Hembusan napasnya terdengar cukup berat tertangkap dalam indera pendengaran Kanae sendiri ketika gadis itu akhirnya perlahan mulai membuka kedua mata. Sinar mentari yang cukup terang langsung tertangkap pada retinanya dan membuat gadis itu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali untuk menyesuaikan diri pada keadaan di sekitar.
Tubuhnya masih terasa begitu berat untuk digerakkan namun saat ini bukan itu yang ada di pikiran Kanae ketika dirinya baru menyadari sesuatu yang tidak biasa. Langit-langit pesawat yang sedari tadi tengah ditumpanginya kini telah berubah menjadi jauh lebih luas dan berbeda. Kanae langsung mengedarkan pandangan matanya dan memastikan bahwa perkiraannya adalah benar.
Mereka telah sampai di Jepang di saat dirinya tengah tidak sadarkan diri di pesawat tadi. Bagaimana bisa Kanae tidak menyadari bahwa dirinya telah dipindahkan ke tempat baru seperti ini? Kanae menghela napas panjang menyadari ketidak hati-hatiannya dalam menjaga diri.
“Sejak kapan aku berada di sini?” gumam Kanae dengan wajah bingung. Mata bulatnya masih memerhatikan ruangan kamar yang ditempatinya kini. Nampak mewah dan luas, dan yang terpenting adalah tidak ada siapa pun yang berada di sisinya.
Kanae mengangkat satu tangannya berniat untuk menyibak poni rambutnya yang terasa lengket karena keringat yang muncul di sekitar dahinya. Lalu sekali lagi dirinya tersadar bahwa ada selang infus yang menempel di sana. Membuat gadis itu tertegun melihatnya. Mata Kanae menelusuri selang infus itu dan melihat bungkusan cairan yang menggantung di sisi ranjangnya. Sepertinya memang dirinya cukup lemah sampai mendapat suntikan infus itu.
“Hahh ini bukan saatnya aku berbaring lemah seperti ini. Apa yang harus kulakukan untuk bisa pergi dari sini?” tanya Kanae pada diri sendiri. Gadis itu mencoba mendudukkan diri dengan penuh usaha keras karena tubuh kecilnya yang masih terasa begitu berat.
Pergerakan kecil pada tangannya membuat suntikan infus yang menancap di sana menimbulkan rasa linu. Kanae beralh menyibak poni rambutnya yang terurai bebas ke belakang dengan satu tangan lainnya. Mata bulat itu beralih memerhatikan ruangan tersebut lebih detail. Penampilannya elegan dengan korden jendela yang lebar dan berlapis khas kamar mewah biasanya.
Jangan lupakan beberapa barang elektronik yang terlihat mahal sudah terpasang di beberapa bagian. Televisi berukuran besar tepat berada di seberang ranjangnya. Sekali lagi semua terlihat mewah di mata Kanae. Hanya satu yang kurang. Di mana pun mata memandang, Kanae tidak bisa melihat ponsel atau telepon rumah yang terpasang di sana. Seolah mereka sengaja menjauhkan benda itu darinya.
Meski begitu Kanae yakin bahwa di luar kamar pasti ada benda yang akan bisa membantunya mengontak seorang kenalan di Indonesia. Melihat sinar mentari yang menembus cukup terang dari sana membuat Kanae bingung. Seharusnya perjalanan pesawat yang dilaluinya membuat mereka sampai di sore hari atau bahkan malam hari. Tapi di luar sana justru terlihat masih cerah.
Mungkinkah hari sudah berganti? Pikiran gadis itu sibuk menebak-nebak apa yang terjadi, hingga gadis itu tidak menyadari bahwa pintu kamar telah terbuka menunjukkan sosok Haru Shima yang berjalan lurus mendekatinya dengan tenang.
“Anda sudah bangun?” Kanae tersentak kaget mendengar suara yang tiba-tiba muncul dalam kamarnya. Gadis itu langsung menoleh ke arah Haru Shima dan detik kemudian memasang pandangan waspada ke arahnya.
“Bagaimana perasaan anda?” tanya pria itu lagi.
“Di mana aku?” tanya Kanae dengan ketus tanpa memedulikan pertanyaan pria itu tadi.
“Ini adalah tempat di mana anda akan tinggal untuk selanjutnya. Kita sudah sampai di Jepang sejak dua hari yang lalu—“
“Dua hari yang lalu?!” pekik Kanae tidak percaya mendengar berita itu. Bukan sehari seperti yang dipikirkannya, namun dirinya telah tertidur sejak dua hari yang lalu?
Aku pasti sudah gila! Kanae mengumpati diri karena telah menurunkan kewaspadaannya sampai sejauh itu. Sementara Haru Shima menatap Kanae dengan lekat setelah gadis itu memotong penjelasannya begitu saja.
“Saya tahu bahwa anda mungkin masih dalam mode berkabung atas meninggalnya orang tua anda. Tapi tidak seharusnya anda membiarkan diri menjadi lemah sampai perlu mendapat infus seperti ini, nona Kanae,” pesan pria itu.
“Bukan urusan kamu,” balas Kanae dengan melempar pandangan tajam. Gadis itu tidak ingin orang asing seperti dia yang telah berani menculiknya ke tempat asing ini berani memberikan wejangan seolah dia adalah orang baik seperti ini.
“Apa yang kau inginkan dariku sebenarnya?” tanya Kanae yang merasa sudah tidak sabar lagi. Belum apa-apa gadis itu sudah merasa ingin pulang ke rumahnya lagi.
“Saya sudah mengatakannya pada anda. Saya ditugaskan untuk membawa anda menemui Tuan Iyoto Matsumoto, yang merupakan kakek anda di Jepang.”
“Di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga!”
Benar. Lebih cepat dirinya bertemu dengan pria yang mengaku kakeknya itu, lebih cepat juga Kanae akan menyelesaikan urusannya di sini dan pulang ke Indonesia. Begitulah isi pikiran Kanae.
“Sayang sekali tidak semudah itu anda bisa bertemu dengannya, nona Kanae,” jawab Haru Shima tanpa disangka. Membuat Kanae menatapnya dnegan wajah bingung.
“Apa? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa pria bernama Iyoto itu yang menyuruhmu membawaku ke sini?”
“Itu benar. Tapi asal anda tahu bahwa Tuan Iyoto Matsumoto itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah orang penting yang tidak mudah ditemui oleh siapa pun tanpa sebuah persiapan diri.”
“Persiapan? Apa yang harus aku persiapkan?”
Kanae tidak mengerti alasan dari seorang Kakek yang begitu sulit untuk ditemui oleh cucunya sendiri bagaimana pun tingginya posisi pria itu, sementara Kakek itu sendiri yang menginginkan pertemuan ini.
“Yang pertama, anda akan perlu mempelajari kosa kata bahasa Jepang terlebih dahulu untuk memudahkan komunikasi di antara kalian. Dan yang kedua, saya akan membawakan seorang guru Etika untuk persiapan pertemuan anda nanti.”
Seketika Kanae terperangah tidak percaya mendengarnya. Guru Etika? Apa dirinya akan bertemu dengan seorang Presiden? Atau seorang Raja?
“Tunggu. Jika memang dibutuhkan untuk berkomunikasi, bukankah kau bisa saja membantuku dengan mengartikan tiap pembicaraan di antara kami? Aku lihat kau juga mengerti bahasa Indonesia, ung ...”
“Shima. Anda bisa panggil saya dengan nama Shima,” sahut pria itu membantu Kanae ketika gadis itu merasa bingung akan memanggilnya dengan nama apa.
“Benar, Shima. Kau hanya perlu tetap di sisiku dan mengartikan tiap pembicaraan di antara kami saja. Lalu guru Etika kau bilang? Untuk apa aku membutuhkan itu? Apa aku akan bertemu dengan seorang Presiden atau seorang Raja? Apa kau pikir aku tidak cukup beretika untuk sekarang?
Justru yang membutuhkan guru Etika itu adalah kalian yang dengan seenaknya saja memasuki rumah orang dan menculik seorang gadis dengan paksa seperti ini!” protes Kanae dengan raut wajah gemas bercampur dengan rasa kesal pada pria itu. Bisa-bisanya pria itu bersikap seolah dirinya anak polos yang menganggap Kanae adalah gadis yang kurang beretika sehingga perlu diberi pelajaran seperti ini. Kanae benar-benar tidak mengerti jalan pikiran pria itu.
“Yang pertama, Nona Kanae, Saya tidak bisa selalu berada di sisi anda dan sepenuhnya mendengarkan pembicaraan di antara kalian, karena saya juga memiliki tugas lain yang perlu saya jaga. Lalu perlu anda ketahui bahwa Tuan Iyoto sangat menjunjung tinggi budaya Jepang. Karena itu anda perlu mempelajari tata krama budaya Jepang terlebih dulu sebelum bertemu dengan beliau. Dan yang terakhir, kami hanya melakukan tugas untuk membawa nona Kanae ke tempat ini. Itu adalah salah nona Kanae sendiri yang tidak ingin bekerja sama dengan kami sehingga saya harus melakukan tugas saya dengan cara paksa.”
Jadi intinya mereka tidak perduli mau aku menerima atau pun menolak ajakan mereka, karena final akhirnya aku akan tetap berada di sini? Kesimpulan yang Kanae dapat dari jawaban Haru Shima itu. Kanae semakin menatap pria itu dengan pandangan sengit.
Namun seolah tidak perduli dengan tatapan sengit yang dilempar Kanae kepadanya, Haru Shima hanya membalas tatapan itu dengan wajah datar. Membuat Kanae semakin merasa geram dalam hati. Akhirnya gadis itu hanya bisa menghela napas pasrah. Kanae tidak tahu bagaimana cara untuk pulang dari negara ini sementara dirinya tidak membawa barang atau pun uang sepeser pun dari rumahnya.
Ditambah lagi melihat bagaimana pria itu memberikan perawatan kesehatan padanya saat ini membuat Kanae berpikir bahwa setidaknya pria itu tidak bermaksud untuk melukainya. Kanae berpikir dirinya hanya perlu untuk bersabar dan mengikuti instruksi yang diberikan pria itu hingga dirinya bisa bertemu dengan pria yang bernama Iyoto tersebut dan meminta untuk mengembalikannya ke tempat asal. Itu adalah satu-satunya cara aman yang bisa dipikirkan Kanae dalam kondisi seperti ini.
“Baiklah. Jadi berapa lama aku harus menunggu untuk bisa bertemu dengan pria itu?”
“Tuan Iyoto, nona Kanae. Beliau adalah Kakek anda, jadi ingatlah untuk memanggil nama tuan Iyoto dengan sopan,” tegur Haru Shima dengan tegas. Kanae hanya melempar raut wajah datar menanggapi teguran itu. Terserah pria itu ingin mengatakan apa kepadanya, yang jelas Kanae hanya ingin mendengar informasi apa yang menurutnya penting saja.
“Jadi?” tanya Kanae sekali lagi.
“Tergantung anda yang melakukannya. Jika anda bisa menyelesaikan semua pelajaran yang dibutuhkan, anda akan bisa bertemu dengan beliau. Dengan kata lain, semakin anda bisa menyelesaikan semua pelajaran itu dengan cepat, maka lebih cepat juga anda bisa bertemu dengan beliau.”
Kanae terperangah tidak percaya untuk ke sekian kali. Itu berarti jika dirinya tidak menyelesaikan semua pelajaran itu, maka entah sampai kapan dirinya akan terkurung di tempat ini. Memikirkan hal itu seketika membuat Kanae bergidik ngeri.
“Hei, aku tidak bisa berada di sini lebih lama! Bagaimana bisa kau mengurungku seperti ini?!” protes Kanae merasa tidak terima.
“Kenapa? Apa anda merasa tidak percaya diri dengan kemampuan otak anda?”
“Apa?!”
Seketika harga diri Kanae merasa tersindir karena ucapan pria itu. Sebaliknya, pria itu diam-diam tersenyum tipis, sangat tipis sampai Kanae tidak menyadari adanya senyum itu jika tidak melihatnya dengan lebih lekat. Haru Shima merasa perkataannnya itu berhasil memancing harga diri Kanae, dan memang itu yang dibutuhkannya untuk menjebak gadis itu mengikuti permainannya.
“Saya cukup banyak melakukan pencarian mengenai data diri anda sebelumnya. Dan saya lihat nilai pendidikan anda cukup mengerikan. Apa itu alasan anda untuk tidak terima dengan persayaratan yang saya ajukan tersebut? Perlu anda ketahui bahwa saya mempelajari bahasa Indonesia dan budayanya hanya dalam waktu Sebulan, sebelum saya datang ke Indonesia untuk menjemput anda. Saya yakin anda bisa melakukan kurang lebih selama itu juga untuk mempelajari bahasa Jepang. Apa harapan saya terlalu tinggi kepada anda?”
Haru Shima terdengar menyombongkan diri ketika mengatakan hal itu pada Kanae. Terlebih pria itu kini secara terang-terangan menunjukkan senyum remehnya pada gadis itu yang jelas membuat Kanae merasa kesal bukan main.
“Bagaimana bisa kau menyuruhku mempelajari bahasa Jepang hanya dalam sebulan?! Apa kau pikir aku gadis jenius huh? Dasar pria gila! Kau pasti hanya membual untuk menipuku bukan?! Mengaku saja kau!” teriak Kanae pada pria itu. Sayangnya semua protesan itu hanya bisa Kanae teriakkan dalam hati tanpa berani mengatakannya secara langsung pada pria itu.
Kanae merasa harga dirinya akan menjadi semakin terluka jika dia tidak henti melempar protes pada pria yang kini tengah melempar pandangan remeh kepadanya ini. Membuat Kanae semakin merasa kesal melihatnya. Hanya sebulan. Jika dalam sebulan itu Kanae benar-benar tekun mempelajari bahsa Jepang, maka mungkin saja Kanae bisa menyelesaikannya dengan tepat.
Kanae adalah gadis yang bisa melakukan sesuatu dengan cepat jika dirinya benar-benar fokus dalam melakukannya. Karena itu, Kanae memiliki rasa percaya diri walau tidak sebanyak itu, bahwa dirinya akan bisa melakukannya.
“Baiklah. Ajarkan aku dengan baik. Aku akan belajar secepat mungkin. Dan setelah itu,” Kanae menunjuk Haru Shima dengan jari telunjuknya, membuat pria itu menatap jari telunjuk Kanae yang mengarah lurus ke arahnya.
“Kau harus menepati janjimu untuk mengembalikan aku ke tempat asalku. Apa kau mengerti itu?!” tegas Kanae memperingati pria itu.
“Saya tidak menjanjikan anda untuk kembali pulang setelah berhasil mempelajari hal itu. Saya hanya menjanjikan jadwal temu anda dengan Tuan Iyoto, Nona Kanae,” balas pria itu membenarkan ucapan Kanae. Membuat gadis itu tidak bisa berkata-kata lagi.
“Terserah!” Kanae membuang muka ke arah lain dengan sengaja mendengus kasar. Melihat Kanae yang terlihat begitu membencinya itu, membuat Haru Shima merasa lucu sekaligus kasihan terhadap Kanae. Kanae tidak pernah tahu apa yang akan dihadapinya nanti setelah bertemu dengan Iyoto Matsumoto, dan Haru Shima tidak berencana mengatakan detailnya pada gadis itu lebih dulu, karena pria itu ingin memanfaatkan keadaan selama Kanae di tempat ini.
Haru Shima ingin mengajarkan budaya dasar pada Kanae sebanyak mungkin untuk bekal gadis itu menetap di Jepang menghadapi budayanya nanti, agar gadis itu bisa berbaur lebih mudah dengan orang-orang sini. Itu juga sekaligus memudahkan tugas Haru Shima dalam mengawasi Kanae, yang telah ditunjuk langsung oleh Tuan Iyoto untuk mengurus kehidupan Kanae di tempat ini nanti.
“Baiklah. Untuk sekarang saya akan memanggil perawat untuk memeriksa kondisi kesehatan anda dan menyuruh pelayan untuk membawakan makanan. Saya harap setelahnya anda bisa beristirahat dan memulihkan diri secepat mungkin sebelum kita memulai jadwal pelajarannya nanti. Selamat siang, Nona Kanae,” pamit Haru Shima undur diri dari Kanae tanpa berniat mendengar jawaban gadis itu lagi.
Kanae hanya menatap pintu yang tertutup kembali setelah pria itu pergi meninggalkan ruangan yang ditempatinya ini. Setelah itu Kanae menghela napas lelah dan panjang. Dirinya tidak tahu apa yang akan terjadi padanya nanti, tapi setidaknya untuk sekarang Kanae perlu melakukan apa pun yang dia bisa untuk bertahan hidup. Hanya itu yang dipikirkan Kanae.
Dengan lemas gadis itu melemparkan punggungnya kembali ke ranjang, dan membiarkan rambut panjangnya terurai berantakan di sekitar bantal. Menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang bercampur aduk sembari menunggu kedatangan Perawat dan Pelayan yang dikatakan Haru Shima tadi.