Kana menghela nafasnya beberapa kali untuk menenangkan perasaannya. Senin pagi ini dirinya sudah sampai di kantor setelah dua hari mengurung diri dikamar karena merasa perasaannya sedang tidak enak.
Setelah memergoki kedatangan Hera ke hotel untuk menemui Jiyo, keesokan paginya Kana segera check out tanpa berpamitan pada Jiyo. Jiyo sempat menghubunginya berkali-kali tetapi kali ini Kana tengah tak sanggup mengangkat telepon dari atasannya. Ia merasa marah dan patah hati.
Mengurung diri dikamar untuk melampiaskan rasa sedihnya, membuatnya sadar bahwa perasaannya pada si bos hanya karena terbawa suasana. Jiyo memang selalu baik pada semua perempuan. Apalagi sudah beberapa kali Kana juga memergoki sikap mesra Jiyo pada Hera, seharusnya ia sadar apa yang dilakukan Jiyo padanya hanyalah bersikap baik, bukan memiliki perasaan lebih.
Kini ia harus kembali bekerja secara profesional dan menghadapi Jiyo dengan semua perasaan patah hatinya. Lagi-lagi Kana menghembuskan nafas panjang sambil menatap keluar jendela sebelum ia berdiri membawa berkas menuju ruangan Jiyo untuk bekerja seperti biasa.
“Pagi pak,” sapa Kana setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk. Jiyo hanya mengangguk saat melihat Kana masuk menghampiri dirinya dan kembali sibuk berhitung di depan laptopnya.
Sekilas Jiyo melihat raut wajah Kana tampak santai seperti biasanya, seolah tak ada apa-apa.
“Kita meeting internal pukul berapa?” tanya Jiyo tanpa melihat Kana yang tengah membuatkan kopi untuknya.
“30 menit lagi pak,” jawab Kana pendek sambil berjalan menghampiri Jiyo dan meletakan secangkir kopi hitam yang panas di dekat atasannya.
Tiba-tiba matanya tertuju pada koper hitam milik Jiyo yang berada di dekat meja, koper yang sama dengan yang Jiyo bawa ke Bandung. Melihat koper itu Kana menduga bahwa atasannya baru sampai dari Bandung dan langsung ke kantor.
Melihat Kana memperhatikan kopernya, Jiyo segera menghentikan aktivitasnya dan bergerak mendekati Kana,
“Kana…”
“Saya ke ruang meeting dulu ya pak, mau siapin materi meeting bapak,” ucap Kana cepat seolah tak mendengar panggilan Jiyo dan segera berjalan hendak meninggalkan ruangan.
“Tunggu!” panggil Jiyo cepat.
Tiba-tiba pria itu berdiri dan membuka koper hitam itu dengan sedikit kesal, lalu memberikan sebuah gumpalan pakaian ke tangan Kana.
“Ini kemejaku yang terkena lipstik kamu! Tolong dicuci nodanya sampai bersih! Jangan masuk laundry, cukup cuci dengan tangan biar kemejaku tak rusak dan berbulu. Ini kemeja kesukaanku, jadi aku harap nanti malam sudah ada dirumah sehingga aku bisa menggunakannya besok,” ucap Jiyo tampak sedikit kesal.
Kana hanya bisa menundukan kepalanya dan mengangguk seraya menjawab lirih,
“Baik bapak,” jawab Kana lalu dia berjalan memeluk kemeja itu meninggalkan ruangan Jiyo.
Jiyo hanya bisa mengepalkan tangannya sesaat karena merasa kesal sendiri melihat Kana tak berekspresi dan kembali menutup dirinya. Ia juga merasa kesal karena Kana check out tanpa berpamitan pada dirinya, bahkan dua hari ini tak bisa dihubungi.
Kini gadis itu datang kembali seperti semula dengan sedikit kata dan menjaga jarak dengannya. Jiyo melemparkan pulpennya keatas meja. Seharusnya ia tak perlu peduli dengan apa yang dipikirkan Kana ketika melihatnya bersama Hera, tapi Jiyo tak bisa membohongi hatinya bahwa ia sedikit terganggu melihat sikap Kana yang kembali menjauhi dirinya.
Sedangkan diluar ruangan Kana tengah berjalan dengan wajah murung. Perasaannya terasa tak enak setelah ditegur Jiyo soal kemeja yang terkena lipstick Kana.
“Hei, kok cemberut pagi-pagi?” sapa Karina tiba-tiba menahan langkah Kana yang akan kembali ke ruangannya.
“Apaan tuh yang di untel -untel?” tanya Karina lagi memperhatikan gumpalan kain di tangan Kana.
“Kemeja nya pak Jiyo, minta dibersihkan,” jawab Kana singkat tak bersemangat.
“Kemarin kamu cantik banget! Pak Jiyo kirim foto kamu dengan gaun itu, pilihanku bagus bukan?!” ucap Karina bersemangat dan bangga pada dirinya sendiri karena bisa mengubah tampilan Kana kemarin.
Kana hanya bisa mengangguk dan mengucapkan terimakasih. Ia merasa tak bersemangat walau Karina memuji terus menerus kecantikannya.
“Apalah arti cantik, jika tak jadi pilihan mbak,” gumam Kana sambil melengos pergi tak semangat mendengar ocehan Karina.
Langkahnya terhenti saat melihat Hera juga baru sampai dan baru masuk ke dalam ruangan kerja mereka sambil menyeret koper. Pandangan kedua perempuan itu bertemu dan Kana segera tersenyum pada Hera dengan tulus sebelum ia kembali ke tempat duduknya. Kana merasa seharusnya ia tak perlu heran jika melihat Jiyo dan Hera melakukan hal yang sama, toh ini bukan pertama kalinya.
“Kana ….” panggil Hera perlahan.
“Iya mbak?”
“Aku butuh bicara berdua sama kamu, ada yang perlu aku jelaskan soal aku dan pak Jiyo,” bisik Hera perlahan.
Kana segera tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Udah, mbak Hera tenang saja. Aku gak akan cerita sama siapa-siapa kok. Rahasia kalian aman bersamaku,” jawab Kana tulus.
“Bukan begitu … aku …” ucapan Hera terhenti saat semua orang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan untuk bersiap meeting internal.
Kana segera bergegas untuk kembali bekerja dan memilih untuk duduk di dekat Mahesa ketika Jiyo memanggilnya untuk duduk disampingnya dan berpura-pura tak mendengar panggilan Jiyo.
Saat meeting berlangsung, tiba-tiba ada sebuah pesan masuk ke dalam handphone Kana.
“Kenapa kamu?” isi pesan itu yang berasal dari Mahesa.
“Kenapa apanya?” balas Kana.
“Hari ini terlihat murung banget, kamu sakit lagi?”
“Nggak kok pak … saya sehat, cuma lagi lelah saja karena kemarin dari luar kota.”
“Mau makan siang bersama?”
Ajakan Mahesa membuat Kana menoleh pada pria yang duduk disebelahnya itu dan gadis itu segera mendelikkan matanya tajam.
“Nggak!” balas Kana sebal.
“Galak amat,” balas Mahesa lagi sambil tersenyum dikasih delikan maut oleh Kana.
Kana hanya diam dan tak membalas pesan dari Mahesa lagi. Ia kembali fokus kepada pekerjaannya. Sedangkan Jiyo bisa merasakan ada komunikasi yang berbeda antara Mahesa dan Kana.
Kana segera membereskan meja saat meeting selesai, dan disaat yang sama Jiyo menghampiri dirinya seraya berkata,
“Pokoknya malam ini kemeja itu sudah harus ada dirumah,” ucap Jiyo di telinga Kana.
“Iya bapak … sore nanti sudah pasti aku titip pak Idrus buat diantar kerumah bapak dalam keadaan kering dan bersih,” jawab Kana frustasi dengan sikap Jiyo yang tak sabaran.
“Nggak, aku gak mau pak Idrus yang antar! Harus kamu! Dan kamu harus tunggu sampai aku datang dirumah, biar aku cek kemeja itu sudah bersih atau belum,” ucap Jiyo tegas sebelum meninggalkan Kana yang mulai merengut.
Kana kembali duduk di tempat duduknya dan menatap gumpalan kemeja yang masih ia gulung. Dengan lemas Kan menjatuhkan keningnya keatas kemeja itu dan kembali tercium aroma wangi parfum Jiyo yang masih menempel disana.
Kana sadar, sikap Jiyo yang random hari ini sebenarnya untuk meminta waktunya untuk menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya dan Hera. Kana kembali menegakan kepalanya dan mengusap kemeja itu perlahan.
Hanya dalam 3 hari, atasannya itu bisa meluluhkan perasaannya sampai ia merasa patah hati seperti ini membuat Kana sadar bahwa ia harus semakin menjaga jarak pada Jiyo agar tak lagi tenggelam dalam pesonanya.
Sejak sore, Jiyo sudah meninggalkan kantor karena ada meeting dengan temannya. Walau begitu, pria itu masih sempat mengingatkan Kana untuk tetap datang kerumah membawa kemeja miliknya.
Kini kemeja itu sudah bersih, karena Kana memasukkannya ke laundry express yang berada di komplek perkantoran mereka dan tengah menggantungnya di tembok agar ia bisa antar selesai kerja nanti.
Kana baru saja membereskan barang-barangnya dan bersiap untuk pulang ketika Hera menghampiri dirinya ke cubicle.
“Itu kemeja mas Jiyo bukan? Eh, pak Jiyo…” tanya Hera perlahan.
“Iya mbak, ini kemeja mas Jiyonya mbak … “ goda Kana sambil tersenyum.
“Kamu mau kerumah dia hari ini?” tanya Hera sedikit merasa lega melihat senyuman dari wajah Kana, seolah kode untuk dirinya bisa lebih terbuka untuk hubungannya dengan Jiyo.
Ditanya seperti itu Kana hanya mengangguk dan segera mengambil kemeja yang ia gantung.
“Mau aku antar? Hari ini aku bawa mobil,” ucap Hera menawarkan diri. Kana hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
“Nggak usah mbak, rumah pak Jiyo searah dengan rumahku sedangkan rumah mbak Hera arah sebaliknya. Aku hanya akan mengantarkan ini dan menitipkannya ke security, pak Jiyo mungkin tak ada dirumah karena tadi dia bilang mau meeting sekalian makan malam bersama teman-temannya,” ucap Kana menjelaskan seolah tahu tentang keinginan Hera yang ingin bertemu Jiyo.
“Baiklah,” jawab Hera lalu meninggalkan Kana sendiri. Kana segera turun menuju lobby saat pak Idrus memanggilnya.
“Ayo mbak saya antar, kata pak Jiyo mbak Kana mau kerumah bapak jadi saya disuruh jemput,” ucap pak Idrus sambil membukakan pintu belakang untuk Kana.
Kana hanya menghela nafas panjang, kali ini ia benar-benar harus menghadapi Jiyo.
Sesampainya dirumah Jiyo, Kana disuruh menunggu di ruangan kerja Jiyo. Baru saja ia duduk tiba-tiba pintu ruangan kerja itu terbuka dan Jiyo masuk dengan pakaian casual dengan rambut tanpa pomade tak seperti biasanya.
“Loh, bapak dirumah? Bukannya tadi katanya bapak mau meeting?” tanya Kana terkejut dengan penampilan Jiyo yang santai.
“Iya, aku memang mau meeting … meeting sama kamu …”
Mendengar ucapan Jiyo, Kana hanya menghela nafasnya lalu mengambil plastik laundry dan memberikannya pada Jiyo.
“Saya gak bisa nyucinya pak, jadi berantakan … jadi saya masukin laundry tetapi kali ini kemejanya sudah bersih,” ucap Kana langsung membahas tujuan kedatangannya.
Jiyo hanya diam dan meletakan plastik laundry yang diberikan Kana padanya. Tiba-tiba Jiyo memberikan sebuah paperbag pada Kana.
“Ini buat kamu,” ucap Jiyo sambil meletakan paperbag itu ditangan Kana. Kana termenung dan melihat di dalamnya ada dua botol parfum. Satu parfum yang sama yang diberikan Elena padanya satu lagi parfum lain dengan merk mahal lainnya.
“Maaf yang ini sudah saya buka, saya cuma mau cek wanginya sama dengan seperti yang kamu pakai atau nggak,” ucap Jiyo lembut sambil mengambil parfum yang sama dengan yang diberikan Elena dan membuka kotaknya lalu menyibak rambut Kana perlahan dan menyemprotkannya di leher gadis itu perlahan.
Setelah membeli parfum itu, Jiyo masih ingat sengaja membukanya dan mencoba menyemprotkannya pada Hera. Saat mereka bermesraan Jiyo merasa aroma yang muncul berbeda dengan aroma yang ia hirup dari tubuh Kana. Ia merasa hanya Kana yang cocok menggunakan parfum itu.
Jiyo memejamkan matanya dan menghirup aroma wangi dari leher Kana, sedangkan gadis itu diam mematung juga memejamkan matanya untuk menenangkan diri dari sikap Jiyo yang membuat jantungnya hampir lepas.
“Bapak kasih saya parfum supaya saya gak cerita sama orang lain hubungan bapak dengan mbak Hera, bukan?” ucap Kana perlahan mencoba kembali ke bumi sebelum ia kembali terlena akan sikap Jiyo.
Jiyo terdiam dan menatap gadis yang berdiri dekat di depannya, perlahan ia menyentuh rambut Kana lembut karena tak tahan ingin menyentuhnya. Sedangkan Kana hanya bisa menundukan kepalanya tak kuasa untuk menatap kearah Jiyo.
“Bapak tenang saja dan tak perlu memberikan barang-barang seperti ini untuk saya agar saya gak cerita sama orang lain soal hubungan bapak, saya gak akan cerita kok pak,” ucap Kana mencoba untuk fokus dengan tujuannya datang.
“Tidak, saya berikan kamu parfum-parfum itu karena buatku kamu paling cocok dengan wanginya. Lembut dan menenangkan.”
“Bapak gak boleh bersikap seperti ini sama saya, nanti saya salah paham pak…”
“Kana…”
“Bapak gak boleh berikan saya apa-apa lagi, karena saya karyawan bapak di kantor. Apalagi bapak sedang menjalin hubungan dengan mbak Hera, takutnya dia salah paham dengan semua pemberian bapak pada saya. Dia gak pernah tahu bahwa pemberian ini sebenarnya untuk melindungi mbak Hera dari gosip yang mungkin bisa saya timbulkan…”
“Kana, dengarkan aku …”
“Saya pamit ya pak … sampai ketemu lagi dikantor …”
“Kana, bisakah kamu bersikap santai padaku?! Kenapa sulit sekali untuk bisa bicara denganmu?!” ucap Jiyo sambil menarik tangan Kana sehingga gadis itu menabrak d**a Jiyo dan membuat Jiyo memeluknya erat.
Dada Kana terasa sesak, dipeluk Jiyo mengacaukan perasaannya. Perlahan ia segera melepaskan pelukan atasannya itu tetapi Jiyo semakin memeluknya erat dan mengelus punggungnya perlahan.
“Tenanglah …,” bisik Jiyo perlahan. Kana hanya bisa menyimpan tangannya di d**a untuk memberikan jarak antara dirinya dan Jiyo sambil menutup mata menahan rasa sedihnya.
“Saya memang sedang dekat dengan Hera, tetapi kami belum meresmikan hubungan kami karena masih banyak hal-hal lain yang harus aku pikirkan. Saya memberikan parfum itu bukan karena untuk menyuap mu seperti tante Elena lakukan, tapi saya suka saat aroma itu menempel di tubuhmu. Rasanya menenangkan,” bisik Jiyo sembari merasa lega karena akhirnya ia bisa memeluk Kana.
“3 Hari kemarin rasanya senang bisa melihat Kana yang sebenarnya, dan aku ingin melihat itu setiap hari jika bertemu kamu. Aku ingin jika kita berbicara tak perlu lagi menggunakan kata saya, tetapi aku ingin berbicara dengan kalimat kamu, aku seperti yang kamu lakukan dengan orang lain, Kana,” bisik Jiyo.
“Aku tak ingin kamu menjaga jarak lagi, sedangkan kemarin hubungan kita sudah sangat baik,” bisik Jiyo sembari menyentuh dagu Kana agar menatap wajahnya.
Kana memalingkan muka dan mendorong Jiyo sehingga pelukan mereka terlepas.
“Saya gak mau temenan sama bapak dan saya akan selalu jaga jarak sama bapak.”
“Kana…”
Kana segera berjalan menuju sofa untuk menyambar tasnya.
“Saya pamit ya pak …” ucap Kana cepat sambil menundukan pandangannya.
“Bawa parfum ini!” suruh Jiyo sambil meletakan kembali paperbag berisi parfum itu ditangan Kana.
“Saya gak bisa…”
“Terima saja! Karena kamu tak ingin berteman denganku, baiklah! Kita akan selalu bersikap seperti atasan dan bawahan! Bawa parfum itu dan kenakan setiap hari! Ini bukan permintaan tetapi perintah! Ngerti kamu?!”
Kana segera mengangguk cepat, ia cukup terkejut dengan perubahan sikap Jiyo yang mendadak keras padanya. Kana pun segera pamit dan meninggalkan Jiyo di ruangan kerjanya seorang diri. Melihat Kana yang bersikeras tak ingin didekati olehnya membuat perasaan Jiyo gusar.
“Kenapa? Kamu takut jatuh cinta padaku, Kana? Baiklah, akan aku buat ketakutanmu jadi kenyataan!” gumam Jiyo perlahan sambil menatap Kana yang tengah berjalan setengah berlari meninggalkan kediamannya.
Bersambung.