalau kamu enggak kuat lari kita cari tempat sembunyi deh,” ucap Lola. “Kamu aja deh yang lari. Aku mau istirahat,” ucap Vava yang sudah duduk di bangku taman kampus. “Kita kan sahabat masa aku lari kamu diam,” ucap Lola. “Kita emang sahabat tapi yang punya masalah sama Zen kan kamu bukan aku. Kalau kamu mau lari, lari aja. Aku bener-bener udah gak kuat lari lagi La. Dadaku udah nyeri nih,” ucap Vava. “Terus kamu pulangnya gimana?” tanya Lola. “Kamu gak usah peduliin aku. Aku bisa naik taksi kok,” ucap Vava. “Ya udah deh. Kalau kamu berhenti disini aku juga berhenti disini. Kita berangkat kuliah bareng berarti pulang juga harus bareng,” ucap Lola kemudian duduk disamping Vava. Lola tidak mau pulang tanpa Vava. Selama ini, Vava adalah satu-satunya sahabat Lola yang paling baik dan selalu ada untuknya. Oleh sebab itu, Lola akan ada untuk Vava sebagaimana Vava ada untuknya. Karena Vava duduk di bangku taman itu, maka Lola juga ikut duduk disampingnya. Sehingga Zen pun berhasil mengejarnya. “Orang kalau salah gitu ya bisanya kabur. Bukannya menyelesaikan masalah tapi malah lari dari masalah,” ucap Zen. “Kabur gimana? Kamu gak lihat aku duduk disini,” ucap Lola. “Sekarang emang duduk disini tapi tadi kan kamu kabur,” ucap Zen pada Lola. “Sebenarnya mau kamu apa sih Zen? Gak capek apa kejar-kejaran sama Lola,” ucap Vava. “Tadi kan aku udah bilang, aku mau Lola kasih surat keterangan sakit dari dokter yang waktu itu janjikan. Janji harus ditepati,” ucap Zen. “Buat apa sih kamu masih minta surat keterangan sakit sama Lola? Toh dosen juga udah mengizinkan dan dosen gak nanya-nanya soal itu. Tapi kenapa kamu kok ribet banget sih padahal walaupun kamu dapat surat keterangan sakit itu juga gak ada gunanya kan buat kamu,” ucap Vava membela Lola. “Dosen memang sudah mengizinkan Lola, dosen juga tidak tanya-tanya lagi soal surat keterangan sakit dari dokter itu, dan kalau aku dapat surat keterangan sakit Lola juga gak ada gunanya. Tapi maksud dan tujuanku bukan itu,” ucap Zen. “Terus apa?” tanya Lola. Zen berkata, “Aku mau kamu bertanggung jawab atas apa yang kamu katakan waktu itu. Oke, surat keterangan sakit itu emang gak penting tapi bagiku penting untuk mengetahui karakter kamu.” “Kita kan kenal udah lama dan kita juga udah jadi teman akrab kan Zen tapi kenapa sih kamu sering banget meribetkan masalah. Kamu sadar gak? Kamu itu selalu membesar-besarkan masalah. Apa yang udah ya udah gak usah diperpanjang lagi,” ucap Lola. “Dari awal yang membuat masalah jadi besar itu kamu. Coba aja waktu itu kamu kasih surat keterangan sakit dari dokter, pasti gak bakal jadi masalah. Pagi kamu minta tolong sama aku buat bikinin surat izin sakit dan sorenya kamu janji bakal nganterin surat keterangan sakit dari dokter pas sorenya. Tapi apa? Kamu bohong! Aku bela-belain ke rumah kamu tapi ternyata kamu gak dirumah,” ucap Zen. “Bilangnya sakit tapi ternyata lagi ada di Bali. Jangan-jangan kamu cuma pura-pura sakit kan biar bisa liburan ke Bali?” tanya Zen pada Lola. Karena sudah tak tahan lagi dengan sikap Zen yang terus menekannya, akhirnya Lola mengatakan yang sejujurnya pada Zen. “Kalau iya emang kenapa,” ucap Lola menantang. “Ohhh jadi bener kamu pura-pura sakit biar bisa liburan ke Bali? Parah ya kamu udah bohongin aku dan bohongin dosen!” ucap Zen. “Terserah deh kamu mau ngomong apa. Aku udah capek debat sama kamu apalagi bahas masalah yang seharusnya udah selesai dari kemarin,” ucap Lola. “Nyesel aku bantuin kamu. Harusnya kemarin aku sadar kalau kamu cuma bohong dan pura-pura sakit padahal sebenarnya kamu gak sakit!” ucap Zen. “Terserah kamu mau marah sama aku, kamu mau ngadu ke dosen, atau kamu mau melakukan apapun itu aku gak peduli. Yang jelas aku udah capek debat sama kamu dan aku udah males bahas ini sama kamu. Asal kamu tahu ya aku juga nyesel minta tolong sama orang ribet kayak kamu!” ucap Lola kemudian mengajak Vava pergi. Di Mobil Setelah beradu mulut dengan Zen, Lola akhirnya dapat bernafas lega. Setidaknya masalahnya dengan Zen sudah berakhir meskipun Lola harus mengatakan yang sejujurnya pada Zen, sehingga ia ketahuan jika berbohong. Lola tak peduli dan tidak takut apabila Zen melakukan sesuatu yang membuat namanya buruk di kampus. Jika Zen melakukan hal-hal tersebut, Lola tak akan mau berteman dengan dirinya lagi. Lola tahu apa yang dia lakukan kemarin salah tetapi Lola juga tidak tahan dengan sikap Zen yang seperti itu. Karena emosi, Lola pun mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi dan tak memperdulikan pengguna jalanan lainnya. “La, pelan-pelan dong nyetirnya. Aku masih mau hidup,” ucap Vava. “Kamu pikir aku ngajak mati? Ya kali ah. Aku juga masih pengen hidup kali,” ucap Lola. “Kalau nggak ngajak mati jangan ngebut-ngebut dong di jalanan. Bahaya tahu” ucap Vava. “Bodo amat! Aku sebel sama Zen, aku sebel pokoknya! Aku kesel sama dia, nyebelin!” ucap Lola kemudian semakin menambah kecepatan mobilnya. “Nyebut La, nyebut! Kalau kesel sama Zen jangan melampiaskannya di jalan dong. Kalau kamu kayak gini yang bahaya bukan cuma kamu tapi pengguna jalan lainnya,” ucap Vava. “Bodo amat!” ucapnya benar-benar marah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN