Seorang wanita muda nampak terbaring lemas di atas ranjang ber-seprai putih bersih. Kelopak matanya hendak ia buka. Namun, rasanya seperti digelayuti batu. Berat sekali. Lampu yang tadinya terang benderang, kini redup dalam hitungan detik dan ruangan kini menjadi minim pencahayaan.
Tangannya berusaha untuk menumpu tubuhnya dan berusaha untuk bangun. Namun, belum juga terlaksana, ia sudah merasakan tubuhnya seperti sedang ditindih sesuatu. Dan dalam hitungan detik, ia merasakan hembusan napas yang berat tepat di tengkuk lehernya, yang dibarengi dengan suara mengecap, yang terdengar dengan sangat jelas, beringas dan juga ganas.
Pakaian yang membalut tubuhnya disingkap ke atas, tanpa ia yang sempat melakukan perlawanan. Bukan sepenuhnya tidak sadar, dengan apa yang sedang berlangsung sekarang. Tapi, kelopak matanya terlalu sulit terbuka, efek minuman tak biasa , yang ia teguk dan lelaki yang sudah sepenuhnya dikendalikan oleh hawa nafsunya itu juga, malah kembali menjelajahi tubuhnya dengan menggunakan bibirnya lumayan tebal. Terlalu hanyut akan kontak fisik, yang memabukkan seperti menenggak minuman keras, tanpa wanita itu sadari, hal yang seharusnya tidak terjadi, malah menimpa dirinya.
Seorang wanita berparas cantik dengan rambut panjangnya dan baru berusia sembilan belas tahun, bersama dengan seorang laki-laki, yang tidak ia kenali sama sekali, tapi sudah berhasil membuat mulutnya meracau tidak keruan maupun mengeluarkan desahan, akibat rasa sakit yang bercampur dengan rasa nikmat.
"Buka kakimu dan rileks saja," bisikan yang membuat wanita itu seperti terhipnotis dan menuruti bisikan tadi.
Bibir bawahnya sendiri ia gigit untuk menahan rasa sakit. Tapi entah kenapa, menit-menit berikutnya, ia malah seperti menikmati dan bahkan sampai meracau tidak keruan, saat tubuh yang berada di atasnya melakukan gerakan naik-turun berkali-kali dan iapun, malah memegangi kedua bahu besar itu, lalu meremasnya dengan kencang.
Beberapa puluh menit sebelumnya.
Alunan musik yang keras, malah terdengar sayup bagi lelaki, yang tengah merasakan kekosongan di dalam hatinya. Segelas minuman beralkohol, kini menjadi teman, dikala sepi itu kembali datang lagi. Tidak terasa, sudah sembilan belas tahun berlalu, setelah rasa kehilangan itu dan tidak terasa juga, bila usianya kini, sudah mendekati kepala empat. Bahkan, ia juga memiliki seorang anak yang sudah beranjak dewasa.
Begitu cepatnya waktu berlalu dan ia lalui seorang diri, tanpa adanya pendamping hidup. Setiap rasa sepi kembali menjadi selimut yang tebal. Ia selalu datang ke sini. Meneguk minuman yang beraroma kuat, demi melupakan sedikit memori indah bersama, yang selalu datang menyapa di kehidupannya sekarang.
Akan tetapi, kehidupan yang monoton ini, agaknya akan sedikit terguncang. Berkat seorang wanita, yang sedang duduk di sisinya seorang diri dan tengah meneguk minuman yang sama dengannya.
"Sendirian??" tanya pria dewasa itu, yang kini sudah menginjak usia tiga puluh sembilan tahun, belum kelihatan terlalu tua bahkan cenderung gagah, di usianya yang matang.
Thomas Nero Davidson namanya. Seorang duda beranak satu, pemilik sebuah perusahaan yang cukup mumpuni di daerahnya.
Wanita muda itupun menoleh dan tersenyum miring. Senyuman khas, yang dimiliki oleh seseorang, yang selama belasan tahun tidak pernah Thomas lupakan. Walaupun, orang tersebut sudah tidak ada di dunia ini lagi. Senyumnya begitu mirip dan membuat Thomas merasakan sebuah sensasi Dejavu.
"Iya. Sendirian. Sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini," jawab wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca. Ia baru saja menelan pil pahit. Bila ibunda tercinta harus meregang nyawa di tangan ayah sambungnya, yang kecanduan judi online. Sekarang, ayah sambungnya itu sudah mendekam di balik jeruji besi. Sementara ia sendiri, tidak tahu harus bersandar kemana lagi. Karena ternyata, ayah sambungnya itu juga, malah meninggalkan tumpukan hutang dan rumah yang mereka tinggali pun sudah digadaikan ke Bank.
Nasib sialnya lagi. Ia harus berusaha untuk bertahan di ibukota, dengan kesulitan ekonomi, serta bayang-bayang, bila sewaktu-waktu rumah yang ia tempati saat ini, akan ikut disita juga.
Sudah harus menanggung kesedihan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Sekarang, ia juga harus kehilangan sandaran hidup. Ingin menyusul sang ibunda saja rasanya, kalau sudah begini. Tapi, ia sudah berjanji, untuk membuat ibunya bangga dengan prestasi. Setelah susah payahnya ia, yang sudah didaftarkan pada perguruan tinggi.
Air pahit itupun kembali ia teguk lagi. Karena setidaknya, hal tersebut akan menjadi obat sesaat, bagi kepalanya yang terasa sakit dan berat. Sebelum nanti, ia akan memulai kehidupan yang baru. Mencari pekerjaan paruh waktu dan mungkin juga, segera mencari kost-kostan. Karena sudah hampir jatuh tempo juga dan rumah yang menjadi tempatnya bernaung selama ini, beserta dengan kenangan masa kecilnya akan resmi disita.
Tegukan yang selanjutnya ia lakukan lagi. Tidak terbiasa minum sebenarnya. Hanya saja, kepalanya berusaha keras untuk memikirkan, sekiranya hal apa yang bisa menjadi pelarian sesaatnya dan hal inilah yang ia temukan. Hanya coba-coba dan iseng saja sebenarnya, ketika ia yang tidak sengaja melewati tempat ini. Tetapi memang, hal ini cukup bekerja juga. Pikiran akan mengakhiri hidupnya sudah pergi dan sekarang , ia merasa seperti tengah melepaskan beban berat di pundaknya dan melayang-layang, berkat air pahit yang beraroma kuat ini.
Sementara Thomas sendiri, ia hanya diam sembari memandangi dengan begitu dalam, wanita yang wajahnya terlihat memerah ini. Namun tiba-tiba, ada seorang pria yang entah dari arah mana munculnya dan langsung saja merangkul bahu wanita yang sedang Thomas pandangi saat ini.
"Hey, ladies. Sendirian??" tanya lelaki yang bergaya slengean dan Thomas pun nampak risih melihatnya. Apa lagi, seperti ada gelagat yang tidak biasa dari lelaki muda tersebut.
"Sana ah!" seru wanita tersebut sembari berusaha untuk melepaskan rangkulan pria tadi.
"Hey, tolong jangan ganggu dia!" pinta Thomas, yang sama sekali tidak dihiraukan, oleh lelaki itu, yang ternyata sudah memantau wanita di sisinya ini sejak tadi. Belum lagi, ia tidak melihat adanya keakraban antara wanita dan lelaki yang sudah berumur ini. Ia yakin sekali, lelaki dewasa inipun memiliki maksud yang sama dengannya. Oleh karena itu, daripada ia didahului. Lebih baik, ia bergerak lebih cepat saja untuk 'membungkus' wanita mabuk ini.
"Dia ini adalah pacar saya. Kami memang sedang bertengkar. Iya kan sayang?" ucap lelaki tersebut kepada wanita yang masih setengah sadar dan belum sepenuhnya kehilangan akal.
Wanita itupun menyipitkan mata dan mencetuskan kata-kata, yang membuat laki-laki muda tadi tertawa.
"Saya tidak kenal kamu!"
Senyuman menyeringai pun terlihat di bibir lelaki muda tadi. Ia tetap bersikukuh dan bahkan mencoba untuk merangkulnya lagi
"Hey, jangan begitu sayang. Aku ingin pacar kamu kan??"
"Bukan."
Thomas segera bereaksi. Ia hanya tinggal melakukan panggilan telepon saja dan pemilik bar inipun segera datang, untuk menyelesaikan perselisihan.
"Ada yang bisa kami bantu Tuan Davidson??" tanya pemilik bar dengan membawa dua bodyguard di kanan kirinya.
"Tolong bereskan lelaki ini. Dia cukup menganggu," ucap Thomas tapi lelaki tersebut tetap tidak mau pergi.
"Hey! Saya juga bayar di sini!!" serunya sembari diseret keluar.
Thomas menghela napas dan membawa wanita muda itu bersamanya. Daripada, ada lelaki lainnya lagi, yang mengganggu nya di sini, lebih baik ia saja yang membawanya pergi.
"Dimana rumahmu??" tanya Thomas setelah berhasil membawa wanita tersebut ke mobilnya.
Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang ia ajukan. Jadi, Thomas berusaha untuk menarik tas kecil yang dibawanya pun, wanita itu malah mencengkeramnya dengan erat dan berpikir ia ingin mengambil isinya. Uangnya tidaklah banyak. Jadi, dengan sisa kesadaran yang ia miliki, wanita itu mencoba untuk mempertahankannya.
"Saya tidak punya apapun lagi. Jangan ambil semuanya. Ambil apapun itu, asal jangan uang saya," ucap wanita itu dan membuat Thomas menjadi bingung.
Di sela rasa bingung, yang kini tengah Thomas rasakan. Akhirnya, mau tidak mau, Thomas pun membawanya ke sebuah hotel terdekat. Menidurkannya di atas ranjang, sampai ia yang hilang akal sehatnya dan malah meniduri gadis muda itu juga.
Pagi harinya.
Wanita yang sedang meringkuk di atas tempat tidur, dengan hanya berbalut selimut saja itupun membuka kelopak matanya. Ia melihat ke sekeliling ruangan yang terasa asing, hingga menemukan orang asing, yang juga berada di sisinya, yang tengah menyandarkan punggungnya di tepi tempat tidur sembari menatap wanita, yang baru bangun dan kelihatannya bingung ini.
"Hey, kamu sudah bangun??" tanya Thomas dengan raut wajah, yang begitu semringah sekali.
Bagaimana tidak, sudah menduda sekian lama dan ia langsung bisa menghisap bunga, yang benar-benar baru mekar- mekarnya. Jadi mengingatkan, kepada mendiang istrinya dulu. Mereka menghabiskan malam bersama, meskipun akhirnya jadi tanggung jawab seumur hidup yang harus ia pikul.
Sekarang, setelah sekian lamanya ia tidak menyentuh wanita, malam ini ia bisa merasakan kenikmatan itu lagi, seperti kali pertama ia lakukan bersama istrinya. Rasanya mirip dan ia seakan Dejavu dengan apa yang sudah terjadi tadi malam. Belum lagi, senyuman yang begitu miripnya, yang dimiliki oleh wanita wanita asing, yang berada di sebelahnya ini dan malah terlihat shock, setelah sadar mereka berdua berada di atas ranjang dan juga selimut yang sama serta tanpa adanya pakaian di tubuh mereka berdua.
"Anda siapa!?? K-kenapa saya...," ucap wanita tersebut yang seketika tertegun, dengan isi pikiran yang bergulir pada kejadian semalam.
Seperti mimpi. Tapi ternyata...
Oh ya Tuhan! Apakah ia sudah melewatkan malam, bersama dengan laki-laki asing ini???
"Semalam, kita...," ucap lelaki yang kini menggigit bibir bawahnya sendiri sembari menatap tubuh wanita yang tadi bertanya kepadanya. "Ya begitulah. Aku tidak menyangka, bila kamu baru pertama kali melakukannya. Kalau kamu mau aku bisa...," ucapan Thomas tidak dihiraukan oleh wanita, yang kini menyambar pakaian miliknya yang berserak di lantai dan langsung pergi begitu saja ke kamar mandi.
Gadis itu, adalah Vivian. Wanita yang baru berusia sembilan belas tahun dan baru duduk di bangku kuliah tahun pertama. Tidak pernah disentuh oleh laki-laki manapun dan baru pertama kali melakukannya dengan pria asing tadi!
Vivian cepat-cepat keluar dari dalam kamar mandi dan ingin segera keluar juga dari ruangan ini. Tetapi, lelaki dewasa yang hanya memakai celana pendek saja itupun segera mencekal lengannya dan tidak membiarkan Vivian pergi dari hadapannya sedikitpun.
"Kamu mau kemana??" tanya Thomas sembari mencekal erat lengan Vivian.
"Aku harus pulang," ucap Vivian yang masih seperti orang yang linglung.
"Kemana?? Aku antarkan kamu ya? Tunggu sebentar, aku pakai pakaianku dulu," ucap Thomas sembari melepaskan cekalan tangannya pada lengan Vivian.
Namun, baru juga menaikkan celana panjangnya. Vivian bergegas pergi dan berlari dari harapan Thomas.
"Hey! Tunggu dulu!!" seru Thomas yang cepat-cepat menyelesaikan penggunaan celananya, kemudian ia pakai kembali juga kemeja di tubuhnya dan setelah itu, lalu ia cepat-cepat berlari keluar untuk menyusul Vivian, yang sudah hilang bersama dengan lift yang turun ke bawah.
"Astaga Vivian!! Bukannya hilang masalah. Tapi malah tambah masalah yang baru!" rutuk wanita yang sedang berjongkok di lift seorang diri sembari dengan menarik rambutnya kuat-kuat di kanan dan kirinya.
Di sebuah kampus.
Di bawah pepohonan yang rimbun. Vivian tengah menutupi wajahnya sendiri, sembari merutuki nasib sialnya akhir-akhir ini. Sudah kehilangan ibu dan juga kehilangan tempat tinggal. Iapun harus kehilangan kehormatannya juga.
Bagaimana nasibnya sekarang?? Apa susul saja ibunya?? Tetapi, mendiang ibunya pasti akan kecewa. Karena bukannya berjuang, ia malah mengakhiri hidupnya juga.
"Hey, Vi!" seru Yasmine, yang duduk di sisi Vivian sambil memperhatikan leher Vivian yang ada noda merahnya.
"Itu apa, Vi?? Kok leher kamu merah-merah begitu??" ucap Yasmine dengan dahi yang mengernyit keheranan.
"B-bukan apa-apa kok. Ini, aku... Aku digigit binatang. Jadinya gatal-gatal,," ucap Vivian sembari menaikkan syal di lehernya dan berpura-pura menggaruk-garuk lehernya juga.
"Oh iya! Kita jadi kan hari ini??" tanya Yasmine.
"Memangnya boleh??" tanya Vivian.
"Ya kita tanya aja dulu. Sekalian, aku kenalin kamu juga ke Daddy-ku. Jangan sampai suka tapi ya? Soalnya aku nggak mau punya ibu tiri. Apa lagi dari teman sendiri!" seru Yasmine.
"Ya nggaklah! Aku nggak tertarik dengan pria tua kok!" cetus Vivian.
"Ok. Kalau begitu, ayo jalan! Kelas udah selesai kan??"
"Iya sudah."
Sesampainya di kediaman Yasmine.
Vivian yang baru tiba itu, nampak memperhatikan sekeliling rumah. Cukup besar dan juga nyaman. Bahkan lebih besar dua kali lipat, dari tempat tinggalnya yang akan disita Bank. Akibat kelakuan ayah tirinya yang sembarangan.
Sedang sibuk melihat-lihat ke sekeliling rumah, tiba-tiba saja, Vivian diam membeku, saat melihat sebuah foto yang merupakan foto keluarga dan terpajang di ruang tamunya.
Foto berukuran besar, yang terpasang di dinding ruangan tersebut. Hanya ada dua orang di dalamnya dan itu adalah Yasmine, bersama sosok laki-laki, yang wajahnya tidaklah asing bagi Vivian.
"Kamu sudah pulang??" tanya sebuah suara , yang semakin membuat Vivian tersentak dan juga membuka mulutnya.
Dari suaranya. Seperti suara...