Setelah check out. Vivian dan Thomas pun kembali pulang ke rumah. Thomas menyuruh Vivian untuk keluar duluan. Sementara Thomas menunggu beberapa menit dulu, baru menyusulnya.
Ketika Thomas menyusul ke dalam. Ia sudah melihat putrinya Yasmine, bersama dengan seorang laki-laki, yang kini tengah menjabat tangan Vivian. Tapi reflek Vivian lepaskan, ketika pandangan sinis muncul, dari laki-laki yang baru saja datang menyusulnya ini.
"Hai, Om," sapa laki-laki itu, ketika melihat Thomas.
"Kapan datang??" tanya Thomas dengan ekspresi wajah yang datar dan dingin, kepada lelaki, yang tingginya bahkan melebihinya. Padahal, Thomas sendiri sudah memiliki tinggi badan sekitar 185 sentimeter.
"Baru sore tadi, Om. Tadi sempat mampir ke kantor. Tapi orang kantor bilang, Om sedang keluar. Sudah ditunggu-tunggu lama, tapi tidak datang juga. Jadi, Axel langsung datang ke sini saja," jawab lelaki, yang merupakan anak dari kakak perempuan Thomas, Axel.
Setelah pertemuan singkat tadi. Kini, keempat orang tadi itupun berada di ruang makan, untuk melakukan makan malam bersama.
Vivian yang memang sudah sangat lapar itupun, mengambil banyak makanan tanpa ragu-ragu. Sementara lelaki yang berada di depannya nampak tersenyum, saat melihat cara makan Vivian yang terlihat sedikit rakus. Namun, satu orang lagi yang duduk di tengah sendiri, ia malah melemparkan tatapan mata yang tajam kepada lelaki, yang sudah sangat berani menatap miliknya dengan intens itu.
"Jadi, untuk apa kamu datang ke sini??" tanya Thomas, tanpa menunggu makan malam berakhir. Ia jadi kehilangan nafsu makan, ketika melihat kelakuan keponakannya ini, yang nampak begitu menjengkelkan.
"Liburan, Om. Kalau di UK sedang liburan musim panas. Karena bosan di sana terus. Jadinya, Axel pilih pulang ke Indo dan sepertinya, Axel mau menginap beberapa hari di sini. Di rumah bosan. Mommy dan Dad sibuk masing-masing. Daisy belum pulang. Dia masih mau di sana dulu sampai bulan depan. Jadi nanti gantian. Axel kembali ke UK dan Daisy pulang ke Indo. Lagi pula, di sini ada Yasmine. Kami bisa bermain bersama nanti. Iya kan, Yas??" ucap Axel yang tidak lupa untuk melirik kepada Vivian juga.
"Tetapi maaf. Kamar tamu sudah ditempati oleh temannya Yasmine. Kamar lain pun sudah dibuat jadi ruang kerja dan ruang multimedia. Jadi kesimpulannya. Tidak ada kamar kosong yang bisa kamu tempati di sini," ujar Thomas , yang sedang berusaha untuk mendepak keluar laki-laki, yang agaknya akan menjadi pengganggu hubungannya nanti.
"Wah sayang sekali ya, Om. Tapi tidak apa-apa. Tidur di sofa juga tidak jadi masalah."
"Eh jangan, Kak! Gimana kalau Kak Axel tidur di kamar tamu. Nanti, biar Vivian yang tidur di kamar Yasmine. Iya kan, Dad?" ucap Yasmine dan sang ayah, hampir saja menghardik , kecerdikan putrinya ini.
"Kasihan Vivian. Nanti dia jadi tidak nyaman," ucap Thomas dan segera disangkal, oleh orang yang namanya dibawa-bawa.
"Tidak apa-apa. Nanti saya tidur di kamar Yasmine saja," ucap Vivian yang malah satu suara dengan Yasmine. Bagus kan. Ia jadi bisa tidur dengan nyenyak dan tidak ada lagi, yang bisa keluar masuk kamar dengan seenaknya lagi.
"Ah... Kamu baik sekali, Vivian. Sudah cantik. Baik lagi," puji Axel dan Thomas segera mengembuskan napas , sembari memutar bola matanya ke samping.
"Cie... Cie... Awalnya puji-puji. Lama-lama juga suka tuh," ledek Yasmine dan yang duduk di tengah-tengah itupun langsung berdehem keras, juga berucap dengan lantang.
"Ayo cepat habiskan makanan kalian! Nanti tidak enak kalau sudah dingin!" seru Thomas.
"Iya, Dad," sahut Yasmine yang kembali melahap makanannya lagi. Thomas juga berlaku demikian dan memasukkan makanan dalam mulutnya, dengan suapan yang lumayan besar.
Setelah sesi makan malam berakhir. Yasmine dan Vivian naik ke lantai atas duluan. Selanjutnya, Axel juga menyusul mereka dan hanya Thomas saja, yang masih duduk-duduk di ruang makan sendirian. Ia sedang memikirkan cara untuk menyelinap. Namun sepertinya tidak akan bisa, karena Vivian kini malah tinggal sekamar dengan putrinya.
Baiknya, cara yang paling mudahnya memang mengusir nyamuk pengganggu yang satu itu. Maka, ia akan kembali bebas dan leluasa seperti sebelum-sebelumnya. Tapi, bagaimana caranya? Masa iya, ia harus menunggu sampai berhari-hari. Kalau sekarang saja, rasanya ia ingin sekali mendatangi Vivian. Namun sialnya, ia tidak akan bisa melakukannya. Karena Vivian berada dan tinggal di kamar Yasmine. Bunuh diri namanya, kalau ia malah menyelinap masuk ke dalam kamar putrinya sendiri.
Sementara itu di lantai atas saat ini. Vivian sudah berada di dalam kamar Yasmine. Ia tengah duduk di atas ranjangnya sambil memeluk guling. Sedangkan sang pemilik kamar tersebut berada di kamar mandi untuk menggosok giginya terlebih dahulu.
Kenyang dan lelah juga. Ia ingin segera tidur malam ini. Tapi masih menunggu Yasmine selesai dari kamar mandi. Tidak enak juga kan, bila yang menumpang malah tidur duluan.
"Hahh... Segar," ucap Yasmine yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan berjalan menghampiri Vivian, yang berada di atas ranjangnya.
"Kamu belum tidur?" tanya Yasmine, sembari naik ke atas ranjang tersebut dan menyelimuti tubuhnya juga.
"Belum. Masih tunggu kamu," jawab Vivian yang matanya sudah lumayan berat itu.
"Tidur duluan juga nggak apa-apa padahal. Mata kamu udah sayu begitu," ujar Yasmine.
"Tidak enak ah, Yas," timpal Vivian.
"Ah kamu itu orangnya sering nggak enakkan. Padahal santai aja. Yuk tidur," ajak Yasmine sembari merebahkan tubuhnya. Akan tetapi, bukannya benar-benar tidur, Yasmine malah mengajak Vivian untuk berbicara lagi.
"Kamu udah tolak Aldo jadinya??" tanya Yasmine sembari melirik wanita yang sedang rebahan di sisinya saat ini.
"Iya sudah. Tadi aku katakan langsung sepulang kuliah."
"Kamu beneran nggak mau pacaran dulu??" tanya Yasmine penasaran.
"Kenapa memangnya, Yas??' tanya Vivian.
"Ya... Kalau nggak sama Aldo. Barangkali kamu mau dan bisa dengan sepupu aku."
"Hah? Sepupu kamu??" ulang Vivian.
"Iya sepupu aku. Yang tadi. Yang sekarang lagi tidur di kamar kamu. Dia baik lho orangnya. Lagi kuliah di luar negeri. Supaya nanti bisa meneruskan perusahaan orang tuanya. Anak laki-laki satu-satunya juga kan dia. Kalau Aldo itu, masih merintis. Nah kalau Kak Axel ini, dia itu pewaris. Kapan lagi coba, kamu dapat yang sesempurna Kak Axel. Ganteng, tinggi, pewaris keluarga juga. Ah lengkap deh."
"Kok kamu jadi promosikan dia?" ucap Vivian sembari tersenyum tipis.
"Ya kan kalau kamu jadi sama Kak Axel, kita bisa jadi saudara nanti."
"Saudara?" ulang Vivian.
"Iya. Emangnya kamu nggak mau??" tanya Yasmine.
"Em, dianya juga belum tentu mau kan, Yas. Dia terlalu hebat dan sempurna, untuk aku yang biasa-biasa saja ini."
"Ah, kamu kenapa harus insecure sih??"
"Lebih ke sadar diri sih, Yas. Pasti, dia maunya yang setara. Bukan yang malah numpang hidup di rumah saudaranya begini."
"Hah... Kamu itu belum apa-apa udah nyerah."
"Siapa bilang? Aku, juga ingin lulus kuliah dan bekerja di tempat yang bagus. Kalau sudah lulus dengan baik dan punya pekerjaan. Pasti nanti tidak akan terlalu mempermalukan juga."
"Ohh... Begitu. Ya baguslah. Siapa tahu nanti, kita bisa jadi saudara kan??" ucap Yasmine yang paling antusias.
"Jangan berandai-andai ketinggian dulu ah, Yas. Lagian, aku juga nggak cantik-cantik amat."
"Ih! Kamu gimana sih?? Kamu nggak dengar apa gimana tadi??? Jelas-jelas Kak Axel puji kamu cantik tadi. Masa iya masih kurang jelas juga??"
"Ya kan itu karena aku relakan kamar, yang tadinya aku tempati untuk dia. Makanya, aku dipuji. Untuk sekedar ucapan terima kasih sih."
"Hah... Kamu itu, kenapa nggak mau percaya diri sedikit??" ucap Yasmine.
"Nanti jatuhnya jadi terlalu percaya diri. Udah ah, Yas. Aku mau tidur dulu. Ngantuk. Aku capek sekali hari ini," ucap Vivian, yang segera berbalik dan tidur dengan membelakangi Yasmine.
Sementara Yasmine berguling ke samping dan menatap punggung Vivian di sana.
"Tapi, kalau nanti Kak Axel beneran suka sama kamu gimana, Vi??" tanya Yasmine yang sudah tidak lagi mendengar suara Vivian. Hanya suara hembusan napas saja yang ia dengar dan artinya, Vivian sudah terlelap duluan.
"Hah... Dia malah tidur," ucap Yasmine yang segera menyusul Vivian dengan merebahkan tubuhnya juga di atas ranjang.
Esok harinya.
Saat mereka semua baru saja selesai sarapan pagi.
"Om, pinjam kunci mobilnya ya??" pinta Axel terhadap pamannya, yang sedang menyeka bibir.
"Untuk apa dan mau kemana??" tanya Thomas.
"Untuk dibawa dan mau mengantarkan Yasmine dan juga Vivian ke kampus."
Helaan napas yang lumayan panjang Thomas lakukan. "Sepertinya, kamu tidak perlu repot-repot. Sudah ada supir yang biasa melakukannya."
"Iya, Om. Axel tahu kok. Tapi, Axel tidak ada pekerjaan di sini. Jadi, biar Axel saja, yang antar jemput nanti. Biar supir yang antar jemput Om ke kantor. Kasihan Om juga kan. Lelah bekerja dan masih harus bawa mobil sendiri juga. Tenang. Axel bisa bawa mobil dengan mahir. Drifting juga bisa. Aman lah pokoknya. Sekalian, pulangnya ajak Yasmine jalan-jalan juga," ucap Axel yang segera mendapatkan sorak gembira dari wanita yang namanya disebutkan tadi.
"Asyik!! Jalan-jalan ke mall ya, Kak!?" seru Yasmine antusias.
Thomas terlihat tidak rela dan lagi-lagi suara dari putrinya, Yasmine. Membuat Thomas tidak bisa lagi banyak melakukan protes.
"Ya sudah. Sana antar mereka!" perintah Thomas.
"Ok siap, Om! Yuk, kita jalan sekarang," ajak Axel yang sudah bangun lebih dulu dan berjalan keluar dari ruangan makan. Kemudian Yasmine menyusul. Begitu juga dengan satu wanita lagi, yang nampak tengah diperhatikan oleh Thomas hingga bola matanya berputar mengikuti arahnya pergi.
"Hahh... Dasar. Kurang ajar sekali dia," keluh Thomas, yang masih mencoba untuk bersabar sebentar. Kalau memang semakin lama semakin tidak bisa dikendalikan. Ia akan langsung memulangkan pemuda itu.
"Ayo naik!" seru Axel yang sudah memegang pintu mobil di sisi kemudi dan menunggu dua wanita, yang sedang berjalan ke arah mobil itu masuk.
"Pulangnya, kita jalan-jalan ya, Kak!?" seru Yasmine yang kembali antusias lagi.
Ayahnya terlalu over protective. Mau pergi pun harus dipantau terus dan tidak boleh terlalu lama. Tetapi kalau pergi bersama dengan saudara sendiri, malah akan beda cerita. Makanya, ia senang Axel ada di sini. Jadi ia bisa bebas, tanpa banyak dilarang-larang. Axel ini, sudah seperti kakak kandungnya sendiri, yang memanjakan dirinya bak seorang adik kandung saja.
"Siap! Beres pokoknya!" ucap Axel sembari masuk ke dalam mobil tersebut dan membawa mobil itu ke kampus.
Siang harinya.
Lelaki berdasi hitam dan dengan jas yang berwarna senada, nampak sibuk dengan ponsel yang berada di genggaman tangannya. Ia sedang mengetik pesan dengan sangat panjang lebar. Namun pada intinya, ia melarang keras, si penerima pesan itu, untuk terlalu dekat, dengan laki-laki yang siang ini pasti menjemput dan juga membawa ia bersama dengan putrinya juga.
Pesan yang dikirim dan Thomas terima, tidak lantas membuatnya puas. Apa lagi, balasan itu hanya berisikan dua huruf saja, yang bila dibaca berbunyi 'Ya'.
Seolah tidak puas dengan jawaban pesannya. Thomas akhirnya melakukan panggilan telepon langsung saja. Tidak peduli, bila yang diteleponnya ini sedang bersama dengan putrinya sekalipun. Ia belum tenang rasanya, bila membiarkan Vivian pergi, bersama dengan keponakannya, yang seperti menaruh hati kepada wanita miliknya itu.
Panggilan telepon sudah dilakukan sampai berkali-kali. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mendapatkan jawaban, seperti apa yang ia harapkan. Thomas mengembuskan napas dengan kasar. Ia genggam kencang ponsel dalam genggaman tangannya dan mencoba lagi, untuk menghubungi Vivian.
"Ck! Arghh!! Kenapa tidak dia angkat-angkat juga!?" seru Thomas sembari mengayunkan ponsel dalam genggaman tangannya dan hampir saja melemparkannya.
Tetapi tidak sampai hati ia lakukan dan akhirnya hanya ia lemparkan dengan pelan ke atas mejanya sambil membekap wajahnya sendiri. Hembusan napas yang kencang Thomas keluarkan dari mulutnya. Ia juga melonggarkan ikatan dasi di kerah kemejanya dengan kasar.
Kesalahan besar. Karena membiarkan orang lain menyusup diantara celah hubungannya bersama Vivian.
"Awas saja, kalau dia berani macam-macam," gumam Thomas dengan gemas.