Follow author ya.
"Ada yang tahu Fiona ke mana?"
Sudah dua hari ini dia tidak melihat keberadaan Fiona di kantornya. Beberapa orang yang dia tanyai itu saling tatap satu sama lain seolah mereka tidak tahu ke mana perginya perempuan yang sudah lama sekali bekerja di perusahaannya.
Namun, ada satu seorang perempuan yang datang membawa kopi cup celingukan di sana. "Cari siapa, Pak?" tanyanya dengan polos. Sedangkan semua orang yang ada di sana hanya terdiam dan menunduk ketika melihat raut wajah Damian yang sepertinya sedang marah besar kepada Fiona.
"Saya cari Fiona, kamu tahu dia ke mana?" tanya Damian dengan tenang.
"Bukannya Mbak Fiona udah resign? Dia kan udah resign waktu Bapak pergi ke luar kota waktu itu. Bahkan sudah di acc sama Mbak Emi,"
"Panggil HRD sialan itu kemari, kenapa dia izinkan Fiona keluar?"
"Mbak Fiona kan masuk rumah sakit, jadi karena dia malu untuk masuk lagi, dia milih resign,"
"Tahu dari mana kamu?"
"Dia yang bilang sendiri, bahkan saya sempat jenguk," kata si perempuan tadi.
Raut wajah Damian terlihat sangat emosian. Dia berusaha mengatur napasnya agar terlihat jauh lebih tenang lagi. "Kamu udah hubungi dia? Dia pergi ke mana? Saya cari dia ke tempatnya nggak ada," Damian keceplosan berkata demikian dan melihat sekitar. "Lupakan," ucapnya.
Dia bergegas kembali ke ruangannya yang cukup luas dan segera melemparkan dirinya ke atas sofa dan berpikir dengan tenang bagaimana dia mencari keberadaan Fiona setelah perempuan itu meminum obat yang dia berikan.
Rasanya sangat bersalah ketika dia memberikan obat tersebut dan sekarang—dia menyesal. Amat teramat menyelesa meninggalkan Fiona dalam keadaan hamil, ditambah lagi dengan meninggalkan Fiona ketika sudah meminum obat tersebut.
Dia tidak ingin dianggap sebagai pembunuh oleh siapa pun karena telah menghilangkan nyawa kedua buah hatinya yang ada di dalam kandungan Fiona. Namun, semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada penyesalan yang harus disesalkan jika ketika itu Fiona sudah memberikannya kesempatan baik untuk bertanggungjawab tapi tidak dia manfaatkan dengan baik.
Sekarang yang paling dia rasakan setelah Fiona pergi dari hidupnya adalah, hilangnya semua perasaan dan juga ngidam yang selama ini dia rasakan tidak lagi dia rasakan karena benar-benar tidak bisa lagi merasakan itu semua. Dia yang suka dengan makanan asam, dia yang suka juga dengan masakan apa pun yang dibuat oleh mamanya, kini semua itu sudah ada rasa lagi.
Semua rasa penyesalan yang ada itu hanyalah hal yang sudah lewat dan tidak dirasakan lagi oleh Damian.
Jam pulang kantor sudah tiba, dia memilih untuk pulang ke rumah mamanya dibandingkan dengan pulang ke apartemen.
Sebelum pulang ke rumahnya, dia sempat mencari Fiona. Namun yang dia temukan adalah keterangan bahwa tempat itu dikontrakkan, setelah dia menghubungi nomor yang tertera. Justru pemiliknya yang menjawab.
Padahal Damian hanya pergi satu minggu dan baru pulang beberapa hari yang lalu, dia berpikir bahwa Fiona keguguran dan sekarang masih berada di rumah sakit. Akan tetapi tidak sama sekali. Nomornya sudah tidak bisa lagi dihubungi setelah dia mengirimkan sejumlah uang sebagai uang tanggungjawabnya mengenai biaya hidup yang akan ditanggung setelah keguguran itu.
Seperti apa bentuk penyesalan itu? Apakah ia berbentuk seperti sebuah langit yang mendung yang mengancam seseorang bahwa sebentar lagi akan turun hujan namun orang tersebut tidak membawa payung untuk melindungi tubuhnya dari air hujan? Ataukah perasaan yang akan terus mencari orang yang sudah jelas tidak ada lagi di dunia ini namun tetap mencoba mencarinya hingga dia sadar bahwa orang tersebut memang sudah tidak ada.
Setibanya di ruang tamu, dia langsung berbaring di atas sofa dan memijit pelipisnya. "Akhir-akhir ini Mama lihat kamu kayak kepikiran sesuatu, apa ada masalah?" tanya mamanya yang waktu itu membawakan dia secangkir teh.
"Nggak, Ma. Cuman lagi capek aja, banyak kerjaan. Jadi aku cuman bisa bersabar aja sekarang sambil jalani,"
"Mengenai kamu yang dituduh ngidam itu juga sekarang udah berkurang, pacar kamu kabur?"
Mamanya tidak pernah berhenti mengoreksi tentang perempuan yang sebenarnya dicari itu adalah Fiona. Mamanya bahkan curiga jika Damian itu memang sedang ngidam dan sekarang sudah menampakkan sikap biasa saja di depan orang lain.
Biasanya sikapnya selalu saja tidak wajar, sampai papanya juga ikut campur dan menanyakan semua ini kepadanya. Akan tetapi, Damian sadar diri, kapan dia harus jujur. Dan juga kapan dia harus mengatakan itu semua dengan jujur.
Sekarang, dia hanya bisa menantikan dan mencoba meminta kepada anak buahnya mengenai kabar terkini tentang Fiona. Tempat Fiona tinggal itu juga tidak menampakkan apa pun. Bahkan kata sang pemilik, Fiona langsung pergi begitu saja malam itu.
"Mama kenapa sih mikirnya aku ngidam? Apa Mama percaya juga apa yang dikatakan sama Julia itu sebenarnya memang benar kalau aku ngidam?"
"Hey, Mama kan cuman nanya sama kamu. Kalau benar begitu, harusnya kamu nikahi dia doang. Nggak baik Damian, kalau kamu kabur dari masalah kayak gitu yang ada jadi penyesalan nanti, kamu kalau bergaul juga jangan berlebihan, dan apa yang dikatakan sama adik kamu itu benar? Kamu ngidam?"
"Ma, memangnya selama ini aku aneh banget?"
"Jangan ditanya lagi bagaimana curiganya Mama sama kamu Damian. Kamu yang nggak suka martabak, tiba-tiba beli martabak terus makan di sini. Kamu yang nggak suka makan mangga mentah, sekarang doyan. Terus ya, kamu nggak suka sama s**u cokeleat, kamu malah jadi suka banget. Intinya Mama curiga kalau sebenarnya apa yang dikatakan sama adik kamu itu benar kalau kamu sebenarnya lagi ngidam. Dan sekarang adalah puncak di mana kamu harus jujur sama Mama, itu benar?"
"Nggak, Ma,"
Mamanya tidak menyerah, kemudian duduk di bawah kaki Damian sampai dia harus bangun dari sofa itu karena menghargai sang mama. "Ma, aku nggak pernah ngapa-ngapain,"
"Bohong banget, sumpah ya Mama nggak percaya sama kamu. Damian, kalau memang itu yang terjadi, Mama masih bisa maafin kamu. Cuman satu pesan Mama, apa yang kamu perbuat harus kamu pertanggungjawabkan. Kamu punya adik perempuan, harus kamu pikirkan juga kalau misalnya adik kamu kenapa-kenapa gimana? Apa kamu juga terima kalau dia kenapa-kenapa? Nggak kan? Jadi kalau kamu sampai kebablasan dan pacar kamu hamil, bawa ke sini, Damian. Lihat tante kamu nikah dua puluh tahun lebih belum dikaruniai anak, Mama nggak mau kalau hal itu terjadi,"
Dia sudah pusing dengan pertanyaan yang dilontarkan kepadanya oleh sang Mama.
Damian meminum tehnya lalu menghadap ke arah mamanya. "Aku nggak kayak gitu kok, Ma,"
"Mama cuman ngingetin, jangan kabur dari masalah. Cuman jangan rusak anak orang, atau jangan gampangkan semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Karena kita nggak tahu kehidupan berikutnya akan jadi seperti apa,"
Mamanya seolah memukulnya dengan semua ucapan itu. Yang hanya ingin dia tahu sekarang adalah tentang anak yang dikandung oleh Fiona. Apalagi setelah Fiona mengatakan bahwa anaknya kembar.
Ya, Damian memang ikut USG tapi tidak memperhatikan bahwa anaknya ada dua. Sekarang—dia benar-benar menyesal telah melakukan tindakan hina itu.
"Uncle," teriak keponakannya. Itu adalah Axel—anak sepupunya yang entah kapan datangnya anak kecil ini.
Damian menolehkan kepalanya. "Kapan datangnya nih bocah?"
Mamanya tersenyum dan menyambut kedatangan Axel. "Dia datang dari pagi, dia nungguin kamu. Katanya pengin diajak jalan-jalan. Kamu ajakin kek,"
"Orang tuanya kan ada,"
"Dia nggak mau. Orang tuanya udah pulang, malam ini dia nginap di sini sama kamu,"
Damian menganggukkan kepalanya sejenak. 'Bagus Damian, ini sebenarnya kamu mau dibunuh oleh penyesalan' ucapnya ketika dia memangku anak berusia tiga tahun itu.
"Uncle, kok lama pulang kelja malam?"
"Uncle lagi banyak kerjaan,"
"Papa tadi cama Mama ke cini, katanya culuh bobok cini. Mama cama Papa pulang,"
"Maksudnya disuruh nginap sama Mama dan Papa?"
Anak itu nampak berpikir sejenak. "Iya Uncle,"
Damian menatap ke arah mamanya. "Latihan jadi orang tua, Damian. Siapa tahu kan nanti kamu bawa menantu buat Mama. Penginnya sih begitu, biar rumah juga ramai sama anak-anak, apalagi kalau mereka kembar. Duh senang banget pastinya, tapi nggak apa-apa walaupun satu yang penting bisa buat Mama nggak kesepian lagi kalau kamu dan Papa kerja,"
Dia terdiam, begitu bodohnya dia menyia-nyiakan anaknya sampai harus menggugurkan seperti itu dan membuat Fiona bersedih dengan tindakan dia yang sangat bodoh itu.