Luka
“Halo Tuan, saya berhasil menemukan rumah nona Danisa! Kehidupannya tampak baik-baik saja,” lapor seorang lelaki berkacamata hitam dan memakai topi duduk dibalik kemudi sedan hitam metalic.
“Kerja bagus! Terus awasi dia setiap harinya. Saya akan memberi instruksi selanjutnya jika diperlukan,” ucap seorang lelaki dari seberang telepon.
“Baik tuan,” jawabnya. Setelah itu panggilan berakhir. Dan laki-laki itu melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu dengan wajah tegasnya.
Sementara itu seorang perempuan memasuki salah satu rumah di sebuah perumahan. Ia baru saja pulang dari warung membeli sayur. Danisa, dialah perempuan itu. Ibu muda berusia tiga puluh dua tahun, mempunyai satu anak berusia sebelas tahun dan suami yang bekerja di salah satu perusahaan.
Saat mengeluarkan sayur yang baru saja ia beli sambil berkata, “besok mas Aksa gajian. Lusa aku akan bisa belanja untuk kebutuhan dapur dan rumah. Ah rasanya selalu senang kalau mas Aksa akan gajian. Dunia serasa luas.” Danisa tersenyum mengakhiri kalimatnya.
Siang harinya Amanda pulang dan disambut oleh Danisa. “Assalamualaikum,” ucap Amanda lemas saat membuka pintu. Danisa menghampiri Amanda dengan wajah full senyum, “Waalaikumsalam sayang.” Amanda salim takzim pada Danisa dan setelah itu ia dituntun untuk duduk di ruang tamu.
Amanda melepaskan tasnya dan Danisa bertanya, “bagaimana sekolahnya sayang?” Amanda menjawab, “baik bu. Seperti biasa. Tapi aku punya satu keinginan.” Danisa pun bertanya, “apa itu? Jika ibu bisa, ibu akan usahakan mewujudkan keinginan itu.”
“Aku mau uang jajanku naik,” pinta Amanda sambil tersenyum. Danisa pun tersenyum dan menjawab, “nanti ibu usahakan ya.” Amanda langsung memeluk Danisa dan berterima kasih. “Makasih bu, sayang ibu.” Danisa hanya mengelus rambut Amanda dan tersenyum.
Sore harinya terdengar suara ketukan pintu dan ucapan salam. Danisa bergegas keluar dari kamarnya, ia kenal betul suara itu. Suaminya, Aksa, baru pulang. "Assalamualaikum," ucap Aksa sambil membuka pintu.
Danisa melihat ke arah pintu dan alangkah terkejutnya ia saat melihat suaminya datang bersama Kemala, ibu mertuanya. Namun, Danisa segera menguasai dirinya dan menyambut keduanya dengan hangat. Dari sudut matanya, ia melihat ibu mertuanya membawa koper, menandakan bahwa ia akan menginap.
"Waalaikumsalam, eh mas datang bersama ibu," sapa Danisa dengan takzim, sambil mencium tangan suaminya dan ibu mertuanya. Ia mempersilahkan mereka duduk.
"Bagaimana kabar, ibu?" tanya Danisa sambil menyajikan minuman untuk ibu mertuanya. "Alhamdulillah, baik," jawab Kemala dengan ramah.
Sementara itu, Aksa masuk ke kamar untuk meletakkan barang-barangnya. Ketika Danisa meletakkan minuman di atas meja, Aksa keluar dari kamar dan menuju ruang tamu.
"Danisa, mulai sekarang Ibu akan tinggal bersama kita," kata Aksa dengan tegas. Danisa langsung mengangguk setuju, tanpa menunjukkan keberatan sama sekali. "Baik, Mas. Saya senang Ibu bisa tinggal bersama kita," jawabnya dengan senyum tulus.
Danisa tak mungkin menolaknya, Aksa adalah anak laki-laki Kemala satu-satunya dan dua adik Aksa juga sudah menikah. Sebelumnya yang Danisa tahu Kemala tinggal bersama Wina, adik bungsu Aksa.
Malam harinya Danisa Ia membawakan secangkir kopi yang masih mengepulkan asap untuk Aksa, suaminya yang bulan lalu genap berusia empat puluh lima tahun.
Danisa dan Aksa memang punya jarak usia yang cukup jauh, lima belas tahun. Dan mereka menikah karena terpaksa.
Aksa harus menikahi Danisa karena ia menabrak orang tua Danisa. Dan paman Danisa ingin Aksa menikahi Danisa yang kala itu masih tujuh belas tahun sebagai pertanggung jawabannya.
Danisa menyajikan kopi untuk Aksa di atas meja di ruang keluarga. “Ini kopinya, Mas.” Aksa tetap fokus pada ponselnya tak menghiraukan kehadiran Danisa.
Malam itu Aksa duduk di samping Amanda, putrinya. Dan sekarang ia sedang mengerjakan tugas bahasa inggris.
Danisa pun duduk di sofa single yang ada di ruang keluarga itu, memperhatikan Amanda yang tengah sibuk berpikir untuk mengisi tugasnya.
Tiba-tiba Amanda berkata, “Ibu sih, sekolah hanya sampai SMP. Jadinya ga bisa bantu aku kerjakan tugas bahasa inggris dan tugasku yang lain,” ucap Amanda sambil memandang sinis ibunya. Membuat Danisa merasa sakit hati.
Danisa cukup kaget dengan sikap Amanda yang tiba-tiba sinis padanya, sebelumnya Amanda selalu bersikap baik dan sopan padanya.
‘Apa jangan-jangan karena ibu? Tadi sore kan setelah kedatangannya, ibu masuk kamar Amanda dan mengobrol dengannya,’ pikir Danisa.
Aksa, sang suami yang duduk di samping Amanda melihat ke arah Amanda lalu ia mengusap kepala Anak sambil berkata, “Manda, mulai sekarang ayah ingatkan kamu jangan terlalu banyak berharap pada ibumu. Kerjanya kan hanya diam di rumah.”
Lagi-lagi Danisa terkesiap, Aksa bahkan sekarang menjadi bermulut tajam. Sebelumnya, suaminya juga tak pernah mengatakan hal semenyakitkan itu.
Danisa mengerutkan keningnya, menatap kesal pada Aksa. Aksa pun bertanya, “kenapa? Memang begitu kenyataannya, bukan?” Danisa pun menjawab, “aku tidak diam saja dirumah Mas.”
Saat Danisa akan menjelaskan, tiba-tiba Kemala Keluar dari kamar dan langsung masuk ruang keluarga.
Kemala duduk di sofa, menatap Danisa dengan tatapan tajam. "Aksa bicara kenyataan Danisa, kamu tak usah tersinggung.”
Amanda, yang menyadari ketegangan di udara, dengan cepat bangkit dari tempat duduknya. Dia mengambil alat tulisnya dengan gerakan cepat dan tanpa sepatah kata pun, meninggalkan ruangan itu.
Kemala menatap Aksa dengan tegas, lalu dengan suara yang penuh penekanan, ia menyatakan, "Tak ada yang bisa kamu harapkan dari istrimu itu. Dia tak bisa dibanggakan dan tak punya bakat apapun. Hanya jadi bebanmu saja. Tak kerja dan hanya menghabiskan uangmu.”
Kemala melanjutkan, “Gajimu kamu berikan saja pada ibu. Ibu yang akan mengatur keuangan rumah ini."
Danisa terdiam, kaget dengan permintaan yang begitu tegas dari ibu mertuanya. Matanya melirik ke arah Aksa, menunggu jawaban dari suaminya.
Aksa dengan suara yang tenang menjawab, "Baik bu." Danisa melebarkan matanya, tak percaya dengan apa yang menjadi jawaban Aksa. Sedangkan Kemala tersenyum puas, tampak bahagia dengan keputusan yang diambil oleh Aksa.
‘Ini baru hari pertama dan ibu langsung menunjukan taringnya, mas Aksa juga dia tunduk sekali pada ibu. Padahal ini menyangkut rumah tangganya sendiri,’ batin Danisa tak habis pikir.
Aksa pun berkata, “bu, aku ke kamar dulu ya. Besok harus berangkat sangat pagi.” Kemala pun mengangguk. Aksa angkat kaki dari ruangan itu dan masuk kamar. Kemala menatap sinis pada Danisa, membuat Danisa jengkel.
Danisa masuk ke dalam kamar dengan langkah terburu-buru, mengejar Aksa yang sudah duduk di pinggir ranjang. Dengan nada bingung dan sedikit kesal, dia bertanya, "Mas, apa-apaan sih? Masa keuangan rumah ini diatur ibu? Kan aku yang istrimu, Mas?" Danisa tengah protes pada sang suami perihal keuangan yang diatur oleh sang ibu.
Bukan pembelaan yang didapatkan melainkan tatapan datar dari sang suami. "Ibu lebih pengalaman. Dia pintar mengelola keuangan daripada kamu. Sudahlah, jangan protes. Aku suamimu dan aku masih milik ibuku, selamanya." Perkataan Aksa, membuat hati Danisa sakit, bahkan bukan menghibur Danisa. Aksa malah begitu santai berbaring dan membelakangi sang istri.
Aksa lalu mengatakan hal yang membuat Danisa semakin terluka.