Ada sesuatu tentang perempuan itu - yang Damian yakin salah. Sesuatu yang membuatnya harus menjauhi perempuan itu - sejauh mungkin.
Entah karena cara perempuan itu menatapnya. Dengan mata besar yang sangat jernih. Damian tak pernah peduli dengan siapapun di sekitarnya, tapi ia tak bisa mengabaikan kehadiran perempuan itu. Bahkan lirikan singkat yang perempuan itu layangkan padanya - membuat tubuh Damian menegang beberapa detik.
Padahal perempuan itu tak secantik wanita-wanita yang pernah bersamanya. Dia bahkan masih sangat muda dan Damian tak pernah tertarik dengan perempuan kecil sepertinya. Tak pernah sedikit pun ia merasa terganggu oleh kehadiran seseorang di sekitarnya. Tapi, perempuan bernama Lara itu tak sama dengan perempuan lain. Damian tak bisa membaca perempuan kecil itu seperti ia membaca orang lain selama ini.
"Kenapa dia masih di sini?" batin Damian ketika melihat perempuan itu masih duduk di kursi kerjanya.
Mendengar langkah suara Damian, perempuan itu tersentak. Bahu kecilnya terangkat dan matanya membuka lebar. Damian menelan ludahnya ketika perempuan itu berdiri dan menatap matanya. Mata perempuan itu terlihat lelah, rambutnya sedikit berantakan, begitu pula dengan pakaian kerjanya.
Perempuan itu memasang wajah datar. Damian menyilangkan tangannya di d**a dan perempuan itu langsung memalingkan matanya dari Damian. Perempuan itu menunduk, tak mengatakan apapun pada Damian. Mungkin karena siang tadi Damian memintanya tak muncul di hadapannya.
Tak ingin terus bersama perempuan itu, Damian keluar dari ruangan itu lebih dulu. Meninggalkan perempuan itu yang sedang membereskan barang-barangnya. Damian masuk ke lift. Ketika perempuan itu berdiri di depan lift, Damian segera menutup pintu lift. Tak ingin satu ruangan dengan perempuan itu.
Damian masuk ke mobilnya lalu mengendarainya keluar gedung kantor itu. Laki-laki itu berhenti di depan kantor, melirik perempuan itu yang kini juga keluar dari kantor. Perempuan itu berjalan kaki di pinggir jalan. Damian pikir perempuan itu akan menghentikan taksi atau naik bus di depan kantor, tapi perempuan itu hanya berjalan lurus. Terlihat tak nyaman dengan sepatu hak tinggi yang ia kenakan.
Damian yakin ia tak ingin berurusan dengan perempuan itu, tapi entah kenapa Damian mengikuti perempuan itu dari belakang. Perempuan itu berjalan cukup lama sampai ia masuk ke sebuah gang kecil yang sangat gelap. Damian tahu daerah itu rawan kejahatan. Semua orang yang tinggal di daerah itu tak ada yang berani melewati gang itu di malam hari.
Tapi kenapa perempuan itu seperti tak peduli dan tetap berjalan masuk ke gang? Kemana sebenarnya perempuan itu pergi?
Mobil Damian sedikit menjauh, takut perempuan itu menyadari kalau ia mengikutinya. Dan ketika Damian ingin pergi karena merasa tindakannya tak masuk akal, laki-laki itu melihat dua orang pria mengikuti perempuan itu dari belakang. Dua pria itu memakai jaket hitam, wajahnya tertutupi oleh sarung kepala, dan Damian melihat salah satu dari mereka membawa pisau. Mereka terlihat seperti perampok yang mengincar tas perempuan itu.
Seperti tahu bahwa ia sedang diikuti, langkah kaki perempuan itu semakin cepat. Damian mencengkeram erat setirnya. Tak tahu kenapa dadanya berdetak sangat cepat.
Apa ia khawatir pada perempuan itu?
Memangnya kenapa jika perempuan itu dirampok? Mereka hanya akan mengambil tasnya. Jika perempuan itu tak melawan, maka ia akan baik-baik saja, kan? Kalau pun perempuan itu terluka, itu bukan urusannya, kan?
Benar. Itu bukan urusannya.
Urusan orang lain tak pernah menjadi urusan Damian.
Damian pun membelokkan mobilnya. Menancap gas mobil sekuat mungkin hingga ia berada di jalan raya kembali. Damian mencengkeram erat setir mobilnya hingga kukunya memutih. Pandangannya tak fokus dan dadanya semakin sesak. Seperti ada yang menggelayutinya di belakang. Laki-laki itu menekan dadanya dan menghentikan mobilnya ketika ia kehilangan napasnya. Damian membuka jendela mobilnya dan menghirup udara sebanyak mungkin.
Dengan napas yang masih sesak, Damian memutar mobilnya dan kembali ke gang tadi. Tangannya bergetar memikirkan apa yang terjadi pada perempuan itu.
"Sialan!" umpatnya ketika menyadari dirinya kembali lagi pada perempuan itu.
Damian turun dari mobilnya ketika melihat dua pria tadi menodongkan pisau pada perempuan itu. Apa yang sebenarnya perempuan itu lakukan? Dia hanya perlu memberikan tasnya dan perampok itu akan pergi. Kenapa perempuan itu mempertahankan tasnya seperti itu adalah nyawanya? Bahkan perempuan itu tak berkedip saat pria di depannya menodongkan pisau tepat di depan wajahnya.
Wajah perempuan itu masih datar. Tak terlihat sedikitpun rasa takut di matanya.
"Hei!" teriak Damian yang membuat dua perampok itu menatapnya.
Salah satu perampok mendekati Damian. "Siapa kau, hah?" tanya perampok itu.
Damian menatap perempuan itu, memastikan ia baik-baik saja. "Kalian ingin uang? Aku bisa memberikan kalian uang," kata Damian.
"Mana uangmu? Kalau kau berani bohong, aku akan memutuskan leher perempuan ini," kata salah satu perampok yang semakin mendekatkan pisaunya pada leher perempuan itu.
Damian pikir perempuan itu akan ketakutan saat pisau itu menempel pada lehernya, tapi tak ada perubahan apapun. Perempuan itu masih menatap datar Damian. Sangat datar hingga membuat tubuh Damian kaku.
Itulah yang salah tentang perempuan itu.
Melihat perempuan itu membuat Damian merasa berkaca. Damian tak bisa membaca perempuan itu, tapi ia tahu perasaan itu. Orang normal tak bisa memasang wajah datar di keadaan seperti sekarang. Perempuan itu jelas bukan orang normal.
Damian segera membuka dompetnya, tapi ia tak menemukan uang cash sama sekali. Hanya ada beberapa kartu kredit di dompetnya. Damian melirik perampok di depannya yang menatapnya tajam.
"Mana uangmu, hah? Kau terlihat seperti orang kaya, tapi tak ada sepeser uang pun di dompetmu! Kau ingin membohongi kami?" bentak perampok di depannya.
Damian menutup dompetnya dan memasukkannya lagi ke saku celananya. Tak ada pilihan lain, mungkin ia harus memakai kekerasan agar perampok itu pergi.
"Kalian pikir perempuan itu memiliki uang? Dilihat dari penampilannya, sudah jelas perempuan itu orang miskin," kata Damian dengan wajah menantang.
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Kau akan melawan kami? Kau tak melihat apa yang kami bawa?" tanya perampok itu sambil menunjuk pisau yang ia bawa.
"Lepaskan perempuan itu dulu," kata Damian setenang mungkin.
Perampok itu melirik jam tangan yang dipakai Damian. "Bagaimana kalau kau serahkan dulu jam tanganmu pada kami? Jam tanganmu terlihat mahal," kata pria itu.
Damian melirik jam tangannya. "Jam tangan ini tak mahal. Aku bisa memberimu jasku, ini lebih mahal daripada jam tanganku," kata Damian.
Dua perampok itu tertawa. "Kau pikir kami bodoh? Aku tak butuh jasmu itu! Kau pikir dimana aku bisa menjual jas mahalmu itu? Lebih baik kau serahkan jam tanganmu sekarang atau aku akan membunuh perempuan itu!" kata perampok itu sambil menunjuk Lara.
Lara berkata pada Damian, "Pak Damian tak perlu melakukan itu." Perempuan itu menatap perampok di depannya dengan tenang. "Kalian ingin tasku, kan? Aku akan memberikannya," kata Lara.
Perampok di depannya tersenyum, "Kenapa tak dari tadi? Tapi bagaimana ini, Cantik? Kami tak tertarik lagi dengan tasmu. Kami lebih tertarik dengan jam tangan kekasihmu itu."
"Dia bukan kekasihku," balas Lara.
"Kau pikir aku peduli?" bentak perampok.
Damian melepas jam tangannya. Dua perampok itu tersenyum penuh kemenangan dan mengambil jam tangan Damian dengan paksa.
"Keputusan yang tepat," kata perampok itu dengan senyum jahat.
Damian menghembuskan napas lega ketika perampok itu menjauhkan pisau dari Lara. Perampok itu sudah berjalan mundur dan akan pergi, tapi tiba-tiba Lara mengejarnya. Damian terkejut melihat perempuan itu dengan berani mengambil jam tangan Damian dari tangan perampok dan menggenggamnya erat-erat. Mereka menodongkan pisaunya lagi pada Lara, tapi perempuan itu bergeming sedikit pun.
"Serahkan jam tangan itu sekarang!" teriak salah satu perampok.
Lara tetap menggenggam erat jam tangan itu. Dan ketik salah satu pria itu membuka pisau lipatnya dan akan menusuk perut Lara, perempuan itu menahannya dengan tangannya. Darah mengalir melalui celah jemari perempuan itu dan Damian hanya berdiri kaku di tempatnya.
Apa yang perempuan itu lakukan?
Beberapa detik berlalu dan Damian masih berdiri di tempatnya. Laki-laki itu tersadar ketika suara sirine polisi terdengar dari kejauhan. Mendengar sirine itu semakin dekat, dua perampok itu langsung pergi dan meninggalkan Lara. Damian segera mendekati perempuan itu. Darah menetes di jalanan dengan deras. Tapi wajah perempuan itu tak terlihat terganggu sama sekali.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Damian dengan kening berkerut.
Perempuan itu meletakkan jam tangan Damian ke tangan laki-laki itu. "Aku tak suka berhutang pada seseorang," kata perempuan itu lalu berbalik pergi.
Damian menahan tangannya. "Mau kemana kau?" tanya Damian.
"Pulang," jawab Lara pendek.
"Kau tak lihat tanganmu berdarah? Kau harus mengobatinya lebih dulu! Ayo, aku antar ke rumah sakit," kata Damian.
Lara menggeleng. "Tak perlu. Rumahku sudah dekat," kata Lara.
Damian tak memedulikan perempuan itu dan menariknya memasuki mobilnya. Damian mendorong Lara masuk ke mobil mewahnya. Laki-laki itu melepaskan dasinya dan memegang tangan Lara yang berdarah. Namun, Lara menjauhkan tangannya. Seperti tak suka Damian menyentuhnya.
"Aku hanya tak suka darahmu mengotori mobilku," kata Damian dengan tajam.
Lara mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan membungkus tangannya yang berdarah. Damian pun membuang dasinya ke kursi belakang. Laki-laki itu mengendarai mobilnya dengan cepat ke rumah sakit. Meskipun wajahnya tak menunjukkan apa-apa, tapi Damian tahu perempuan itu pasti kesakitan. Lukanya sangat dalam dan perempuan itu kehilangan banyak darah.
"Kenapa kau melakukan itu? Kau harusnya membiarkan perampok itu mengambil jam tanganku. Aku tak butuh kau bersikap seperti pahlawan," kata Damian.
"Lalu Bapak? Kenapa Bapak menolongku? Bukannya Bapak sendiri yang bilang agar saya menjauh dari Bapak?" kata Lara.
"Bukan urusanmu. Lain kali jangan lewat gang itu. Apa kau tak tahu betapa berbahayanya jalan di sana?"
"Rumahku ada di sana. Lalu dimana aku harus lewat kalau tak lewat sana?"
Damian melirik perempuan di sampingnya. "Kalau begitu, terserah. Sepertinya kau punya banyak nyawa," kata Damian.
Lara tak membalas perkataan bosnya itu. Damian pun ikut diam. Laki-laki itu membukakan pintu untuk Lara ketika sampai di rumah sakit. Mereka masuk ke rumah sakit dan seorang dokter langsung mengobati tangan Lara. Damian mengikuti perawat untuk membayar biaya rumah sakit. Ketika kembali, Lara sudah keluar dari ruangan. Tangannya terbalut perban yang lumayan tebal.
Damian menatap Lara dan melihat perempuan itu baik-baik saja. Lalu laki-laki itu berkata. "Aku sudah membayar biaya rumah sakit," katanya lalu keluar dari rumah sakit.
Lara mengikutinya dari belakang. "Anda tak perlu melakukan itu."
Damian berbalik tiba-tiba dan Lara hampir menabrak d**a laki-laki itu. Lara mundur beberapa langkah. Damian menatap tajam perempuan di depannya itu.
"Aku sudah memesankan taksi untukmu." Damian melirik tangan Lara yang diperban. "Kau boleh terluka sesukamu, tapi jangan di depanku. Karena selanjutnya aku tak akan peduli lagi," ucap Damian lalu meninggalkan Lara sendirian di rumah sakit.