SUNGKEMAN

1186 Kata
“Wes, saiki ora bakal turu dewe meneh (Dah, sekarang nggak bakal tidur sendiri lagi)” ucap Prasetyo yang membuat semua orang tertawa kecuali Alika yang menunduk malu sedangkan Bimo yang menggelengkan kepalanya melihat kelakuan sang ayah. Setelah acara ijab kini acara berganti menjadi acara sungkeman. Ritual sungkeman merupakan ritual yang tidak boleh dilewatkan dalam acara pernikahan adat Jawa. Acara ini merupakan salah satu acara yang sakral, di mana kedua mempelai meminta restu kepada kedua orang tua mereka. Seorang perias menghampiri Bimo dan juga Alika yang akan menaiki panggung di mana orang tua mereka sedang duduk di sana, perias tersebut mengambil keris yang terselip di belakang tubuh kekar Bimo dan mengambil semua atribut yang ada pada Alika. Setelahnya mereka berdua berjalan menaiki panggung. Di sana, Mahendra, Prasetyo dan Lastriana telah duduk, mereka mengenakan kain batik bermotif truntum, mereka juga mengenakan sindur (ikat pinggang yang besar) yang menambah kesan indah ketika menyatu dengan batik yang mereka kenakan. Motif tuntrum yang ada di kain batik tersebut merupakan simbol bahwa mereka meridhoi agar Bimo dan Alika mempunyai rejeki yang cukup selama hidup, sedangkan sindur melambangkan restu mereka agar Bimo dan Alika selalu bertindak hati-hati serta hidup secara rukun dan sejahtera. Bimo bersimpuh di bawah Mahendra, ia menundukkan kepalanya seraya menjabat tangan kanan Mahendra. “Pakdhe, saya meminta ijin untuk menjaga putri semata wayang pakdhe,” ucap Bimo, mendengar perminataan tulus dari menantunya membuat Mahendra tersenyum lalu mengelus kepala Bimo dengan lembut. “Pakdhe ijinkan, Bim. Tolong jaga anak pakdhe ya, kalau Alika salah tolong kasih tau pelan-pelan, Alika paling nggak bisa kalau dikasarin, nggak bakal masuk ke otaknya,” ujar Mahendra lalu terkekeh di akhir kalimatnya. “Nggih, Pakdhe. (Iya, Paman). Saya akan menjaga Alika seperti Pakdhe menjaga Alika. Matur suwun, Pakdhe. (Terima kasih, Paman)” setelah Bimo yang sungkem kepada Mahendra, kini Alika yang sungkem kepada sang ayah, satu-satunya orang tua yang ia miliki. Alika bersimpuh di kaki Mahendra seraya menjabat tangan kanan sang ayah. “Pa ... ,” lirih Alika dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Maaf kalau selama ini aku selalu manja sama Papa, selalu bikin Papa repot, bikin Papa pusing sama sikap aku yang bandel,” ucap Alika sukses membuat mata Mahendra berkaca-kaca, ia teringat kembali dengan perjuangannya membesarkan sang putri seorang diri setelah kematian sang istri dua puluh tahun yang lalu. “Kamu nggak ngerepotin Papa sama sekali,” ucap Mahendra. “Aku juga mau bilang makasih karena selama ini Papa selalu menyayangi aku, Papa selalu menuruti kemauan aku, Papa selalu merawat aku sebaik mungkin sampai aku bisa sebesar ini,” ucap Alika yang justru membuat Mahendra terkekeh saat ini. “Itu udah jadi kewajiban buat Papa, sayang. Sekarang Papa berharap kamu bisa menjadi istri yang baik buat Bimo, kamu harus nurut sama apa yang diomongin suamimu.” Petuah Mahendra seraya mengusap pucak kepala Alika dengan sayang sedangkan di waktu yang bersamaan Bimo sedang melakukan sungkem kepada sang ayah. “Pak, kulo nyuwn ngapuro nggih Pak menawi kulo enten kalepatan kaleh Bapak, kulo nyuwun pangapunten menawi kulo kerep damel Bapak murko. (Pak, aku minta maaf ya Pak kalau aku punya salah sama Bapak, aku minta maaf kalau aku sering buat Bapak marah)” ujar Bimo seraya menjabat tangan kanan Prasetyo, tidak lupa pula ia mencium tangan yang selama ini membesarkannya tersebut. “Wes kewajibane Bapak le. Koe ora usah njaluk ngapuro koyo ngono, Bapak ikhlas. (Udah kewajibannya Bapak, le. Kamu nggak usah minta maaf kaya gitu, Bapak ikhlas)” jawab Prasetyo dengan senyum kecil di bibirnya. “Matur suwun nggih, Pak. Bapak sampun ngeragati kulo saking kulo tesih alit dumugi ageng ngoten sakniki. (Makasih ya, Pak. Bapak udah menghidupi aku dari aku masih kecil sampai besar seperti sekarang)” ucap Bimo kembali sedangkan Prasetyo mengusap puncak kepala putranya tersebut dengan sayang. “Iyo, wes ora usah kakean matur suwun karo njaluk ngapuro, ngko ndak Bapak nangis. Isin, le. (Iya, udah nggak usah kebanyakan bilang terima kasih sama minta maaf, nanti Bapak nangis. Malu, le.)” ucap Prasetyo dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan sontak saja hal itu membuat Bimo terkekeh kecil, ia kembali mencium punggung tangan sang ayah sebelum berlanjut melakukan sungkeman kepada Lastriana sang ibu juga memberi posisi untuk Alika agar melakukan sungkeman kepada Prasetyo. “Buk ... ,” ucap Bimo dengan lembut ketika ia menjabat tangan sang ibu sedangkan Lastriana sudah terisak melihat bahwa putra semata wayangnya sudah dewasa seperti ini hingga sudah menikahi seorang wanita. Ia mengusap rambut Bimo dengan perlahan, rambut putra semata wayang nya saat ini begitu kasar, berbeda dengan tiga puluh tahun yang lalu ketika ia melahirkan Bimo ke dunia. “Kulo nyuwun pangapunten nggih Buk menawi kulo enten kalepatan kaleh Ibuk, kulo kerep ndamel Ibuk mumet kaleh tingkah kulo, kerep ndamel Ibuk mangkel amergo kulo mboten nurut kaleh ngendikane Ibuk. (Aku minta maaf ya Buk kalau aku punya salah sama Ibuk, aku sering buat Ibuk pusing sama tingkah ku, sering buat Ibuk kesel karna aku nggak nurut sama perintah Ibuk)” ujar Bimo. “Koe ki ngopo lho ndadak njaluk ngapuro barang? Ibuk ikhlas, le. Koe kan anak Ibuk, ora sah njaluk ngapuro koyo ngono. (Kamu tuh ngapain sih minta maaf segala? Ibuk ihklas. Kamu kan anak Ibuk, nggak usah minta maaf kaya gitu)” ucap Lastriana di sela isak tangisnya sedangkan Bimo mencium lama punggung tangan sang ibu sebelum kembali melanjutkan ucapannya. “Matur suwun nggih, Buk. Ibuk pun sayang kaleh kulo, matur suwun mpun ngelaer-ake kulo, Buk. (Makasih ya, Buk. Ibuk udah sayang sama aku, makasih udah ngelahirin aku, Buk)” ucap Bimo dengan mata yang sudah berkaca-kaca dan tidak ada satupun oranng yang melihat hal itu karena ia menundukkan wajahnya dan menyembunyikan hal itu dari seluruh orang , termasuk dari kedua orang tuanya dan juga istrinya yang saat ini bersimpuh di samping nya. “Iyo, le. Ibuk yo bakal matur suwn karo koe nek anak-e Ibuk iki iso njogo mantune Ibuk, ojo mbok larani atine Alika yo, le. Koe kudu dadi bojo seng tanggung jawab, seng iso mimpin Alika koyo Bapakmu mimpin Ibuk, nek nganti koe ngelarani Alika, Ibuk bakal mbalekke Alika neng Bapakne. (Iya. Ibuk juga bakal bilang makasih sama kamu kalau anaknya Ibuk ini bisa jaga menantu Ibuk, jangan kamu sakiti hatinya Alika ya, le. Kamu harus jadi suami yang bertanggung jawab, yang bisa memimpin Alika kayak Bapakmu memimpin Ibuk, kalau sampai kamu menyakiti Alika, Ibuk bakal mengembalikan Alika ke Bapaknya)” ujar Lastriana panjang lebar yang sontak saja membuat Bimo terkekeh. Ia tidak akan melukai hati istrinya itu, ia sudah berjanji akan berlaku selayaknya seorang suami yang menjaga, melindungi, bertanggung jawab dan setia kepada sang istri. Untuk urusan cinta dan kasih sayang mungkin akan ia kesampingkan mengingat fokusnya saat ini adalah memperluas kekuasaannya, yang ia butuhkan adalah kehadiran Alika di samping nya sebagai seorang istri yang akan selalu menemaninya, begitupun dengan ia yang akan selalu menemani Alika dan tidak akan berpaling dari perempuan itu seperti yang diinginkan oleh Alika. Setelah proses sungkeman kepada Latriana telah selesai, saat ini Bimo menunggu Alika yang melakukan sungkeman kepada ibunya tersebut. Terlihat jelas sang ibu begitu menyayangi Alika seperti anaknya sendiri, wanita paruh baya itu tidak sungkan-sungkan untuk mengecupi wajah menantunya di hadapan para tamu dan hal itu membuat Bimo menyunggingkan senyum tipis nya, setelah Alika selesai melakukan sungkem kepada Lastriana, Bimo menautkan jemarinya pada jemari Alika dan menuntun istrinya tersebut untuk menuruni panggung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN