Bab 7. Tamu tak di undang

1367 Kata
Satu bulan telah berlalu. Kyara sudah terbiasa menjalani kehidupannya yang seperti di neraka. Cacian, makian dan hinaan dari Samudra sudah menjadi makanan sehari-hari baginya. Belum lagi dari Oma Lita yang memang sangat membencinya. Meski Kyara selalu melakukan semuanya dengan sangat baik dan benar, tapi tetap saja selalu salah dimata mereka. Namun, pagi ini tidak seperti biasanya. Santapan makian dan hinaan belum terdengar, Samudra yang biasa sudah berteriak dari arah kamar mandi pun kini tak ada. Hanya diam bungkam melewatinya. Kyara tersentak, pria itu terlihat lebih murung hari ini. "Apa ada hal lain yang mengganggu hatinya?" batin Kyara bertanya-tanya. Satu bulan hidup bersama Samudra, tentu saja membuat Kyara mengenali pria itu lebih dalam. "Bajunya, Tuan," tutur Kyara sopan. Lagi dan lagi pria itu tidak seperti biasanya. Pria itu hanya diam menerima lalu memakainya, tanpa protes sedikit pun. Padahal biasanya, Samudra selalu protes karena selera Kyara yang tidak sesuai dengannya. Ya, meski Kyara tidak tahu memang tidak sesuai atau memang hanya akal-akalan Samudra saja agar bisa memarahi Kyara. Kyara tidak tahu. "Sepatunya, Tuan." Bahkan ketika Kyara menyentuh kakinya, Samudra hanya diam saja. Membiarkan gadis itu memakaikan sepatunya. Padahal biasanya tidak ingin, dan Kyara melakukan hal itu karena Samudra diam saja, Kyara tidak ingin Samudra terlambat karena waktu terus berjalan. Kemudian Berdiri dan menunduk setelah melakukan tugasnya, "Selamat bekerja, Tuan. Semoga anda bisa mendapatkan lebih banyak uang." Ya, kata formal seperti itulah yang memang harus diucapkan Kyara setiap kali Samudra hendak pergi bekerja. Samudra tak menghiraukan, pergi tanpa memperdulikan Kyara. Namun, baru saja pria itu melangkah melewati pintu kamar, Samudra jatuh. Pingsan. Membuat Kyara panik berteriak. "Tuan! Kau kenapa?" "Oma! Paman! Tuan Samudra pingsan!" teriak Kyara lagi membuat penghuni meja makan sontak terkejut. Menghentikan sarapan dan lari menuju kamar Samudra. Plak! Baru saja tiba, Oma Lita yang saat ini sudah bisa berjalan menampar Kyara dengan kerasnya. Berteriak dan memakinya seperti biasa. "Apa yang kau lakukan pada cucuku, hah!" "Apa kau juga mau membunuh cucuku?" Kyara menggeleng, ucapan dan tuduhan Oma Lita selalu saja seperti itu. Kyara memang menjadi penyebab kematian istri dari cucunya, tapi sungguh Kyara sama sekali tidak berniat melakukan itu, apalagi membunuh Samudra yang saat ini sudah menjadi suaminya. "Sudahlah, Oma. Ayo kita bawa Samudra ke rumah sakit." Paman Arya menghentikan, mengangkat keponakannya dan membawa kerumah sakit. Sudah pukul 11 siang tapi Samudra dan yang lainnya belum kembali. Kyara bulak-balik di depan pintu utama dengan cemas. Ya, karena ketidak berhargaannya di rumah ini ia tidak diajak ke rumah sakit. Biarlah, Kyara tidak mempermasalahkan hal itu, kesehatan dan kesembuhan Samudra adalah hal utama baginya saat ini. Meski Samudra sangat kasar dan sering menyakitinya tetapi setidaknya pria itu telah menghidupi keluarganya. Ayah dan adiknya hidup tenang berkat Samudra. Tidak luntang-lantung dan kesusahan seperti dulu lagi. Ditambah Samudra pernah membantu Kyara yang membuatnya harus menikah dengan Samudra dulu. Jadi bagi Kyara, tidak alasan yang pas bagi Kyara untuk membenci Samudra. Tidak tenang menunggu kepulangan Samudra yang tak kunjung datang, akhirnya Kyara memilih kembali masuk. Membersihkan tubuh dan menggelar sejadahnya. Kyara berdoa khusyuk untuk pria itu. Selesai dengan kegiatannya, Kyara mendapati ponselnya berdering. "Dari Oma." Hati Kyara berdegup kencang mendapati Oma menghubunginya. Mungkinkah ini terkait Tuan Samudra? Tanpa lama Kyara menerima dan menjawabnya. "Assalam-." "Apa kau tuli hah! Kenapa lama sekali mengangkat telponnya." Semakin lama teriakan oma semakin melemah. Suara seseorang seperti menghentikannya. "Maaf, Oma. Aku sedang berdoa tadi." tutur Kyara sopan. Saking terbiasanya menunduk saat berbicara dengan oma dan Samudra, hal itu membuat Kyara menunduk saat ini. Padahal dia sedang bicara di telpon, bukan bertemu langsung. "Cepat kemari! Bawa baju dan semua keperluan cucuku sekali." "Kemana Oma?" Gigi Oma tercekat kesal, matanya melirik Samudra yang tengah berbaring menatapnya. Jika saja tidak ada Samudra di depannya, sudah dia sembur gadis itu dengan kata-kata pedasnya. "Kerumah sakit! Pak Jono akan menjeputmu satu jam lagi." Mau tak mau Oma bicara biasa saja, dan tanpa menunggu jawaban Kyara langsung mematikan ponselnya. Kyara sempat termenung, dengan perubahan sikap Samudra dan juga kesehatannya. Dia tidak mengerti. Karena selama ia tinggal disini, Samudra hanyalah seorang pria yang tangguh, kuat dan tegas. Tidak seperti tadi. Setelah sampai di rumah sakit, Kyara tidak mendapati Oma atau yang lainnya di sana. Hanya ada Samudra yang masih terbaring membelakangi pintu. Takut-takut Kyara mendekat, dan dengan suara terbata menyapanya. "Tuan." Prang! Segelas kaca tiba-tiba jatuh dan pecah di hadapan Kyara. Gadis itu sontak mundur ketakuan. Apalagi saat melihat Samudra telah berdiri dan menghampirinya. Berjongkok dan menarik rambutnya. "Ambil dan tata kembali gelas itu!" "Tapi, Tuan?" Krek! Samudra meraih pecahan gelas itu dan meremasnya. Membuat darah mengalir deras dari tangannya. Kyara semakin ketakutan. Ada apa dengan Tuan Samudra ini sebenarnya. "Kau tahu, seharusnya aku merayakan ulang tahunku hari ini bersama indah." "Tapi karena kau! Aku menjadi benci hari ini, menginginkan semua orang mati saja termasuk dirimu!" Menghempaskan wajah Kyara hingga terjungkal. Kyara kembali menangis. Bukan karena jambakan yang ia rasakan di rambutnya, melainkan ikut merasakan sakit Samudra saat ini. Beribu kali, Kyara katakan dia juga tidak menginginkan hal ini. Bahkan jika dia bisa meminta, tuhan cabut saja nyawanya daripada nyawa sahabatnya yang sangat disayang banyak orang itu. "Kenapa bukan kamu saja yang mati hah!" Samudra berteriak, menunjuk Kyara seraya menangis. Kehilangan Indah adalah musibah terbesar dalam hidupnya. Jika dulu dia menderita karena kepergian kedua orang tuanya, Samudra masih bisa tersenyum dan bangkit berkat indah. Tapi saat ini? Samudra tidak memiliki siapapun. Siluet Indah tiba-tiba muncul di depan Samudra, tersenyum dan mengangkat kedua tangannya mengajak berpelukan. Samudra sontak lari dan memeluknya. Namun ternyata itu hanyalah halusinasi. Samudra hanya memeluk angin. Lagi dan lagi pria itu seperti orang gila. Berteriak hingga akhirnya pingsan. Kyara panik, menghampiri Samudra dan berusaha menyadarkannya. "Tuan! Tuan kumohon bangun hiksss!" "Dokter! Suster! Tolong kami hiksss!" Kyara terus menggoyang-goyangkan kepala Samudra. Hatinya sakit. Batinnya terluka. Melihat Samudra menderita tentu saja membuat Kyara juga menderita. Belum selesai rasa bersalah yang tentu tidak akan hilang seumur hidupnya, Kyara harus melihat penderitaan seseorang akibat dari ulahnya tersebut. Kyara benci dirinya sendiri, benci takdir tuhan, dan semua hal yang disakiti akibat dirinya. Di malam hari yang cukup dingin. Kyara menghampiri Samudra yang tengah bekerja di ruang kerjanya. Ya, pria itu sudah dinyatakan sehat dan kembali beraktifitas. Samudra menghentikan gerakan jarinya tatkala gadis yang biasa ketakutan itu tiba-tiba masuk tanpa permisi. "Tuan." Mata Samudra memicing, ia sedikit terkejut saat Kyara tiba-tiba memberinya sebuah pisau tajam. "Bunuh saja aku, Tuan. Anggap saja ini sebagai tebusan dari rasa bersalahku padamu dan pembayaran atas semuanya," tutur Kyara pasrah. Ia bahkan sudah berjongkok dan menunduk siap untuk di eksekusi. Gadis itu menyerah? Ya, semakin lama hidup bersama Samudra, maka semakin besar pula rasa bersalah itu muncul. Ketakutannya bertambah berkali-kali lipat. Kyara tidak bisa menjalani kehidupan seperti ini. Namun bukannya menerima, Samudra malah tertawa. "Hahahahaha!" Pria itu berdiri, dan memandang Kyara hina. "Kau ingin mati sekarang, Budakku?" Kyara mengangguk cepat. Biarlah dia berdosa karena telah bunuh diri, karena memang dia sudah sangat berdosa dengan telah melenyapkan nyawa seseorang, kan? Samudra menyunggingkan senyum. "Tidak segampang itu, bodoh! Kau bahkan baru menjalani 5% dari hukumanmu." "Masih ada 95% penderitaan lagi yang harus kau tanggung akibat kesalahanmu!" APA? Kyara menjatuhkan tubuhnya di depan Samudra. Tidak bisakah dia mati sekarang saja? Kyara sudah tidak tahan. Apalagi saat Samudra sudah berjalan dan membuka celana bagian bawahnya. Kyara sudah benar-benar seperti b***k hina yang harus memuaskan nafsu tuannya. Tapi tidak, Samudra tidak jadi membuka celananya, mata pria itu mengarah pada inti Kyara yang saat itu sedang merangkak mundur menjauhi Samudra. Sebagai wanita normal, Kyara tahu apa yang ada di dalam pikiran Samudra. "Tuan, kumohon jangannnnn!" Kyara memanglah sah bagi Samudra dan pria itu juga berhak mendapatkan haknya. Tapi bukan seperti ini caranya. Kyara tidak ingin memberikan sesuatu hal yang paling berharga dalam hidupnya dengan cara terpaksa. "Kenapa? Aku tidak butuh persetujuanmu untuk mendapatkannya!" Tutur Samudra seraya tersenyum devil. Sudah cukup lama ia tidak menikmati hal itu. Jadi tidak ada salahnya jika ia menikmati gadis gadis cupu ini sampai puas kemudian menjualnya, kan? Menarik rambut Kyara dan melemparkannya ke kasur. Kemudian ikut lompat ke atas tubuh gadis itu. "Tidak!" teriak Kyara sudah menangis. Namun belum sempat Samudra mengeluarkan juniornya, suara ketukan pintu menghentikan aksinya. "Assalamualaikum, Nak. Apa kalian ada di rumah?" teriaknya dari arah luar. Sesaat bibir Kyara tersenyum merekah, ia seperti baru saja mendapatkan pahlawan hidupnya. "Ayah?" Bersambung….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN