Episode 3 : Suami Terbaik

2153 Kata
“Perbedaan sayang sama jahat, sangat tipis, lho, Pah! Sayang kalau terlalu manjaiin, bisa bikin orang yang dimanjain, jadi ngelunjak bahkan enggak tahu diri!” Episode 3 : Suami Terbaik **** Fina masih terlelap, ketika Rafael yang baru pulang kerja, memasuki kamar mereka. Rafael memasuki kamar sambil melepas dasi yang melingkar di kerah kemeja putih yang dikenakan. Namun, karena Rafael mendapati Fina masih terlelap di sisi tempat tidur, sedangkan tangis Bubu sudah tidak terkendali, Rafael langsung kebingungan sekaligus panik. Rafael sampai membiarkan dasi yang hampir terlepas dari lilitannya, karena pria itu bergegas menghampiri Bubu yang ada di ranjang bayi. Meski tidak yakin akan bisa langsung membuat tangis Bubu reda, tapi Rafael berangsur menggendongnya dengan hati-hati. Sungguh, apa yang Rafael lakukan sukses membuat tangis Bubu berangsur mereda. Hanya saja, karena dasi berikut jas yang Rafael kenakan, membuat pria itu tidak nyaman dalam mengendong sang anak, Rafael bermaksud melepasnya dengan sebelumnya kembali meletakkan Bubu. Akan tetapi, apa daya. Apa yang Rafael lakukan justru membuat tangis Bubu semakin pecah. Jadilah, Rafael yang kembali panik, memilih kembali buru-buru meraih sekaligus menggendong Bubu. Yang membuat Rafael tak percaya, Fina istrinya tetap terlelap dan sama sekali tidak terusik. Akan tetapi, Rafael hanya memandanginya dan kemudian berlalu dari kamar sambil menimang-nimang Bubu yang tak lagi menangis. “Pengin jalan-jalan, ya? Tapi kayaknya Mamah kecapaian. Hmm ... kamu pinter banget, sih. Kalau pagi sampai siang bobo, kalau malam sampai pagi, ronda. Mamah pasti belum terbiasa. Tuh ... Mamah sampai tidur pulas banget,” lirih Rafael yang kemudian memutuskan memomong sang anak tanpa mengusik apalagi membangunkan Fina. Karena seperti apa yang ia katakan kepada Bubu, sepertinya Fina memang kelelahan dan belum terbiasa dengan pola istirahat sekaligus tidur Bubu yang justru sangat bertolak belakang dengan kebiasaan orang pada kebanyakan. Terlepas dari itu, dalam mengurus Bubu, Rafael dan Fina juga benar-benar mengurusnya tanpa bantuan pekerja. Paling hanya dari pihak keluarga ketika tidak ada urusan. Karena jika memang tidak ada urusan mendesak, Mey bahkan Raden dan Burhan, sampai menginap di rumah pribadi Rafael hanya untuk bisa bersama Bubu. Boleh dibilang, Bubu ibarat artis sekaligus kebanggaan di keluarga Veanso yang selalu menyedot perhatian. Bahkan, pamor Bubu sudah sampai mengalahkan pamor Ipul. Karena ketika Ipul harus melucu agar mendapatkan perhatian, sekadar mengedipkan mata saja, Bubu sudah langsung membuat keluarga Veanso tanpa terkecuali Rena, heboh. Semuanya sungguh gemas melihat Bubu, apalagi jika melihat pipi Bubu yang semakin berisi sedangkan matanya yang sipit dan bermanik hitam, mulai sibuk mengamati suasana di sekitar. *** Murni tersentak dan langsung menghentikan langkahnya, ketika ia sampai di lantai dua selaku lantai keberadaan kamar Fina dan Rafael. Wanita paruh baya itu menatap tak percaya Rafael yang sedang kerepotan mengumpulkan keperluan menyiapkan ASIP yang menghiasi meja keluarga di sana. Ada teremos kecil, dot bayi, berikut saset ASI yang sepertinya baru diambil dari kulkas. Rafael menuangkan saset ASI dengan hati-hati ke dot bayi yang ditaruhnya di meja, kemudian menutup dot tersebut dan terakhir memasukkannya pada mangkuk rendam. Rafael menuangkan air dari teremos kecil ke dalam mangkuk berisi dot bayi ASI, dan kemudian membiarkannya. Rafael mengembuskan napas panjang seiring buih keringat yang sampai menghiasi wajah dan sekitar lehernya, seiring pria itu yang berangsur duduk di sofa sambil terus mengangguk-angguk mengajak Bubu berkomunikasi. “Memangnya si Fina ke mana?” pikir Murni yang sengaja tidak menyapa Rafael, terlepas dari Rafael yang memang tidak menyadari keberadaan sang ibu mertua. Murni memutuskan untuk memastikan Fina. Wanita itu berpikir, apakah Fina sedang sibuk, atau malah Fina sedang tidak enak badan? Dan sepanjang perjalanan menuju kamar sang anak, Murni mendengar Rafael menyetel acara Ipul. “Talak Show bersama Ipul Mai Oli Wan!” Dan yang membuat Murni tak percaya, Bubu langsung menangis setelah mendengar itu. “Sttt sstt ... sttt ... kamu enggak suka, ya? Iya sayang ... sayang ... kita cari acara lain. Lagu anak, ya? Apa ya? Bentar, ya, Papah pilih!” ucap Rafael dari depan sana dan terdengar panik. Murni yang sudah memegang gagang pintu kamar Fina, sampai mengulum bibirnya demi menahan tawa. “Masa iya, Bubu takut sama Ipul?” batinnya. Ketika membuka pintu dan kemudian memasuki kamar Fina yang terbilang sangat sepi bahkan sunyi, Murni dibuat syok lantaran Fina sedang tertidur pulas. Benar-benar tidur pulas tanpa ada tanda-tanda Fina sakit, apalagi putrinya itu juga sampai mendengkur. “Ya Alloh, Fina? Suami baru pulang kerja, ini sudah mau mahrib, lah kok malah tidur?” gumam Murni sambil menggeleng tak habis pikir, terlepas dari ia yang juga sampai mengelus d**a. Murni segera membangunkan Fina. Ia menepuk-nepuk pelan pipi sang putri beberapa. “Fina ... Fina, bangun, Fin?” Fina terbangun di tengah kenyataannya yang masih linglung. “Bu? Ada apa?” tanya Fina dengan kedua mata yang masih setengah terpejam. Fina bahkan sampai mengulet dan kemudian menggelinding ke sisi sebelahnya dan biasanya menjadi tempat Rafael tidur. “Ya ampun, anak ini! Ini sudah mau mahrib, dan Rafael sudah pulang, Fin! Kalau kamu memang butuh bantuan buat jaga Bubu, kamu kan bisa panggil Ibu!” omel Murni. Fina yang masih lesu berangsur duduk. “Rafael sudah pulang, Bu?” tanyanya memastikan sambil menatap Murni dengan cukup serius. “Iya,” balas Murni masih cukup kesal. “Ya sudah. Aku mau nyamperin Rafael dulu, Bu,” ucap Fina sambil melakukan peregangan tangan berikut punggung. “Coba katakan ke Ibu, anakmu ke mana? Kamu ingat, enggak, kalau kamu sudah punya anak?” tahan Murni masih mengomel. Fina langsung diam kebingungan. Akan tetapi, otaknya langsung mencoba mencerna maksud Murni terlepas dari Fina yang memang lupa jika dirinya sudah melahirkan dan membuatnya memiliki anak. Barulah, ketika satumenit berlalu, Fina yang terlihat syok langsung memastikan ranjang bayi di sebelah Murni dan ternyata dalam keadaan kosong. Tak ada bayi di sana. Bayi yang tidaklah lain anak Fina! Bubu, di mana bayi itu?! “Ya ampun, Bu! Bubu ke mana? Aku lupa kalau sekarang sudah ada dia! Aku ingetnya dia masih di perut. Ya Alloh!” "Padahal baru aku tinggal tidur bentar. Masa iya aku amnesia enggak ingat anakku sendiri?!" racau Fina yang menjadi kocar-kacir. "Kayaknya, aku butuh piknik, deh!" “Ya ampun, Fin ... Fin ... kamu ini ada-ada saja. Sudah sana ke ruang keluarga di luar. Bubu sama Rafael. Suami baru pulang kerja capek-capek, itu kerepotan momong dan sampai nyiapin ASI sendiri! Mana belum dimandiin lagi si Bubu!” omel Murni lagi sambil melepas kepergian Fina yang sampai lari. “Eh, enak saja. Bubu sudah aku mandiin, kok, Bu. Tinggal aku yang belum mandi, soalnya tadi pas aku cari Ibu, kata Mbak-nya, Ibu lagi sholat!” tepis Fina sambil terus berlari. Ketika Fina berhasil keluar kamar dan mendapati kepala Rafael bersandar pada sofa panjang di ruang keluarga, Fina sengaja memelankan langkahnya. Fina bahkan sengaja berhenti melangkah dan kemudian berangsur membenarkan asal tampilannya. Tak sekadar membenarkan posisi jilbab cokelat s**u yang dikenakan, melainkan sekitar mata berikut mulutnya, sebelum akhirnya ia menghampiri Rafael. Namun, Fina tak lantas muncul di hadapan Rafael, melainkan merengkuh kepala Rafael dari balik sofa, lengkap dengan melayangkan kecupan di ubun-ubun pria itu. Di mana tak lama kemudian, Rafael langsung menengadah dan membuatnya mendapati wajah Fina ada di atas wajahnya. “Sudah bangun?” tanya Rafael. Fina mengangguk-angguk dan kemudian berlalu memutari sofa keberadaan Rafael. Ia mendapati dot s**u yang sudah tandas isinya, selain mangkuk dan seperangkat menyiapkan ASIP yang berantakan di meja depan Rafael. Selain itu, di sebelah tangan Rafael, Bubu juga sedang tiduran sambil menyimak video lagu anak di internet, melalui ponsel Rafael yang Rafael kendalikan menggunakan sebelah tangan yang tak menahan Bubu. Terlepas dari itu, Bubu juga menyimak dengan sangat serius pada layar ponsel Rafael. “Masih bayi, lho, Pah! Sudah diajari main ponsel!” protes Fina yang kemudian mengambil alih ponsel Rafael dan berakhir dengan menangisnya Bubu. “Tuh kan nangis lagi. Ya sudah, biarin saja. Biar anteng,” ujar Rafael. “Enggak usah parnoan begitu, dikit-dikit enggak boleh. Kan asal enggak berlebihan.” Fina tetap mematikan video di ponsel Rafael, kemudian menyimpannya di meja. “Sudah ... sudah. Sama Mamah ya. Jangan main ponsel, nanti juga ada waktunya.” Fina mengambil alih Bubu dari Rafael dan kemudian menimang-nimang bocah itu. Dan lantaran Bubu tetap menangis, Rafael yang tidak tega pun, tidak bisa tinggal diam. Rafael beranjak dari duduknya dan kemudian meraih ponselnya. “Sayang ... sayang ... bentar, bentar kita nonton lagi,” ucap Rafael mencoba menenangkan Bubu. “Enggak, Pah. Ini mau aku susui saja. Lagian kasihan matanya. Kalau lagu sih enggak apa-apa, asal jangan kenceng-kenceng. Sudah diputar saja videonya, tapi jangan dekat-dekat,” ujar Fina yang bersiap menyusui Bubu. Rafael mendengkus pasrah. “Tapi kalau ujung-ujungnya nangis, apalagi ini sudah mau maghrib, kita pakai caraku saja, ya. Biar Bubu lihat video, asal enggak berlebihan. Dibatesi, kok.” “Dibatesi, tapi kalau Bubu tetap rewel, tetap dilanjut? Aku tahu kamu enggak mungkin tega lihat Bubu nangis,” tebak Fina dan langsung membuat Rafael refleks menelan ludah lantaran apa yang istrinya tegaskan memang benar. “Perbedaan sayang sama jahat, sangat tipis, lho, Pah! Sayang kalau terlalu manjaiin, bisa bikin orang yang dimanjain, jadi ngelunjak bahkan enggak tahu diri!” “Kayak awal-awal hubungan Sandy sama Sunny! Sandy enggak bisa tegas ke bibinya, hanya karena Sandy enggak tega dan enggak mau melukai keluarganya. Tapi apa? Si Bibi Sandy ini sampai tega biarin pria sentuh-sentuh Sunny, dan Sunny jadi bahan tontonan, pelecehan berencana pokoknya!” “Bahkan rumah Sandy sampai diambil alih sama si bibi ini! Terakhir, Sunny nyaris keguguran!” Fina bertutur dengan emosi yang meluap. Karena ketika membahas memanjakan berikut sifat tidak tega, yang ada dalam ingatannya hanyalah mengenai hubungan Sunny dan Sandy. Hingga detik ini, Fina memang memiliki hubungan yang baik dengan Sunny. Ia dan Sunny merupakan teman baik tak ubahnya hubungan Sandy dan Rafael. Di mana, Fina dan Sunny juga tak segan untuk saling berbagi walau hanya melalui saran dan masukan, mengenai kehidupan termasuk rumah tangga. Fina mengangguk-angguk. “Kamu kenal, ya, sama Bibi Sandy?” balasnya sambil menatap Rafael. Rafael terdiam bingung. Ia menatap tak percaya Fina seiring jemarinya yang menekan tombol aktivasi ponsel, hingga layar ponselnya menjadi gelap. “Kok gitu? Bibi, ... Bianca, bukan?” tanyanya lirih sambil duduk di sebelah sang istri. “Ya iya. Siapa lagi. Keluarga Sandy kan memang hanya tinggal si bibi ini?” balas Fina yang sempat mengangguk membenarkan anggapan Rafael. Rafael mengangguk-angguk seiring ia yang menghela napas dalam. “Sandy jadi orang memang baik banget. Enggak pernah perhitungan pokoknya. Namun masalahnya, dia juga enggak bisa tegas. Dari awal pas aku tahu keadaan dalam keluarganya; dari dia yang harus mengambil alih tanggung jawab keluarga, aku sudah kasih dia saran, buat ajak anak bibinya ini mulai mengenal pekerjaan. Masa iya, Sandy tetap membiayai semuanya, dari masalah rumah tangga, pendidikan, ya semuanyalah. Harusnya kalau dia bisa atur, dia sudah bisa buka banyak cabang.” Memikirkan cara pikir Sandy, Rafael menjadi merasa sesak sekaligus bingung sendiri. “Untungnya sekarang Sandy sudah ngerti. Bersama Sunny, usahanya makin maju,” racau Fina dan sukses membuat Rafael tersenyum geli. “Gitu-gitu, dulu juga ada yang ngefans berat sama Sandy. Bu, kamu tahu juga, enggak? Dulu Mamah ngefans berat sama Om Sandy!” ujar Rafael yang sengaja menyindir Fina. “Masalahnya kan beda,” elak Fina sambil menatap sebal Rafael. Rafael hanya mesem sambil mengangguk-angguk seiring sebelah tangannya yang sibuk mengelus kepala Fina. “Sampai kapan pun, suamiku yang terbaik!” ucap Fina kemudian seiring ia yang menyandarkan kepalanya ke sebelah pundak Rafael. Rafael tersenyum bangga sambil mengangguk-angguk santai, seiring sebelah tangannya yang semakin sibuk mengelus kepala Fina. Hanya saja, karena ponselnya mendadak berdering dan ternyata itu merupakan dering tanda panggilan video masuk dari Rena, Rafael pun langsung menjawabnya. Namun, siapa sangka, wajah yang Rafael dapati justru wajah Ipul. “Aku hampir mati muda gara-gara lihat wajah kamu, Pul!” semprot Rafael yang memang langsung syok. Rafael sampai mengelus d**a sambil sesekali menghela napas pelan. “Lho ... apa salahku?” balas Ipul kebingungan. Tak ada hujan tak ada angin, tiba-tiba Bubu menangis kencang tepat setelah Ipul bersuara. Fina dan Rafael langsung bingung karenanya, padahal awalnya, Bubu sedang menete dan nyaris kembali tidur. “Serius, Pul. Anakku takut sama kamu! Dari tadi lihat acara Talak Showmu saja, langsung nangis kejer!” omel Rafael sengaja menjauh dari Fina, lantaran istrinya itu sudah telanjur mengusirnya, sambil terus menimang-nimang Bubu. Fina sibuk menimang-nimang Bubu agar bocah itu kembali tenang. “Ya ampun, Bu ... ini anker lho, Anker Ipul!” ujar Ipul dari seberang. “Beb, bukan Anker, tapi uncle!” tegur Rena yang kemudian mengambil alih ponselnya. Murni yang baru datang sambil membawa ranjang pakaian kotor khusus milik Bubu, jadi ikut syok. Rafael sibuk di lorong sebelah tepat di depan pintu kamar Rina yang masih tertutup rapat, sedangkan di sekitar sofa, Fina sibuk menenangkan Bubu yang menangis. Murni dapati, Rafael yang sepertinya sedang menerima telepon video dari Rena. Murni yakin itu, lantaran selain ia yang mendengar suara Rena, mana mungkin Rafael menelepon lebih dulu, sedangkan Bubu mendadak terdengar menangis. “Sini ... sini, sama Mbah yah ... kok nangis, sih? Dengerin adzan saja, yuk? Yuk dengerin adzan, yuk?” bujuk Murni yang kemudian mengambil alih Bubu. “Si Bubu langsung nangis gara-gara dengar suara Ipul, Bu!” ucap Rina yang masih tidak percaya kenapa anaknya sampai menangis ketakutan hanya karena mendengar suara Ipul. “Mungkin karena si Ipul ngomongnya teriak-teriak, Bubunya jadi takut dan mikirnya dibentak-bentak?” balas Murni sambil terus menimang Bubu. “Entahlah ... bingung aku,” balas Fina masih merasa tak habis pikir dan untungnya, Bubu sudah mulai kembali tenang. “Ya sudah, kamu mandi dulu, biar Bubu sama Ibu,” balas Murni. “Bentar, Bu. Nunggu beres adzan,” balas Fina sambil membereskan seperangkat dot di meja. “Oh, iya, ya ... masih adzan. Ya sudah Bu, ayo kita ambil embanan, biar kamu lebih nyaman.” Fina melepas kepergian Murni yang membawa Bubu ke kamar dan sepertinya memang akan mengambil embanan. Sedangkan ketika Fina mengalihkan tatapannya kepada Rafael, suaminya itu sedang berbincang cukup serius dengan Ipul dan Rena. Dan sepertinya memang ada hal serius yang sedang dibahas keduanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN