Rumah pengawal

1107 Kata
Aku memutuskan untuk duduk di atas kasur Mbak Rohmah, lalu bergegas menghubungi Nadira kembali namun kali ini dengan panggilan video. Tak butuh waktu lama, si Nadira pun mengangkat panggilannya. "Halo, Nad." sapaku. Tampak Nadira mengenakan pakaian kaos juga dan rambut di kuncir seperti ekor kuda. "Halo, Ce. Kita kerjakan sekarang, ya," ujarnya sembari tersenyum ke arahku. Aku pun mengiyakan ucapannya, saat ini kami pun berdiskusi pelajaran walaupun menggunakan ponsel. Sedangkan Mbak Rohmah tetap menemani aku, sembari melihat situasi berjaga-jaga ketika papaku tiba-tiba datang. Cukup lama kita becanda sembari mengerjakan tugas, hingga Mbak Rohmah terlihat panik. "Non, saya rasa cukup belajarnya. Takut Tuan tiba-tiba datang," ujar Mbak Rohmah terlihat panik. Aku melihat Nadira mendengarkan ucapan Mbak Rohmah. "Siapa, Ce?" tanya Nadira. Aku menghadapkan ponselku ke Mbak Rohmah. "Itu Mbakku, Tuan itu buat panggilan Ayah kami, he he he," aku mencoba memberi alasan. Nadira pun tertawa terbahak-bahak. "Boleh di praktekkan ini, ya sudah bye dulu Ce. Sampai jumpai besok," ucap Nadira. Nadira melambaikan tangannya, aku pun membalasnya sembari memutuskan panggilan. Segera aku merubah kembali penampilanku, berpakaian seperti yang sebelumnya namun rambut masih terkepang dua. Terdengar dari arah luar kamar seperti suara papa mendekat. "Non, suara Tuan," ujar Mbak Rohmah. Aku dengan cepat mencopoti kepangan rambutku, walaupun terasa sakir karena dipaksa lebih cepat. Rambutku pun banyak yang patah dan rontok karena ulahku sendiri. Tok tok tok! "Cecyl." Panggil suara papa. Rambutku pun terselesaikan, aku sengaja berbaring di atas kasur sembari memegang buku agar papa tak curiga. Mbak Rohmah pun melihat ke arahku, lalu membuka pintunya. Tampak terlihat jelas wajah papa dari balik pintu, beliau pandangannya mengitari ruangan kamar Mbak Rohmah. "Kenapa belajar di sini?" tanya papa. Aku dan Mbak Rohmah pun saling bertatap mata. "Nggak apa-apa, Pa. Pengen saja," jawabku sembari menarik Mbak Rohmah meninggalkan papa. Aku berjalan menuju bangunan utama rumahku, ternyata terlalu asik di rumah para asisten senja sudah menampakkan wujudnya. Aku melepaskan pegangan Mbak Rohmah dan berlari menuju kamarku, hal selalu membosankan setiap harinya karena aku merasa terkekang tak bisa pergi ke mana-mana. Berbaring, menonton televisi, mainan ponsel seperti itu hal yang selalu aku lakukan. Aku memutar musik dari ponselku agar sedikit mengurangi rasa jenuhku, lalu tiba-tiba ponselku berdering. Saat aku ambil dan menatap layar ponsel, terdapat nomor baru yang tak aku kenali. Aku sengaja mematikan panggilannya, karena merasa tak mengenalnya. Dan aku tetap seperti semula mendengarkan alunan musik dari ponselku. Ting! Terdengar suara dari notifikasi pesan ponselku. Terdapat pesan masuk dari nomor yang tak aku kenal tadi. Aku baca isinya dalam hati, pesan itu bertuliskan. Hai cewek jutek, kenapa selalu menghindar? Apa aku ada salah sama kamu? Aku harap kita bisa berteman. Aku memikirkan siapa cowok yang mencoba mendekatiku dan aku menghindarinya. Dalam otakku hanya menemukan jawabannya adalah si Reza. Saat itu juga aku mengingat ucapan Mbak Rohmah, kalau tak boleh menjauhinya agar Kak Reza tak mencurigai penyamaranku. "Ini siapa?" ucapku sembari mengetik hendak membalas pesan itu. Pesan itu pun dengan cepat terkirim dan aku melihat ada tanda centang biru dua yang menandakan pesan telah dibaca pemilik nomor itu. "Ini aku, Reza. Ini benar Cecyliakan?" balas pesan itu. Tepat pikiranku kalau itu memang benar-benar si Reza. "Iya, ada perlu apa? Maaf Kak, bukannya aku nggak mau berteman. Aku nggak hanya saja sungkan sama anggota gengnya Kak Monica, aku anak baru takut sama mereka," jelasku membalas pesan itu lagi. Terlihat Kak Reza di jauh sana sudah mencoba mengetik akan membalas pesanku. "Nggak perlu takut. Kita sama saja murid di sana, baru atau lama itu bukan menjadi halangan untuk kita berteman," balas Kak Reza lagi. Kali ini aku sengaja hanya membaca pesan itu tanpa membalasnya. Kak Reza pun masih tetap berusaha untuk membujukku dengan pesan-pesan yang dikirimkan. Tak jarang pula dia menghubungiku namun aku sengaja tak menerimanya, aku letakkan ponsel itu di atas kasur lalu aku pergi ke lantai dasar. Baru saja aku hendak turun, aku melihat ayah keluar dari kamarnya sembari menenteng tas koper yang biasa beliau bawa. Sekilas aku juga melihat papa memasukkan satu buah senapan dalam baju jas yang beliau kenakan. Para pengawal pun sudah bersiap-siap sembari membawa peralatan keamanan mereka. Aku melihatnya seolah-olah hendak melakukan misi tertentu. "Papa, mau ke mana?" tanyaku sembari memicingkan mata. Papa melihat ke arah tangga yang saat aku berdiri di sana. "Mau kerja, kamu baik-baik saja di rumah dengan yang lain," jawab papa. "Pa, aku izin pergi ke jalan-jalan dong. Agar bosen di rumah," ujarku mencoba meminta izin. Papa tak lantas menjawabnya, namun malah melihat ke arah pengawalnya dengan mengkode tertentu. Saat aku melihatnya ternyata Andrea sudah menjadi salah satu dari mereka. "Kalian jaga Cecyl, jangan sampai kecolongan orang menyakitinya," ujar papa kepada empat pengawal yang ditugaskan menjagaku. aku yang mendengarkannya sontak mengenduskan napasku dengan kasar. Aku tak ingin menyangkalnya agar tak dapat masalah besar dengan papa. Papa pun berpamitan ke aku dan mama yang baru datang menghampiri. Kebetulan Andrea yang menjadi salah satu pengawal kami. Namun pandangannya yang terlalu lekat membuat aku menjadi risih. "Kamu mau ke mana?" tanya mama. Aku yang udah berbalik badan hendak naik ke atas, menoleh kembali ke mama. "Mau ganti baju, pengen jalan-jalan ke mall mungkin," jawabku. "Oke, sama Mama juga, ya?" tanya mama. Aku melangkah kembali menuju lantai atas sembari menjawab pertanyaan mama. "Terserah," jawabku secara singkat. Aku berjalan sedikit berlari menuju kamarku, aku ganti pakaian mengenakan pakaian casual atasan kaos berwarna putih celana hitam tak lupa luarannya menggunakan cardigan panjang. Rambutku curly dan sengaja ku gerai dengan sedikit hiasan dari jepitan rambut di sisi poniku. Tak lupa mengenakan sepatu kets berwarna putih. Setelah ku rasa cukup, aku membawa totebag putih yang suka aku bawa. Aku tak terlalu ribet soal penampilanku, yang penting nyaman aku kenakan ya aku pakai. Aku memutuskan untuk turun menuju lantai dasar, terlihat pengawal sudah berdiri di sana dan mamaku pun sudah siap. "Ayo, berangkat," ujar mama. Kami masuk ke dalam mobil di mana Pak Nadim yang mengendarai, sedangkan empat pengawal lain menggunakan mobil yang lainnya. Mobil mulai dilajukan meninggalkan rumah kami, Pak Nadim mengendarai tak terlalu cepat karena harus bisa beriringan dengan mobil yang mengawal kami. "Aku harap Mama jangan ribet, aku malu. Layaknya seperti orang biasa saja, tak perlu menunjukan strata kekayaan kita," ujarku dengan ketus. Mama melipat tangannya ke d**a, sembari menyenderkan badannya ke kursi mobil. "Tak perlu menunjukan toh mereka sudah tahu kita," jawab mama. Aku memalingkan wajahku dari mama, melihat langit yang sudah mulai gelap. Di sepanjang jalan melihat para remaja seusiaku sedang bermain bersama teman sebayanya. Mereka terlihat tertawa riang bersama. Aku ingin merasakan hal yang sama, namun itu terasa mustahil untukku. Tak pernah aku jalan sendiri, sekolah pun kalau dengan kehendak papa pasti para pengawal mengikutiku. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN