9. 'Azab Mantan Kekasih?'

1257 Kata
“Rayya, untuk seminggu ini Pak Bos ada keperluan di luar kota. Nah selama beliau tidak ada di kantor, kamu pelajari dulu dokumen yang sudah saya kirim ke emailmu ya. Beberapa tentang kebiasaan si bos. Jika ada pertanyaan, kamu boleh tanya ke saya langsung.” jelas Marla saat Rayya menemuinya di hari Senin. Ya, Abhi memang sedang di luar kota selama beberapa hari. Entah apa yang akan terjadi saat keduanya bertemu, Marla tidak mau menduga. “Baik bu.” Rayya ikuti instruksi Marla. Dibaca dan dipahami baik-baik. Tapi saat dia membaca bagian kebiasaan si bos, keningnya berkerut. Setiap pagi sesaat setelah bos sampai di kantor, maka secangkir kopi hitam harus segera tersedia. Kopi merk Exelsoc tipe Java Arabica tepat 10 gram, diaduk dan didiamkan selama empat menit. Eeum kopi merk ini? Ini kan merk kopi kesukaan Abhi. Tapi dia suka ditambah krimer kental manis, bukan yang kopi pahit saja. Haah kan jadi teringat Abhi lagi. Lagipula ini aku jadi personal assistant atau office girl ya? Kenapa beberapa deskripsi pekerjaan cenderung ke office girl sih? Aneh aah. Rayya mengabaikan nalurinya. Dia merasa Jakarta terlalu luas baginya dan Abhi untuk berada di satu atap kantor yang sama. Semoga saja seperti itu. Setidaknya selama satu minggu, Rayya sudah bisa memahami alur pekerjaannya. Tepat seminggu kemudian, Marla memastikan bahwa Rayya sudah siap dengan pekerjaannya. Sungguh Marla ingin memberi tahu siapa bos kecil yang ruangannya berada di depan meja Rayya, tapi dia coba tahan. Biarlah Rayya tahu dengan sendirinya. “Rayya, nanti akan ada pertemuan bulanan ya, tolong kamu persiapkan kebutuhan Si Bos. Beliau hanya akan muncul sebentar saja.” titah Marla penuh kelembutan. “Baik bu.” Jujur, Rayya masih bingung karena ini adalah rapat direksi pertama yang dia ikuti. Mungkin dia akan berada di meja kerjanya saja daripada kebingungan berada di antara dewan direksi, para petinggi perusahaan yang tentu dia tidak berkepentingan langsung dengan mereka. Tapi keinginan hanya tinggal keinginan karena Marla memintanya menjadi notulen rapat. Satu per satu dewan direksi hadir. Mereka semua melihat ke arah Rayya dengan kening berkerut, ekspresi wajah yang berubah walau hanya dua tiga detik saja kemudian kembali normal. “Kamu..” salah seorang perempuan yang seumuran dengan Marla menunjuk ke arah Rayya, dia ingin bertanya untuk tuntaskan keheranannya tapi sebelum pertanyaan terucap dari bibir, Marla sudah mencegahnya. “Dia Rayya Utami, posisinya sebagai personal assistant direktur umum. Baru seminggu tapi bisa diandalkan kok.” jelas Marla. “Bu Marla, sepertinya aku pernah melihat wajah itu, tapi di mana ya?” bisik ibu tadi. “Di ruangan bos kecil, di bingkai foto yang ada di mejanya, sebelum disimpan entah di mana.” Marla menjawab juga dengan berbisik. Ya, Abhi memang nekat memajang foto Rayya di meja kerjanya tapi entah sejak kapan, tiba-tiba saja bingkai foto digital itu sudah tidak ada. “Ah ya, benar. Jadi dia…?” “Hussh… sudah, jangan dibahas lagi. Bentar lagi si bos kecil masuk,” Marla memberikan isyarat telunjuk diletakkan di depan bibirnya sebagai tanda untuk tenang, “Rayya kamu duduk saja di bangku yang di belakang itu ya, ingat untuk jadi notulen juga.” kali ini suara Marla kembali normal saat memberi instruksi pada Rayya. “Baik bu.” dengan patuh, Rayya menuju ke arah belakang. Pupus sudah harapannya untuk berada di kursi empuknya yang nyaman. Rayya menunduk, membuka iPad dan bersiap menjadi notulen rapat direksi hari ini. “Selamat pagi semuanya, apa kabar? Maaf saya telat, pesawatnya tadi delay lima belas menit. Mari kita segera mulai rapat hari ini.” Sebuah suara bariton lelaki terdengar di telinga Rayya tapi bagai petir di siang hari bolong yang terik. Sungguh, suara ini sangat familiar baginya di masa lalu. Suara bariton yang ingin dia lupakan namun selalu gagal. Empat tahun pelarian yang berakhir dengan sia-sia karena nyatanya, Abhi masih saja menghiasi mimpinya. Rayya tidak berani mengangkat wajah. Dia terlalu takut untuk menerima kenyataan bahwa dia akan menjadi seorang PA bagi Abhi, mantan kekasih yang telah mengkhianatinya. Rapat berlangsung dari pukul sembilan hingga sebelas siang. Padahal hanya dua jam saja, tapi bagi Rayya itu layaknya setahun. Dia bahkan harus menahan keinginannya ke toilet. Boro-boro ke toilet, menatap wajah Abhi saja dia tidak berani. Selama dua jam dia selalu menunduk, berpura sibuk dengan notulensi rapat. Dari tempat duduknya, bibir Abhi sedikit tertarik ke atas melihat kelakuan Rayya yang dia anggap menggemaskan. Andai saja hanya ada dia dan Rayya di ruangan rapat ini, tentu dia sudah langsung memeluk gadis impiannya itu. “Baiklah, rapat sudah selesai. Saya tunggu laporan perkembangan dari tiap divisi. Terima kasih atas kehadirannya dan selamat siang.” Abhi menutup rapat. Dia bimbang apakah akan tetap berada di ruangan ini atau kembali ke ruangannya dan menikmati wajah Rayya dari balik kaca ruangannya yang bersifat one way. Dia bisa menikmati wajah Rayya tanpa diketahui oleh si pemilik wajah atau siapapun yang berada di luar ruangannya! Tapi dia sungguh ingin memeluk Rayya untuk luapkan buncahan rasa rindu. Abhi tak hilang akal, dia sengaja tinggalkan pulpen mahal kesayangannya di ruang rapat. Tentu saja dia punya ide yang bisa melampiaskan rasa rindunya pada Rayya. Hanya saja Abhi tahu diri. Dia harus menjaga perasaan Rayya, juga perasaannya tentu saja. Abhi putuskan untuk keluar ruangan rapat, kembali ke ruangan kerjanya yang nyaman. Tidak hanya Abhi, semua peserta rapat juga keluar. Menyisakan Rayya dan Marla saja. Marla memperhatikan raut wajah Rayya yang pucat, menjadikannya semakin yakin ada sesuatu di masa lalu antara bos kecilnya dengan Rayya. “Nah Rayya, yang tadi itu akan jadi end user kamu ya. Namanya Pak Abhi. Abhi Hafi Ihsan, beliau agak ribet tapi baik kok. Kamu harus sabar pada beliau ya.” tepuk lembut Marla di pundak Rayya. Sebagai orang yang paham psikologi, dia menarik diri dari kerumitan hubungan antara Abhi dan Rayya. Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dia kerjakan dibanding mengurusi hal pribadi ini. “Eeh eeum, iya Bu Marla.” Rayya berjengit kaget, dia bingung dengan keadaan ini. Tapi ini bulan pertama dia bekerja sebagai seorang PA. Dia tidak mungkin ajukan alasan untuk mengundurkan diri padahal belum sebulan bekerja sebagai PA dan baru tiga jam melihat bosnya kan? “Nanti biar office boy yang rapikan ruangan ini. Sebaiknya kamu segera kembali ke meja kerjamu, selesaikan laporan notulensi rapat hari ini dan tunggu instruksi lanjutan dari Pak Abhi. Barangkali dia membutuhkan bantuanmu kan?” Marla berikan senyum kecil dan bergegas keluar dari ruang rapat. “Huuft… kenapa bisa jadi gini sih? Kenapa pula aku harus bertemu Abhi di tempat ini? Apakah Jakarta begitu kecilnya untuk kami berdua hingga harus berada di gedung yang sama? Kantor yang sama? The best sialnya adalah aku menjadi PA bagi mantan kekasihku! Haaah! Ini kalau jadi judul sinetron boleh juga sih. Azab Seorang Mantan Kekasih yang menjadi Sekretaris Mantannya! Eh tapi kenapa malah aku yang kena azab? Harusnya kan Abhi. Duuuh..!! Aku kesal! Aaargh!!” Rayya bergumam, melampiaskan rasa kesalnya, rasa bingungnya, tidak tahu harus bagaimana. Rayya membereskan semua perlengkapan dengan rapih. Office boy juga sudah selesai merapikan ruangan, meninggalkan ruangan untuk membuang sampah. Rayya edarkan pandangan ke penjuru ruangan, memastikan tidak ada barang yang tertinggal. Tapi…, matanya tertumbuk pada sebuah benda berwarna hitam yang teronggok pasrah di meja direktur. Rayya tahu itu pulpen mahal, harganya saja setara dengan sebulan makan siangnya! Duuh pulpen siapa nih? Kenapa bisa ketinggalan sih? Aah, aku akan berikan pada Bu Marla saja, mungkin beliau tahu ini milik siapa. Rayya mengambil pulpen itu kemudian dia membalik tubuhnya, tapi mendadak jantungnya berhenti berdetak saat melihat ada sosok atletis seorang lelaki yang berdiri menyandarkan punggungnya ke pintu dan melihat ke arahnya dengan tatapan mata yang... dia sendiri tidak dapat gambarkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN