Fiona duduk dipinggiran ranjang kamarnya. Dia memijit pelipisnya setelah memutuskan untuk keluar dari kantornya Damian demi membesarkan buah hatinya. Satu-satunya cara adalah menunggu uang yang akan diberikan oleh pria itu cair dan bisa dia pegang lalu kabur. Menghidupi anaknya sendirian tanpa adanya pria itu di sisinya.
Rasanya seperti mimpi. Apa yang akan dikatakan oleh orang tuanya nanti jika dia ketahuan sedang mengandung. Apalagi pria yang sudah menghamilinya itu tidak mau bertanggungjawab dan malah memintanya untuk menggugurkan kandungannya.
Berjarak sekitar dua kilometer dari tempat dia sekarang ini dengan apartemen Damian menjadikan Fiona semakin khawatir jika suatu waktu Damian datang berkunjung.
Tok tok tok
Dia tersadar dari lamunannya. Hari ini dia memang tidak pergi ke kantor karena lemas. Dia juga sudah meminta izin kepada Damian untuk tidak datang ke kantor karena keadaannya yang cukup buruk untuk hari ini.
Ketika dia membuka pintu, sosok pria tinggi bertubuh propsional itu berdiri di depannya. "Malam,"
"Bapak ngapain di sini?"
"Menurutmu? Kamu bilang kamu sakit, saya bawakan makanan dan vitamin buat kamu,"
Matanya membulat mendengar pernyataan dari pria yang sudah bersikap tidak baik beberapa hari ini kepadanya. Tapi kedatangan Damian seperti mimpi baginya. Pria itu datang dan langsung masuk begitu saja setelah dia membukakan pintu untuk pria tersebut. "Kamu kalau gugurin dia, nggak bakalan buat kamu menderita lagi," ucap Damian menaruh yang dia bawa di atas meja lalu menaikkan sebelah kakinya ke atas meja.
Gugurkan lagi gugurkan lagi. Rasanya dia sudah bosan mendengar perintah dari Damian untuk menggugurkan kandungannya. Dia memang tidak mau menggugurkan calon buah hatinya. Keras kepala Fiona tidak akan ada yang bisa melawan. "Mending keluar deh!" perintah Fiona sambil menunjuk ke arah keluar.
Sedangkan pria itu tersenyum sinis ketika terbangun dari duduknya. "Aku nggak mau kamu nyesel seumur hidup, Fiona. Karir kamu lagi bagus-bagusnya, orang tua kamu juga pasti bakalan kecewa mendapati anaknya yang hamil di luar nikah, sedangkan pria yang sudah menidurinya nggak sanggup jadi orang tua,"
Matanya sangat perih. Menahan air mata dari apa yang dia dengar dari mulut sialan pria b******k itu. Damian memegang dagunya dan mengelusnya. "Kamu cantik, Fio. Kita bisa ulangi kisah kita kalau kamu gugurkan dia untuk saat ini. Saya belum sanggup, kita bisa pacaran dulu kan untuk saling mengenal satu sama lain,"
"Lebih baik kamu pulang aja! Aku nggak pengin dengerin alasan konyol kamu lagi untuk saat ini. Lagipula nggak ada yang niat untuk jadi pacar kamu. Aku nggak sudi,"
"Sudi atau nggaknya, siapa yang bisa nyangkal saya?" tawa sinis Damian kepada Fiona.
Rasanya dia ingin muntah lagi ketika melihat pria ini tertawa dengan sinis dan seperti sedang merendahkannya. Memangnya siapa yang punya perbuatan? Siapa yang sudah menghamilinya? Fiona juga tidak mau jika hidupnya berantakan seperti itu. Dia tidak mau jika perasaannya terluka mengenai apa yang dilakukan oleh Damian.
Menggugurkan itu bukankah tindakan pembunuhan? Itu yang tidak diinginkan oleh Fiona. "Bapak keluar!"
Damian mendorongnya ke tembok lalu pria itu mengunci tubuh Fiona dengan menempelkan tangan Fiona ke samping telinganya lalu menatap perempuan itu dengan intens. "Saya hanya minta kamu gugurin dia, Fiona. Sebelum orang satu kantor tahu. Karena yang hancur itu adalah kamu, bukan saya,"
"Kamu bakalan nyesel Damian kalau sampai aku gugurin dia,"
"Nggak, Fiona. Mumpung dia belum jadi,"
Fiona akhirnya memejamkan matanya. "Baik, kalau memang itu yang kamu mau. Tapi aku bakalan gugurin sendiri,"
"Oke, kasih saya kabar kalau sudah. Saya nggak mau dia hancurin masa depan saya,"
"Silakan keluar dari sini, Damian!"
Pria itu menyeringai. "Baik, Nona. Saya akan keluar. Selamat bertemu kembali di kantor besok pagi."
****
Fiona sudah rapi dengan setelan kerjanya. Dengan flat shoes yang dia gunakan sekarang ini, dia tidak mau menggunakan sepatu high heels, yang bisa saja mencelakai dirinya dan calon buah hatinya.
Dia berdiri di depan cermin melihat perutnya yang belum ada perubahan sama sekali. Yaitu tidak ada gundukan kecil yang menandakan bahwa bayinya tumbuh di sana.
Fiona tahu kalau dia membesarkan bayi itu, risikonya adalah Damian tidak akan pernah mengakuinya. Jika dia menggugurkannya, dia akan tetap menjadi perempuan karir dan orang tuanya juga tidak akan kecewa.
Namun, perasaan hampa yang dia rasakan setiap kali mencari tahu tentang aborsi. Rasanya dia sedikit lebih takut aborsi dibandingkan dengan operasi lainnya. Karena dia akan membunuh janinnya sendiri.
"Kita pergi setelah ini, sayang. Nggak bakalan muncul lagi dihadapan, Papa," ucapnya mengelus perut datarnya itu. Ada rasa nyaman yang dia rasakan. Ia menyanggupi itu semua di depan Damian, tapi tidak akan pernah menggugurkan kandungannya. Walaupun kadang niat itu lewat di dalam pikirannya.
Di kantor, dia duduk di luar ruangan Damian bersama dengan Susi yang menjabat sebagai sekretaris baru yang beberapa hari ini menggantikan Fiona. "Mbak sakit?" pertanyaan itu melayang begitu Fiona duduk.
Dia membereskan rambutnya dan tersenyum. "Nggak kok, ini kan aku masuk hari ini,"
"Pak Damian nungguin Mbak sih karena jarang masuk. Mbak kalau sakit ya nggak apa-apa. Saya bisa gantikan Mbak sementara waktu, karena sekretaris yang kemarin-kemarin udah resign, Mbak,"
"Lho, kenapa?"
"Nggak betah dibentak sama Pak Damian, Mbak. Tahu sendiri kan kalau bos kita itu galaknya minta ampun. Kalau nggak marah-marah ya ngerusak barang. Dia itu kayak iblis,"
"Huuush, udah ah,"
Fiona mulai mengerjakan tugasnya seperti biasa. Dia melihat Susi membuka kotak bekalnya untuk sarapan. "Mbak, ayo sarapan,"
Melihat nasi goreng dengan campuran sayur dan udang serta ada sosis juga yang dipotong kecil-kecil. Diatasnya ada suiran ayam dan telur dadar. Fiona yang sudah sarapan di rumah tadi mengangguk ketika ditawari. "Dikit aja ya," kata Fiona.
Dia tidak biasanya suka dengan nasi goreng. Tapi sekarang ini justru dia sangat ingin mencicipi masakan Susi. Dia mengambil sendok yang disodorkan oleh Susi lalu ikut makan bersama dengan Susi.
Masakan perempuan itu sangat enak walaupun hanya nasi goreng sebagai bekal untuk sarapan. "Enak banget,"
"Seriusan, Mbak?"
"Iya enak banget. Apalagi aku suka sama telur dadar sama telur gulung yang kamu buat. Besok-besok ajarin aku buat, boleh?" pinta Fiona.
Ketika dia sedang asyik sarapan. Damian lewat begitu saja dan masuk ke dalam ruangannya. Dia sempat berhenti makan tapi karena Damian hanya lewat sekilas. Dia tidak terlalu memperhatikan pria itu. "Mbak berantem sama Bos?" tanya Susi ketika Damian sedang duduk di kursi kerjanya dan menatap ke luar. Melihat Fiona yang sedang makan.
"Nggak kok,"
"Tumben cuek, biasanya kan saling sapa gitu,"
Fiona tersenyum. "Enggak, Susi. Nggak ada yang berantem kok. Udah biasa kan," ucap Fiona memperlihatkan senyumannya. Pria itu memang sedikit aneh. Dia tidak pernah mau sama sekali berurusan dengan Fiona ketika berada di kantor untuk waktu yang lama.
Pria itu lebih sering mengunjungi tempat Fiona tinggal. Ketika mereka bertemu di kantor pun, yang ditanyakan oleh Damian adalah mengenai menggugurkan kandunga. Fiona tidak siap. Tidak mau jika dia menjadi pembunuh untuk darah dagingnya sendiri. Sedangkan Damian? Pria itu tidak peduli sama sekali terhadapnya.
Kalau suka, jangan lupa follow dan tambahkan ke perpustakaan kalian ya.