8. And The Time is Come (edit)

1600 Kata
“Ray, dipanggil Bu Marla, penting banget katanya.” Amel, supervisor Rayya di bagian pembelian sekaligus ‘pengawal pribadi bayangan’, berdiri di depan kubikel Rayya dan berikan informasi penting. “Eeh ada apa? Kok tumben sepagi ini aku udah dipanggil ke HRD sih Mel? Aku bikin salah ya? Duuh…” mendadak Rayya jadi panik, coba berpikir kesalahan apa yang dia perbuat hingga dipanggil Kepala HRD. “Tenang aja, kamu sudah dua bulan bekerja di sini, kerjamu bagus kok. Kamu perform well, aku gak ada masalah dengan pekerjaanmu. Sepertinya ada posisi kosong yang harus kamu isi sih Ray, di tempat yang berbeda.” jawab Amel, dengan tenang. Dia tumpukan dagunya di atas pembatas kubikel membuat Rayya geli sendiri. “Heeeh yang benar aja? Tapi aku sudah mulai merasa nyaman di sini, kenapa harus dipindah?” Rayya menolak ide itu. “Ray, daripada kelamaan di sini udah buru ke ruangan Bu Marla. Kabari aku ya ada apanya. Giih sana buru!” Amel memaksa Rayya segera ke ruangan Marla. Walaupun dia sudah tahu apa sebenarnya yang akan disampaikan oleh Marla, tapi tetap saja dia tidak berkompeten untuk sampaikan itu. Biarlah Bu Marla saja yang pusing deh, toh tugasku kan jadi pengawal pribadi bayangan, bukan jadi penyampai pesan. Tapi apakah dengan Rayya pindah bagian, aku tetap harus jadi pengawal pribadi bayangannya? Kenapa gak si bos aja sih yang langsung turun tangan sendiri? Dengan gugup, Rayya masuk ke ruangan Marla setelah dipersilakan oleh empunya ruangan. “Ibu memanggil saya?” tanya Rayya dengan amat sopan. Dia sedikit menunduk dan menunggu di depan pintu. “Hai Rayya, silakan duduk. Ada hal yang ingin saya sampaikan dan ini cukup penting.” Marla pindah duduk menjadi berhadapan Rayya di sofa empuk yang ada di ruangannya. “Bu, maaf, apakah saya membuat kesalahan?” tanya Rayya dengan hati-hati. Marla tertawa kecil, dia tahu, bagi sebagian orang, mendengar dipanggil oleh HRD seperti pesakitan yang akan dikenakan hukuman! “Tidak kok, tenang saja,” Marla meringis membayangkan hidup Rayya yang tidak akan tenang mulai esok atau lusa atau minggu depan atau secepatnya, “mulai lusa, kamu akan pindah posisi ya Rayya.” jelas Marla tanpa mau berbasa-basi. “Eeuh kenapa Bu? Padahal saya sudah merasa nyaman di bagian pembelian, ada Amel juga yang jadi teman curhat sekaligus supervisor saya. Apakah harus Bu?” sejujurnya, Rayya ingin sekali menolak ide pindah posisi ini. Tapi dia harus tahu diri, siapa dia. Keputusan pindah posisi bukanlah hak seorang karyawan. “Iya. Ini posisi baru, jadi kamu juga membutuhkan penyesuaian diri terlebih dulu.” senyum Marla entah kenapa tampak misterius bagi Rayya. Kening Rayya berkerut, “posisi baru bu? Posisi apa itu bu? Sebagai apa? Apakah saya orang yang tepat untuk posisi itu?” rentetan pertanyaan Rayya membuat Marla tersenyum. “Iya Rayya, kamu orang yang paling tepat untuk posisi ini.” jawab Marla, sudut bibirnya terangkat, membayangkan betapa Abhi, si bos kecilnya, memaksakan kehendak untuk menambah satu posisi ini. Tentu saja kamu adalah orang yang paling tepat karena posisi ini diadakan sengaja khusus untukmu. Pastinya perasaan Pak Abhi padamu, bukanlah main-main karena beliau nekat menerobos semua kebiasaan juga segala risiko. “Maaf Bu Marla, posisi baru saya nantinya sebagai apa? Deskripsi pekerjaan apa? Jadi saya bisa mencari info untuk belajar terlebih dulu.” tanya Rayya, dia takut tidak mampu menjalankan posisi baru ini. “Relatif gampang kok Rayya, menjadi seorang Personal Assistant atau PA. Saya cek dari daftar riwayat hidup Rayya kan aktif berorganisasi sebagai sekretaris, terakhir di LSM juga sebagai admin kan? Yah, kurang lebihnya seperti itu tapi tentu ini lebih mendetail dan rumit. Info jelasnya untuk deskripsi pekerjaan, sudah saya kirimkan ke email Rayya ya, pelajari dari situ cukup kok.” jawab Marla, sedikit menenangkan Rayya. “Baik Bu Marla, terima kasih banyak. Oiya bagaimana dengan pekerjaan saya di bagian pembelian bu? Masih ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan, padahal lusa saya sudah pindah.” “Tidak perlu khawatirkan itu, semua sudah dipikirkan. Nanti Amel yang akan mengatasi hal itu. Lusa, Rayya sudah bekerja di lantai lima belas ya. Nanti kamu ke sini dulu ketemu saya, baru saya akan antar ke end user.” “Baik Bu Marla, terima kasih. Saya permisi dulu.” Rayya undur diri, kembali ke bagian pembelian dan menyelesaikan semua pekerjaan yang harus dia prioritaskan. “Oiya Bu Marla, nanti end user saya siapa ya?” Rayya baru teringat dia belum tahu dia akan menjadi PA bagi siapa. Hanya saja sayangnya Rayya telat bertanya. Dia baru ajukan pertanyaan saat membuka kenop pintu, tapi saat Rayya berbalik untuk melihat ke arah Marla, ternyata Kepala HRD itu sedang menerima telepon. Karena tidak mau mengganggu, Rayya putuskan untuk bertanya lain kali. Andai saja Rayya sabar menanti jawaban Marla, mungkin jalan hidupnya tidak akan menjadi rumit. Rayya kembali ke kubikel lamanya, segera mengerjakan pekerjaan yang bisa dia selesaikan. Rayya tenggelam dalam kesibukannya, dia tidak mau meninggalkan banyak pekerjaan tertunda saat resmi pindah. * “Ray, pulang yuk. Udah jam segini loh. Kamu bisa berikan catatan apa saja pending kerjaanmu, aku akan selesaikan, gak perlu khawatir.” Amel mengganggu Rayya, mengingatkannya untuk segera pulang. Ini haru Jum’at, artinya Senin minggu depan, Rayya akan mulai menjadi PA di lantai lima belas. Rayya mendunga, melihat ke arah Amel penuh antusias, “bener Mel? Berarti kamu sudah tahu dong aku akan dipindah lusa?” “Beneran dan sudah tahu. Bu Marla sudah berikan surat resmi ke emailku. Yuk, pulang. Ini akhir pekan loh, manfaatkan waktu liburmu. Gak perlu terlalu ngoyo. Senin kamu juga sudah pindah kan, jadi PA?” Amel sabar menunggu Rayya beberes mejanya. Beruntung tidak banyak barang pribadi hingga lebih mudah pindah lantai. “Iya. Mel, walaupun aku pindah posisi, tapi kita tetap makan bareng ya. Semoga saja karyawan lain di lantai lima belas semua seramah kamu.” harap Rayya dengan cemas dibalas cekikian geli Amel. “Kok kamu malah ketawa sih Mel? Ini doa loh, doa. Harusnya diaminkan dong.” “Ray, di lantai lima belas hanya ada tiga ruangan. Satu, ruangan Kepala HRD. Kedua, ruang rapat direksi dan ketiga, ruangan direktur alias bos kecil yang kamu akan jadi PA-nya.” “Aah ya Tuhan, aku sampai lupa tanya ke Bu Marla aku tuh jadi PA buat siapa.” Amel tersenyum lebar, membayangkan kehebohan yang akan terjadi andai saja Rayya tahu siapa end usernya. “Mau tahu kamu jadi PA buat siapa?” tawar Amel. Dia akan menggoda Rayya. “Mau… mauuu dong Mel, buat siapa?” jawab Rayya, kegirangan. Seperti anak kecil yang mendapatkan permen gratis. “Si Bos Akang yang ganteng itu!” pekik Amel, gembira, “yep, Si Kang Tae Oh versi kw!” lanjut Amel lagi, melihat binar bola mata Rayya. “Waaaw benarkah? Aaah demi apa Mel aku malah jadi PA Si Bos Akang? Ya Tuhan, ngelihat dia aja belum pernah, eeh malahan aku langsung jadi PA beliau. Asiik asiiik..” Rayya melonjak kegirangan. “Iya.” Ray, sekarang kamu masih bisa melonjak kegirangan. Tapi entah saat kamu akhirnya tahu siapa sebenarnya Bos Akang itu, apakah kamu masih bisa tersenyum segembira dan melonjak seperti ini? “Mel, kasih bocoran dong, karakter Bos Akang ini gimana? Oiya orangnya seperti apa? Baik atau galak? Cool seperti tipe CEO di n****+-n****+ roman itu atau malah yang riang gembira? Yaah tipe karakter CEO anti mainstream gitu.” tanya Rayya saat berjalan menuju lift. Amel malah mengernyitkan keningnya, “emang di n****+ ada karakter CEO yang manis, riang gembira gitu?” entah kenapa pula pembicaraan mereka malah menjadi absurd seperti ini. “Ada kok, gak semua CEO di n****+ itu cool, irit bicara, jahat. Ada yang kontranya loh.” “Oh yaa? Yang benar ah Ray, perasaan aku kalau baca n****+ semua karakter CEO kok mainstream. Coba deh info judulnya, nanti aku akan baca.” Amel coba berpikir adakah karakter CEO yang pernah dia baca dan mempunyai sifat anti mainstream. “Reino tuh, karakter Reino Adikusumo di Bos vs Sang Asisten. Lucu, ramah, baik hati pula. Atau malah Daniel di Crazy Rich Daniel Tedja. Coba deh kamu baca di platform ungu, keduanya tipe bos yang gokil, iseng dan lucu.” Rayya menjelaskan dengan detail. “Heeuum ok, nanti malam aku akan langsung selancar baca buku ini. Makasih infonya Ray.” “Mel, kamu belum jawab pertanyaanku. Si Bos Akang gimana orangnya?” desak Rayya lagi, belum puas karena Amel belum menjawab pertanyaannya. “Secara fisik, si bos seperti Kang Tae Oh versi kulit lebih coklat, seperti yang udah pernah aku bilang. Senyum mereka juga sama. Ini yang bikin karyawati di sini suka heboh kalau Si Bos Akang senyum. Si Bos kan jarang senyum.” “Ooh tipe bos mainstream yaa? Dingin dan heartless? Heuum baiklah aku juga akan bertindak layaknya PA mainstream deh, pakai rok pinsil, kemeja kerja warna cerah, warna lipstik lebih merah.” “Ray, gak usah aneh-aneh deh. Kamu jadi dirimu sendiri aja, percaya diri bahwa kamu mampu untuk menjadi PA beliau ini.” “Hehe siaap. Eeh Mel, itu ojek onlineku sudah datang. Duluan yaa, aku gak sabar ingin segera menelpon cowok cakep malam ini. Daaaah…. Sampai jumpa lagi hari Senin!” teriak kecil Rayya. “Hati-hati.” balas Amel dan ikut lambaikan tangan. Dia geleng-geleng karena Rayya yang tampak senang sekali akhirnya bisa menelpon cowok cakep. Entah siapa itu, membuat Amel penasaran. Eeh sebentar…, cowok cakep? Aaah apakah ini nantinya akan jadi cinta segitiga? Kira-kira siapa yang akan Rayya pilih ya? Bos Abhi atau cowok cakep ini? Duuh, semoga saja Rayya pilih Bos Abhi, biar hidup kami tidak sengsara! Sejak Rayya masuk kantor ini, aku perhatikan Si Bos Abhi jadi lebih sering tersenyum dan auranya tidak lagi murung. Kalau Rayya pilih selain Bos Abhi, waduuh… gawat!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN