Di Ujung Tanduk

1032 Kata
Di ruang tamu, ia melihat Aksa duduk berdekatan dengan Tamara, tertawa dan berbincang mesra. Mata mereka bertemu, dan seketika senyum Aksa memudar melihat ekspresi marah Danisa. "Danisa, aku bisa jelaskan," kata Aksa dengan suara panik, namun Danisa sudah terlalu marah untuk mendengarkan. "Jelaskan apa, Aksa? Bahwa kamu sedang bersenang-senang dengan wanita yang disebut-sebut oleh ibumu sebagai calon istrimu?" Suara Danisa bergetar menahan amarah dan sakit hati. Tamara berdiri dengan wajah santai tak merasa bersalah sedikitpun. Aksa mendekati Danisa tapi Danisa tidak memberi mereka kesempatan untuk Aksa berbicara lebih lanjut. "Kamu tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan hanya pengkhianatanmu, tapi juga kenyataan bahwa aku diperlakukan seperti ini, apa kau tak ingat aku menikah denganmu karena ulah kamu sendiri?" Aksa berusaha mendekati Danisa, namun ia mundur dengan tegas. "Jangan mendekat." Dengan air mata yang mulai mengalir, Danisa bergegas menuju kamarnya, meninggalkan Aksa yang terdiam dan Tamara yang tersenyum sekilas, merasa puas melihat drama di depannya. Sesampainya di kamar, ia menangis, merasakan semua emosi yang meluap setelah kejadian hari itu. Sementara itu di ruang tamu, Tamara merasa tak enak hati setelah melihat Danisa marah. "Aku rasa sebaiknya aku pulang dulu, Aksa," katanya dengan suara pelan. Aksa mencoba menenangkan Tamara. "Aku akan bicara dengan Danisa. Aku yakin dia akan mengerti." Tamara mengangguk dan setelah Aksa memeluknya sekilas, ia pun pergi. Setelah Tamara keluar dari rumah, Aksa mengirim pesan kepada Tamara, berjanji untuk menjelaskan semuanya nanti. Lalu, ia pun menghampiri Danisa di kamar. Di dalam kamar, Danisa menangis sesenggukan sambil meringkuk di ranjang. Hatinya terasa sangat hancur, meskipun ia tahu sekarang ia punya kakek, namun chat mesra yang ia temukan antara Aksa dan Tamara tetap saja membuatnya sakit hati. Aksa duduk di tepi ranjang dan berkata, "Aku tak ada hubungan apapun dengan Tamara, Danisa." Danisa menghentikan tangisnya, mengusap air matanya, lalu duduk. Menatap Aksa dengan tajam, ia berkata, "Oya? Apa kau yakin, Mas?" Aksa mengangguk. Danisa tertawa getir, lalu berkata, "Masa bermesraan seperti itu tak ada hubungan apapun? Hmm, sepertinya rencana ibu menjodohkan kamu dengan wanita gatal itu akan terwujud, ya Mas?" Aksa berusaha membela diri. "Tapi aku benar-benar tak ada hubungan apapun." Danisa menyetop Aksa dengan tegas. "Berhenti dulu. Aku tak ingin kamu bohong lagi, Mas. Aku punya bukti yang akan membuatmu bungkam." Danisa meraih ponselnya dan melihat layarnya beberapa saat hingga akhirnya tersenyum sinis. "Oh, jadi kamu mau poligami ya?" Aksa kaget, teringat ajakannya kepada Tamara lewat pesan singkat sebelum ia masuk kamar. "Kamu kaget aku tahu tentang ini?" tanya Danisa. Aksa terdiam. Danisa melanjutkan dengan suara bergetar penuh emosi, "Maaf ya, Mas, aku memang hanya lulusan SD. Tapi aku tak sebodoh yang kamu kira!" Melihat emosi Danisa yang meluap-luap, Aksa mengambil langkah bijak. "Oke, akan aku jelaskan. Tapi nanti setelah makan malam." Danisa mengangguk, "Oke, tak masalah." Malam harinya, Danisa, Aksa, Kemala, dan Amanda makan malam seperti biasa. Namun, suasana ruang makan itu tampak tegang. Setelah makan malam selesai, Amanda pamit ke kamar terlebih dahulu karena punya tugas. Sepeninggal Amanda, Danisa menatap Aksa dan bertanya, "Kita mau bicarakan yang tadi di mana?" Aksa menjawab, "Di ruang tamu." Kemala, yang duduk di dekat mereka, melihat Aksa dan Danisa bergantian lalu bertanya, "Kalian mau membicarakan soal apa?" Danisa menjawab dengan tenang, "Tentang rumah tangga kami." Kemala menyipitkan matanya, menuntut penjelasan dari putranya. Aksa lalu berkata kepada Kemala, "Jika Ibu mau ikut dalam pembicaraan kami, boleh." Kemala tersenyum, merasa puas dengan jawaban itu. Namun, Danisa segera menolak, "Ini tentang kita, Mas. Kita bicara di kamar saja." Kemala berseru sambil menatap Danisa tajam, "Aku ini ibu dari suamimu. Aku berhak tahu." Danisa menghela nafas panjang, merasa lelah dengan situasi yang semakin rumit. "Oke baiklah. Kita bicara di ruang tamu saja." Mereka semua berjalan menuju ruang tamu. Begitu tiba di sana, Danisa dan Aksa duduk berhadapan di sofa, sementara Kemala berdiri di dekat mereka, menatap dengan penuh perhatian. Setibanya di ruang tamu, Aksa memulai pembicaraan dengan suara yang tenang namun tegas. "Danisa, aku memang ada rencana menikah lagi." Danisa melebarkan matanya, terkejut. Sementara itu, Kemala tersenyum puas dan mulai duduk di sofa, menikmati topik yang menarik perhatiannya. Kemala memperhatikan Aksa dan Danisa dengan penuh minat. Danisa bertanya dengan suara bergetar, "Poligami dengan Tamara, bukan?" Aksa mengangguk yakin. "Iya." Kemala pun angkat suara, "Itu keputusan yang tepat, Aksa. Ibu mendukungmu." Danisa menatap ibu mertuanya tajam. "Tolong ya, Bu. Kalau mau di sini, tidak usah ikut angkat suara." Aksa berseru pada Danisa, "Bicara yang sopan pada ibuku!" Kemala tersenyum senang sementara Danisa tersenyum sekilas dan berkata, "Aku tak mau dipoligami, Mas. Sejak dulu dan sampai kapan pun aku tak mau dipoligami." Aksa lalu bertanya, "Terus jika kamu berpisah denganku, kamu akan tinggal di mana? Kamu tak punya siapapun lagi di sini. Di dunia ini. Bahkan pamanmu satu-satunya juga kamu tak tahu di mana, bukan?" Danisa menarik napas dalam-dalam, mengungkapkan kisah masa lalunya. "Seharusnya jika kamu ingat itu, kamu tak menyakitiku seperti ini, Mas. Aku sudah berusaha jadi istri yang baik, bahkan setelah ibu datang aku menerima keputusanmu perihal keuangan dipegang ibu. Aku tak pegang uang sepeserpun. Semua pekerjaan aku yang kerjakan. Cape, Mas. Dan sekarang kamu malah mau poligami?" Kemala menyela, "Tamara berpendidikan dan dia bekerja. Ia akan bisa membantu perekonomian keluarga." Danisa tersenyum sinis dan menatap Aksa. "Oh, jadi itu alasan kamu mau poligami, Mas?" Aksa membenarkan, "Ya! Jujur saja. Aku perlu bantuan ekonomi." Danisa berkata dengan tegas, "Aku bisa bekerja. Apapun, tapi sejak dulu kamu melarangku, Mas. Lupa?" Aksa terdiam. Ia tahu Danisa beberapa kali memang minta izin untuk kerja, tapi ia selalu mengatakan lebih baik Danisa di rumah. Danisa lalu berkata, "Jika kamu mau menikah lagi, lebih baik kita berpisah." Aksa bertanya dengan sinis, "Kalau kamu berpisah, kamu mau tinggal di mana?" Danisa menjawab dengan yakin, "Di rumah kakekku. Aku punya kakek, dia sangat kaya raya!" Kemala tertawa terbahak-bahak, "Aksa, Danisa mulai gila!" Aksa terlihat bingung, "Apa maksudmu, Danisa?" Danisa menatapnya dengan tegas, "Aku baru saja bertemu kakekku, Hengky Adiwijaya. Dia adalah salah satu konglomerat di negeri ini. Jadi, jangan pikir aku tak punya tempat untuk pergi." Aksa dan Kemala terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Sementara itu, Danisa merasa sedikit lega telah mengungkapkan rahasia besar tersebut, namun hatinya masih terluka dengan kenyataan rumah tangganya yang retak. Namun perkataan Aksa selanjutnya membuat Danisa tersenyum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN