Bab 5

1192 Kata
Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya. Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan. Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai. “Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya. “Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari. “Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu. "Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya. Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Benar saja, masih terlalu dini untuk sang surya hadir. Jam masih berada di angka lima. Sebagian orang masih berkelung hangat dengan selimut. * Tiba giliran Divya yang membuka mata tepat di jarum jam berada diangka enam. Kepalanya tidak merasakan pening. Namun, badannya remuk. Dia sudah terlalu banyak pemberontakan kemarin. Gadis berambut panjang itu menuju ke balkon. Matanya langsung melihat satu sosok yang begitu dia benci. Pushup di halaman rumah tepat semalam dirinya mencoba turun dari kamar. "Pikir Divya! Gimana caranya buat laki-laki sialan itu enyah dari idup lo!" gerutunya. Suara ketukan pintu membuat konsentrasinya memudar. Ia menoleh dan pelayan yang diminta untuk membangunkannya sudah masuk dengan senyuman kikuk. "Maaf, Nona. Saya kira Anda belum bangun. Tuan dan Nyonya sudah menunggu Anda." "Oke, pergilah!" usir Divya. Sikap wanita itu memang tidak pernah kasar. Akan tetapi, kata-katanya tidak juga bisa disebut lembut. Divya terlalu dimanjakan oleh ke dua orangtuanya. Sehingga kini tingkahnya semakin brutal. Belum lagi perhatian dari ibu yang kurang. Greta terlalu sibuk dengan kawan-kawan sosialitanya. Memasrahkan Divya pada semua pelayan di rumah. Apa saja yang diinginkan oleh Divya dengan mudah dikabulkan oleh mereka. Menjadikan gadis muda itu tidak lagi tahu bagaimana caranya berjuang melawan kerasnya hidup yang sesungguhnya. "Selamat pagi, Tuan, Nyonya." "Ghaz. Kamu sudah bangun, aku minta maaf untuk yang semalam," sesal Hendery. Ia sudah mendengar apa yang dialami oleh laki-laki yang baru bekerja dengan dirinya sehari-hari dari satpam. "Kamu bisa kembali ke rumahmu, kalau pekerjaan ini di luar kendali, Ghaz. Kamu bisa kembali saat jam kerjamu tiba. Tidak perlu menginap di sini." "Tidak masalah, Tuan. Ini sesuai dengan harga yang Anda tawarkan. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan." "Tidak, Ghaz. Kami yang harus berterima kasih. Kami percayakan anakku Anda," tukas Hendery. Greta mengangguk setuju. Dia tidak akan membantah apa pun yang difatwakan Hendery. "Baik, bersihkan dirimu dan ayo! Kita sarapan bersama," ajak Hendery. "Tidak Tuan, Anda dan Nyonya terlebih dulu, saya bisa nanti." Selalu penolakan itu yang ditinggalkan pada majikannya. Ghazi tahu diri dan sadar akan posisinya. Sebelum masuk ke kamar. Pria berusia enam tahun lebih tua dari Divya itu menyempatkan diri ke dapur. Hanya untuk mencari air dingin, serta beberapa buah untuk sarapannya. Divya turun saat semua orang telah meninggalkan meja makan. Ghazi sudah bersiap dengan berlayar. Berdiri di samping tangga menantikan Divya. Divya memutar bola matanya, malas melihat pemandangan membosankan itu. Lagi-lagi pengaturan hitam itu menyambutnya di pagi hari. "Warna pink jauh lebih cocok untukmu daripada hitam," sindirnya. Namun, Ghazi sama sekali tidak menghiraukan ucapan itu. Dia tetap berdiri mematung dengan memutar lurus ke depan. Gadis itu mendekati meja dan mencomot satu roti lapis juga membawa satu botol air kemudian keluar berjalan keluar rumah. Ia kelaparan karena melewatkan makan lalu tertidur karena rasa lelah yang menggebu. Ghazi membuka pintu mobil seperti sebelumnya. Akan tetapi, untuk kesekian kali, Divya membuka pintu depan. Duduk di samping Ghazi. Pria berpakaian rapi itu menutup kembali pintu dan berjalan memutar. Ghazi mulai menjalankan mobil. Tanpa ada perbincangan yang terjadi. Divya sibuk dengan roti lapisnya hingga mulut penuh. Sementara Ghazi menatap ke luar tanpa mau melirik Divya sedikit pun. "Jemput Ivy!" perintah Divya, dengan mulut yang penuh. Sampai dia bertanya-tanya. Ghazi meraih botol minum yang ada di sebelahnya dan mengulurkan tangan pada Divya. "Ngak usah sok baik!" seru Divya setelah merasa baikan usai meneguk air. Mendorong roti yang tersangkut di tenggorokan. "Sama-sama, Nona. Sudah tugasku," timpal Ghazi. Seolah Divya mengucapkan kata terima kasih. Sekaligus sindiran keras untuk gadis itu. "Sotoy! Inget ya! Lu gak akan bertahan lebih dari satu minggu!" "Kita lihat saja nanti. Jika saya bertahan lebih dari itu, apa yang Anda tawarkan padaku?" "Ngarep banget lo! Sumpah demi bumi ini, gue benci banget sama lo!" geram Divya. Ghazi bungkam. Mobil merah sudah berhenti di depan kostan Ivy. Gadis itu sudah berdiri di ambang pintu. Siap untuk memulai hari. Bahkan Divya tidak perlu repot-repot keluar dari mobil. "Kok udah siap aja, sih?! Harusnya lo tuh nungguin gue dateng. Baru mandi!" kesal Divya. "Lhah? Gimana ceritanya? Yang ada aku telat, Div. Kamu, ya. Kadang-kadang," keluh Ivy. Ia merasa bahwa temannya itu sudah mulai aneh. "Div, kamu baik-baik aja, kan? Ke mana semalam?" celetuk Ivy. Kala mengingat pencarian yang dilakukan Ghazi. "Gue pengen minggat asli! Idup gue udah kagak baek-baek, Ivy. Ini udah keterlaluan!" "Apanya yang nggak baek? Kamu kan yang kabur, coba kalau nurut sama papa dan mamamu. Semua akan baik-baik aja lho," saran Ivy. Divya menoleh dan memelotot pada gadis berambut keriting itu. "Sejak kapan Lo mulai kasih wejangan nggak guna, huh?! Sumpah! Ada apa, sih sama Lo?!" "Aku— aku hanya—" Ivy hanya mengingat kata-kata ayah dari sahabatnya itu. Dia sudah mengatakan memengaruhi kehidupan Divya, bukan? Akan tetapi, Ivy tidak ingin mengungkapkan pada Divya. "Apa?! Ini karena Lo suka ama dia kan?! Ambil tuh! Bawa dia pergi dari idup gue! Gedeg banget ama kalian berdua!" Divya keluar dari mobil tepat saat roda berhenti berputar. Universitas Briona sudah di depan mata. Lagi-lagi pintu terbanting dengan kuat. "Dia emang gitu Bang. Biarin aja, aku yakin, kok kalau Divya bakalan nurut nanti. Hanya masalah waktu," kata Ivy. Namun, Ghazi tidak mendengar sepenuhnya ucapan Ivy. Ia sudah keluar mobil dan mengikuti Divya. "Dih! Bener kali, ya. Kalau pria itu menyebalkan! Tapi, sumpah! Dia ganteng dan keren!" gumam Ivy. Dia menyusul. Keluar dari mobil yang hendak diparkir oleh satpam. "Berhenti di situ! Ini kelas! Nggak ada yang boleh masuk kecuali siswa!" hardik Divya. "Saya sudah mendapatkan izin dari Tuan Hendery juga para dosen." "Sumpah! Ih—" Divya sudah dibuat sangat marah pagi-pagi. Kedua jemarinya mengepal erat. Ia ingin melayangkan tinju di muka datar Ghazi yang ada di depannya. "Jika Lo ikutan masuk, gue bersumpah akan terus buat masalah sama lo!" "Kalau saya berhenti, apakah ada jaminan Anda menurut?" tanya Ghazi. Mata Divya melebar. Dia malas menjawab karena tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi. "Baiklah. Ini artinya tidak akan ada perdamaian diantara kita." Ghazi hendak merangsek masuk bersama dengan Divya. "Oke! Oke! Lo dapat yang lo mau! Persetan! Laki-laki b******k!" Divya menendang tulang betis Ghazi kemudian masuk ke kelas. Entah terbuat dari apa laki-laki itu. Mengaduh pun tidak. Posisinya tetap tegak tanpa ekspresi Ivy menggeleng pelan sebelum menyusul masuk. "Bye abang ganteng. Kalem-kalem, ya ama Divya." Ivy menyamakan tangan pada Ghazi dan menyusul Divya. Ghazi berdiri di samping pintu sampai Kelas berakhir dua jam kedepan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN