Setelah beberapa puluh menit yang penuh dengan peluh. Permainan akhirnya dituntaskan juga dan Thomas, nampak terkapar lemas, di sisi wanita yang sedang menutupi tubuh, maupun wajahnya itu dengan selimut dan dalam posisi tubuh, yang meringkuk seperti udang di sisi Thomas.
Sial sekali pikir Vivian. Ia kira, lelaki ini tidak akan memakannya dan ternyata ujung-ujungnya, ia malah dijadikan makanan penutup begini dan lebih sialnya lagi, ini adalah kali kedua mereka melakukannya. Ia pikir, yang kemarin adalah yang pertama dan juga yang terakhir. Tapi kenapa, jadi ada yang kedua seperti ini??
Hhh... Memang salahnya juga, yang malah mengikuti saja, kata-kata dari lelaki brengsekk ini. Kini, ia pun jadi harus menanggung konsekuensi, dari kebodohan yang ia lakukan sendiri.
"Ayo kita pulang sekarang," ucap Vivian, dari balik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya dan hanya menyisakan tangannya saja di luar selimut.
"Nanti dulu. Kita istirahat dulu. Apa kamu tidak lelah?" tanya Thomas.
"Kan kamu yang bergerak seperti orang gila tadi!" ucap Vivian bersungut-sungut.
Thomas tersenyum dan berguling ke samping. Ia mendekap tubuh Vivian dan juga menarik selimut, yang kini menutupi wajahnya.
"Apa kamu tidak kepanasan?" tanya Thomas.
Tapi Vivian malah kembali menarik selimutnya lagi, untuk menutupi wajahnya lagi.
"Kenapa ditutupi terus?" ucap Thomas sembari mengecup bahu Vivian yang polos dengan lembut.
"Anda menyebalkan sekali, Om!" ucap Vivian dari balik selimut.
"Benarkah? Tapi tadi, kamu terlihat sangat menikmatinya."
"Ck! Mana ada!" seru Vivian sembari menurunkan selimut dan melirik sinis kepada lelaki, yang raut wajahnya tidak menunjukkan tanda-tanda penyesalan sama sekali. Ia malah terlihat senang dan puas, atas kata-kata yang baru saja dilontarkannya. Dasar Om-Om tidak waras.
"Dasar tidak waras," ketus Vivian sembari kembali berbalik lagi.
Tubuh Thomas berusaha Vivian singkirkan. Namun, Thomas malah mempererat dekapannya, hingga seberapa besar usaha Vivian untuk lepas. Lelaki dewasa itu, tetap saja menempel di tubuhnya dan enggan melepaskan dekapannya.
"Sana, Om! Anda sudah puas kan!?" seru Vivian dengan ketus, saking jengkel dan juga kesalnya, terhadap pria yang masih juga menempel kepadanya ini.
"Kenapa kamu bicara begitu? Jadi seolah-olah seperti saya, yang hanya menginginkan tubuh kamu saja."
"Ya memang begitu kenyataannya kan??" tuduh Vivian.
"Tidak. Saya tidak seperti yang kamu tuduhkan barusan. Saya tidak hanya menginginkan tubuh kamu saja. Tetapi , saya ingin jiwa dan raga kamu. Perasaan saya benar-benar tulus terhadap kamu dan saya juga, tidak akan meninggalkan kamu. Apa lagi, setelah semua yang sudah terjadi diantara kita ini," ujar Thomas sembari mengecup bahu polos Vivian kembali.
"Bullshit!" ucap Vivian pelan.
"Hm? Kamu bilang apa barusan?" tanya Thomas.
"Pembohong besar! Bukannya setelah puas bermain-main, kalau sudah bosan mainnya akan ditinggalkan??" cetus Vivian.
"Tapi kamu kan bukan mainan," ucap Thomas sembari tersenyum. Lucu juga pikirnya. Vivian selalu saja beranggapan, bila ia adalah seorang lelaki brengsekk, yang sudah banyak sekali mempermainkan wanita. Padahal, sejak terakhir kali ia memiliki hubungan, itupun sudah dua puluh tahun berlalu. Setelah itu, ia bahkan tidak pernah memiliki hubungan spesial dengan wanita manapun itu.
"Kamu itu spesial sayang," ucap Thomas kembali sembari menciumi bahu Vivian lagi secara bertubi-tubi. "Jadi, jangan menganggap aku, seperti kebanyakan laki-laki di luar sana. Karena, wanita yang sedang dekat denganku saat ini, hanya ada kamu saja."
"Oh iya??" ucap Vivian tak percaya.
"Iya. Tidak ada lagi. Aku terlalu sibuk mengurusi anak, pendidikan dan juga pekerjaanku. Sampai-sampai aku lupa, bila aku juga membutuhkan seorang wanita. Tetapi sekarang, rasanya sudah lengkap, saat ada kamu di sisiku seperti ini," ucap Thomas sembari mempererat dekapannya dan juga, meletakkan pipinya sendiri di pipi Vivian.
Sudah terlanjur basah begini. Apakah harus tetap diteruskan??
Vivian menghela napas. Ini terlalu gila baginya. Masa iya, dia menjalin hubungan, dengan pria yang usianya, bahkan dua kali lipat darinya ini??
Akan tetapi, bukankah ada juga, yang memiliki pasangan yang jauh lebih tua usianya? Ia juga seringkali mendengar, bila usia hanyalah sekedar angka dan lagi, sudah terlanjur jauh begini juga hubungan mereka.
Vivian diam saja. Ia tidak lagi banyak bicara karena sedang melakukan perang batin. Sementara pria yang sedang mendekapnya ini, sesekali mengecupi pipi dan juga membelai-belai rambutnya.
"Apa yang anda sukai dari saya??" tanya Vivian kemudian.
Thomas tersenyum dan mengecup bahu polos Vivian sekali lagi. "Semuanya. Terutama, senyuman kamu. Aku suka senyuman kamu. Sejak pertama kali melihat kamu, aku sudah suka. Baru kamu, yang kembali membuatku bergairah."
"Tapi kenapa harus saya?? Teman dari anak Om sendiri??" tanya Vivian dengan nada suara yang tiba-tiba menjadi tinggi kembali.
Thomas mengembuskan napas dan terdiam dalam beberapa saat. Sebelum akhirnya kembali berucap.
"Entahlah. Siapa yang tahu, bila kamu adalah temannya Yasmine. Aku tidak pernah merencanakan hal ini sebelumnya. Lagi pula, mencintai itu bukankah suatu kesalahan. Rasa cinta itu anugerah, yang dihadiahkan kepada manusia, supaya kita bisa saling mengasihi, memahami dan juga mengisi kekosongan hidup. Benar bukan?" ucap Thomas sembari mengusapkan pipinya sendiri pada bahu Vivian dengan lembut. "Sudahlah. Jangan selalu mengatakan hal itu terus-menerus. Aku tahu siapa kamu. Kita saling tahu satu sama lain. Tapi bukan berarti, hal itu menjadi penghalang berarti, untuk kita tetap bisa bersama. Iya kan?" ucap Thomas dan Vivian pun kembali terdiam , sembari menutupi mulutnya dengan selimut.
Sementara lelaki di belakang tubuhnya ini, kini malah mengalami rasa kantuk yang lumayan hebat. Matanya serasa tidak kuat, untuk ia topang lebih lama lagi.
"Kita tidur dulu sebentar ya? Kalau kamu bangun duluan, jangan lupa untuk membangunkan aku juga," ujar Thomas yang langsung memposisikan kepalanya di sisi Vivian. Tetapi tangannya, tidak Thomas lepaskan dan tetap ia biarkan melingkar di tubuh wanita, yang masih terlihat gusar sendiri ini.
Thomas terpejam dan langsung terdengar pulas, dari suara dengkurannya yang lumayan keras. Padahal tidak sampai di menit ke lima, kata-kata yang diucapkannya tadi. Sementara Vivian sendiri, ia masih membuka kedua matanya dan nampak sedang menggigit bibir bawahnya, sambil menghela napas sampai berkali-kali.
Vivian putar kedua bola matanya ke bawah dan memandangi tangan, yang berada di atas tubuhnya sekarang, sekaligus dengan merasakan hembusan napas teratur di tengkuk leher saat ini. Lelaki yang berusia dewasa ini, bisa-bisanya tertidur dengan pulas. Ia saja tidak bisa dan malah merasa segar bugar. Lagi pula, siapa juga yang masih bisa tidur nyenyak , setelah hal yang sudah terjadi tadi. Ia sendiri saja masih kelihatan shock, karena malah mengulangi kesalahan yang sama, untuk yang kedua kalinya bersama pria ini.
Kepala Vivian memutar perlahan ke arah belakang dan menatap wajah Thomas sejenak. Kemudian, ia kembali memutar kepalanya lagi pada posisi awalnya tadi dan diam tertegun, dengan perasaan yang sulit sekali untuk dilukiskan.
Bisa-bisanya lelaki yang baru ia kenal ini, sangat leluasa begini. Tidur tanpa sehelai pakaian pun dan hanya dengan, menggunakan satu selimut bersamanya. Jadi seperti sepasang suami dan istri saja.
Ah, melantur sekali pikirannya ini. Memangnya boleh, ia berpikiran sangat jauh begini. Tetapi memangnya, kemana lagi arahnya sebuah hubungan. Kalau bukan menjurus ke sana. Apa lagi, mereka sudah melakukan, apa yang selayaknya dilakukan oleh pasangan yang telah menikah. Dua kali pula.
Hah... Gilanya. Masa iya, ia harus jadi ibu tiri dari temannya sendiri??
Tapi... Percaya diri sekali ia ini. Memangnya, Yasmine akan terima, bila hal itu benar-benar sampai terjadi?? Dari awal, Yasmine selalu mewanti-wanti, untuk tidak tertarik kepada ayahnya. Tetapi lihatlah sekarang. Ia dan ayah temannya ini, bahkan sudah berhubungan layaknya suami istri! Sungguh gila kan?
Tapi mau bagaimana lagi. Semuanya sudah terlanjur terjadi. Dan lagi, ini bukanlah yang pertama. Sebelum peringatan itu dilayangkan kepadanya, ia sudah lebih dulu bertemu dan menghabiskan malam bersama dengan ayahnya Yasmine. Jadi bukan salahnya kan?? Ia bukan tidak menghiraukan peringatan. Hanya saja peringatan itu terlambat sekali ia dengar.
Vivian menghela napas dan menggeser tubuhnya pelan-pelan, sambil mengangkat tangan, yang terasa lunglai di atas tubuhnya ini. Ia letakkan guling untuk menggantikan posisi tubuhnya dan meletakkan tangan itu di atas sana.
Sebuah hembusan napas Vivian ciptakan, setelah merasa lega, karena sudah lepas dari dekapan lelaki yang berada di atas ranjang. Sekarang, Vivian pun membungkukkan tubuhnya dan memunguti helai demi helai pakaian, yang nampak berserakan di lantai. Ia ambil semuanya tanpa terkecuali, lalu kemudian ia pisahkan antara miliknya dan juga milik lelaki yang masih terpejam di atas sana. Setelah itu, Vivian pun melenggang pergi ke kamar mandi dan membersihkan sisa peluh maupun saliva dari tubuhnya itu.
Tidak segera pergi dari dalam sana. Vivian juga memutuskan untuk melakukan sedikit relaksasi tubuh maupun pikiran di dalam bathtub. Ia rendam tubuhnya dan ia pejamkan kedua matanya. Kemudian, ia hirup juga wangi aroma terapi.
Lebih enteng dan juga terasa lega untuk sesaat. Ya meskipun, di dalam kepalanya terus menerus berputar tentang apa hal, yang harus ia lakukan sekarang. Setelah semua hal yang terjadi dan membuatnya menjadi merasa 'terikat' dengan seseorang yang memiliki rentan usia, yang lumayan jauh juga darinya.
Vivian menghela napas, lalu menggosok tubuhnya. Namun, sekelebat bayang akan penyatuannya tadi itupun muncul, sampai Vivian harus menggelengkan kepalanya kuat-kuat, untuk menghentikannya mencuat. Yang pertama kali antara sadar dan tidak sadar. Giliran yang kedua kalinya, malah dilakukan dengan kesadaran penuh. Konsekwensinya , ia malah sampai terbayang-bayang terus-menerus seperti ini.
Tangan kiri dan kanannya bertumpu pada bathtub. Kemudian, Vivian menahan dengan tangan dan mengangkat tubuhnya hingga menyembul dari dalam air. Ia tidak menunggu air ditubuhnya berjatuhan dan segera melenggang ke bawah shower. Ia putar kran shower itu, lalu mendongak sambil memejamkan matanya dan membiarkan air mengalir melewati setiap permukaan kulit. Segar dan juga lapar. Agaknya setelah ini, ia akan membangunkan orang sedang tertidur pulas di sana dan akan meminta untuk pulang saja. Biar saja, masih tertidur pulas sekalipun. Lagi pula, untuk apa juga berlama-lama di sini.
Selembar handuk yang menggantung Vivian raih dan gunakan untuk mengeringkan tubuhnya. Kemudian, ia kenakan handuk tersebut dan melingkarkan di tubuhnya yang polos. Ia pergi ke wastafel dan mengambil pakaian, yang ia gunakan saat datang ke sini tadi, lalu mengenakannya kembali di sana dan setelah itu, ia keringkan rambutnya yang basah sembari berjalan keluar dari dalam kamar mandi.
Vivian menggosok-gosok rambut sembari terus melangkah ke arah tempat tidur. Ia pun segera menyentuh bahu polos lelaki yang tengah tidur sembari terlentang itu, lalu mengguncang-guncangkannya dengan kencang.
"Hey bangun!" cetus Vivian dan yang sedang tergeletak di atas tempat tidur itupun sontak membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Ia juga, segera melirik arah bagian tubuh yang diberikan guncangan tadi dan melihat tangan Vivian di sana.
"Ada apa??" tanya Thomas yang belum terkumpul semua nyawanya.
"Ayo pulang," ajak Vivian.
"Sudah jam berapa ini??" tanya Thomas.
"Jam setengah enam," jawab Vivian seraya duduk di tepian tempat tidur dan menggosok-gosok rambutnya yang masih basah. Tidak boleh sampai membuat yang di rumah curiga. Maka, ia harus cepat-cepat mengeringkan rambutnya ini, sebelum pulang ke rumah nanti.
Sementara itu, lelaki yang Vivian bangunkan, kini terlihat duduk diam sembari mengumpulkan nyawa. Ia bersihkan setiap sudut mata kiri dan kanan. Kemudian, ia mengambil ponsel dari saku celana panjangnya yang tergeletak di sisinya dan melihat pesan maupun waktu, yang tertera pada layar ponselnya itu.
Thomas mengembuskan napas dan menaruh kembali ponsel, juga celananya tadi. Ia bergeser maju ke depan, untuk mendekati Vivian. Kemudian, ia mengambil handuk dari tangan Vivian dan melebarkan handuk tersebut, lalu menaruhnya di atas kepala Vivian dan menggosokkan handuk di atas kepala Vivian.
Vivian diam mematung tanpa melontarkan satu patah katapun, dari lidahnya yang terasa kelu. Sementara Thomas, nampak telaten sekali dalam mengurusi sang pujaan hati.
Sudah terlewati belasan menit dan sudah lumayan kering juga rambut Vivian ini. Thomas pun merapikan rambut Vivian dengan menggunakan jemari tangannya sendiri, lalu setelah sedikit rapi, Thomas sibakkan rambut Vivian yang terurai ke bawah dan mengecup tengkuk lehernya.
"Cup! Aku mandi dulu ya," ucap Thomas yang kini menyingkir dari belakang Vivian dan pergi melenggang ke kamar mandi.
Vivian sendiri nampak menghela napas, sembari memijat ruang diantara kedua matanya dan juga, sambil merutuki dirinya sendiri, atas kesalahan, yang kembali ia lakukan bersama pria dewasa itu lagi. Sekaligus, bayang-bayang apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Bila hal ini tetap ia teruskan juga.