Secret Love Affair

2195 Kata
Thomas masih ingat dengan jelas. Kala pertama kali mereka melakukannya. Awalnya memang kaku, tapi setelah merasakan kenikmatannya. Vivian pun maju sendiri dan mengendalikan permainan. Wanita kalau sedang mabuk, akal sehatnya jadi tidak bekerja dengan benar. Tetapi baguslah, karena ia menyukai hal itu. "Om, itu cuma kesalahpahaman. Malam itu saya sedang mabuk. Tidak sadar!" "Tapi saya sangat sadar, dengan apa yang telah terjadi diantara kita. Kamu tidak bisa memungkiri itu kan? Kita sudah menyatu dan melewati malam yang indah bersama. Aku benar-benar tidak bisa melupakannya. Senyuman itu dan juga aroma tubuh kamu. You make me feel the sensation of heaven on earth," ucap Thomas yang kini mendekati Vivian lagi secara mendadak dan menyibak rambut dari leher Vivian, lalu mengecup lehernya dengan mata yang terpejam. Vivian telan salivanya dan segera mendorong lelaki dewasa, yang sedang panas ini. Cukup sekali kesalahannya. Tidak akan ia ulangi, untuk yang kedua kalinya. Apa lagi bersama dengan lelaki, yang merupakan ayah dari sahabatnya sendiri. "Om lepas," ucap Vivian sembari mendorong tubuh Thomas dan menatapnya dengan benar-benar serius. "Lupakan apa yang pernah terjadi. Itu salah, Om! Ya anggap saja, bila semua itu cuma mimpi. Bisa kan, Om???" Thomas menyunggingkan senyumnya dan memunculkan sebuah senyuman smirk. " Oh ya?? Mimpi?? Tapi kenapa, rasa mimpinya sangat nyata?? Aku bahkan tidak bisa melupakannya sama sekali. Semuanya masih bergulir di dalam kepalaku dan aromanya pun masih sangat membekas di indra penciumanku ini," ucap Thomas sembari mendekati Vivian lagi dan menelan salivanya sendiri. Ia nampak berucap dengan mata yang sayu kepada wanita, yang sudah berada di dekatnya lagi ini. "Aku tidak bisa melupakan, betapa nikmatnya tubuh kamu dan juga, betapa merdunya suara desahan kamu malam itu," ucap Thomas, yang sudah benar-benar tergila-gila, kepada wanita yang adalah teman dari putrinya sendiri. Sudah terlalu lama menduda dan sekalinya bisa sampai berhubungan badan, ia jadi tidak ingin lepas lagi. Jadi tidak peduli, siapapun wanita ini. Kalau sudah suka, ya harus ia kejar terus. "I like you. Do you want to be my lover, Vivian?" ucap Thomas, yang benar-benar sedang dimabuk asmara. Usianya sudah hampir kepala empat. Tapi ia merasa, bila usianya stuck di angka dua puluh tahunan. Karena tahun-tahun sebelumnya, ia habiskan untuk sibuk mengurusi anak, pendidikan maupun pekerjaan. Sekarang, ia bak menyambung dan memulai kembali masa-masa percintaannya yang sempat hilang dan itu bersama dengan wanita, yang senyumannya mengingatkan akan cinta pertama sekaligus mendiang istrinya. Vivian menelan salivanya lagi. Ia pandangi lelaki, yang ucapannya aneh ini. Dari bentuk wajah, bibir, mata maupun tubuhnya. Tidak dapat Vivian pungkiri, bila lelaki matang ini cukup menarik juga. Apa lagi, kehangatan yang ia berikan malam itu, juga sudah sampai bisa membuatnya tidak terkendali. "Yasmine bisa marah nanti, Om," ucap Vivian, yang bukannya tegas menolak tapi malah memikirkan resiko, bila hal itu benar terjadi. "Tidak akan. Bila kita sama-sama tutup mulut. Seperti ini," ucap Thomas yang tiba-tiba saja meraup bibir Vivian dan memagut dengan gemas. Vivian membeliak diawal. Tapi memejamkan mata dan juga menikmati pagutan, yang tengah Thomas berikan. Oh gilanya ia. Apa yang sedang ia lakukan sekarang?? Vivian mendorong kedua bahu Thomas. Namun, Thomas yang sedang dimabuk cinta ini, enggan berakhir cepat-cepat. Ia maju kembali dan memagut bibir Vivian untuk yang kedua kalinya. "Vi!!" suara panggilan dari luar kamar, yang diikuti dengan suara ketukan pintu juga. Vivian bergegas mendorong tubuh Thomas dan turun dari atas ranjang dengan resah. Bagaimana ini?? Kalau sampai ketahuan, habislah ia oleh sahabatnya itu. Thomas menyentuh ujung bibir dengan jari telunjuknya. Kemudian mendekati Vivian dan bicara bisik-bisik padanya. "Aku akan sembunyi di kamar mandi dan kamu bisa menemuinya." Vivian mengangguk paham dan Thomas segera melakukan rencananya tadi. Setelah pintu kamar mandi tertutup rapat. Vivian menarik dan juga mengembuskan napas. Ia mencoba untuk terlihat tenang dan pergi ke pintu, lalu memutar kuncinya serta membuka pintunya juga. "Sudah tidur ya??" tanya Yasmine, yang menyembul dari balik pintu kamar. Sementara Thomas sedang mendengarkan dari balik pintu kamar mandi. "Iya. Baru bangun," ucap Vivian sembari tersenyum kaku. "Aku lapar. Kita ke bawah, terus masak mie instan yuk!" ajak Vivian sembari melirik ke arah pintu kamar mandi. "Iya. Ayo. Kita pergi ke dapur sekarang!" seru Vivian dengan lantang. Jadi yang berada di kamar mandi paham dan bisa segera keluar, saat mereka pergi ke dapur. Pintu kamar Vivian tutup dan ia mengikuti Yasmine untuk pergi ke dapur. Mereka berdua membagi tugas. Yang satu mengiris cabai dan yang satunya, sudah mulai memanaskan air dalam panci. Vivian bagian mengiris cabai ia iris sambil memikirkan, lelaki tadi sudah keluar belum dari kamarnya. Karena bahaya sekali, bila ia masih berada di sana. "Aduh!" Vivian menekan jari telunjuknya yang mengeluarkan cairan merah. Ia cepat-cepat hisap aliran cairan tersebut secara reflek. Tapi otaknya yang sedang tidak bisa berpikir jernih ini, malah kembali terbayangkan, atas peraduan bibir antara ia dengan lelaki, yang merupakan ayah dari temannya ini sendiri. "Kenapa, Vi??" tanya Yasmine yang mengecilkan api kompor dan melihat keadaan Vivian. "Oh, ini tadi kena pisau," ucap Vivian. "Ya ampun. Hati-hati dong. Itu, pakai plester sana, ada di kotak P3K," perintah Yasmine, sembari menunjuk ke arah dinding, yang dekat dengan pintu masuk dapur dan ada kotak P3K, yang menempel pada dindingnya. "Iya," ucap Vivian yang segera melakukan apa yang Yasmine katakan. "Habis, Yas," ucap Vivian yang sudah memeriksa, tetapi tidak ada apa yang ia cari. "Masa sih??" ucap Yasmine yang ikut-ikutan memeriksa ke kotak tersebut. "Iya ya. Habis. Ada sih di kamar. Mau aku ambilkan??" tanya Yasmine. "Ah tidak usah. Lukanya juga tidak seberapa." "Tapi kalau kena debu dan kotor, bisa jadi infeksi lho. Nanti kalau kita sudah selesai. Kamu pakai ya? Di kamar kamu juga ada sih. Di dekat wastafel kamar mandi. Dad sengaja memasang kotak P3K di setiap kamar dan juga dapur. Jadi kalau ada apa-apa. Sakit demam atau apa, tidak perlu jauh-jauh ke sini." "Iya. Nanti setelah dari sini, aku akan cari plester di sana." "Ya sudah. Sini aku yang teruskan. Kamu masukkan mie-nya saja," ucap Yasmine yang kini bertukar tugas dengan Vivian. Satu mangkuk besar mie, dengan topping sayuran, telur maupun sosis sudah terhidang di atas meja dan dinikmati bersama dalam satu wadah itu. Nikmatnya sekali ternyata. Andai ia punya saudara. Hanya saja, nasibnya yang sama-sama anak tunggal seperti Yasmine juga. "Seru deh. Kalau ada teman begini. Makan pun enak kalau bersama-sama. Iya kan??" ucap Yasmine. Vivian mengangguk setuju. "Iya betul." "Besok-besok kita buat yang lain yuk! Nanti sambil mengerjakan tugas kuliah juga boleh." "Eum, tapi aku harus cari pekerjaan besok. Aku tidak enak kalau lama-lama menumpang terus. Jadi, secepatnya harus cari pekerjaan, terus cari kost-an juga." "Yah... Minggu depan saja dong. Minggu-minggu ini, kita habiskan waktu bersama. Nonton Drakor juga. Baru nanti cari pekerjaan," saran Yasmine yang agak berat untuk Vivian lakukan. Ia tidak boleh berlama-lama di sini. Bahaya. Ayah sahabatnya ini, entah sudah kerasukan apa. Tadi saja, diam-diam masuk ke dalam kamar maupun ke dalam selimutnya. Nanti-nanti apa lagi?? "Ya sudah deh. Hanya satu minggu kan. Setelah itu, aku akan cari pekerjaan part time." "Ok!" Vivian dan Yasmine menyeruput mie sampai habis. Setelah itu, mereka berdua naik ke lantai atas bersama dan berpisah di depan pintu kamar masing-masing. Vivian segera mengambil plester dari dalam kotak P3K, yang ditempel pada sisi kiri wastafel. Setelah itu, ia pasangkan pada jarinya yang terluka tadi. Tapi, lingkaran tangan dari belakang tubuhnya malah membuat Vivian melonjak kaget. "Ada apa dengan tanganmu?" tanya lelaki yang ternyata belum pergi dan malahan bersandar dagu di pundak Vivian. Vivian segera menyingkir dan menatap lelaki, yang sedang menatap ke arah luka di tangannya itu. "Apa kamu terluka?" tanya Thomas dan Vivian tetap diam saja. Lelaki yang malah akan menambah masalah di hidupnya saja. Thomas mendekat. Ia mengangkat tangan Vivian dan melihat luka di jari telunjuknya. "Kenapa bisa jadi begini? Sini, biar aku pasangkan ya?" Thomas memegang tangan Vivian dan memasang plester dengan posisi melingkar. Lalu tinggal sentuhan terakhirnya saja, Thomas membubuhkan sedikit kecupan di jari telunjuk Vivian yang terluka. "Sudah," ucapnya sambil tersenyum. "Kenapa masih di sini?? Bagaimana kalau ketahuan Yasmine??" bisik Vivian dengan mata yang terbuka dengan lebar. "Aku sedang menunggunya tidur. Kalau keluar sekarang, bukankah malah berbahaya?" "Terus kenapa tidak dari tadi saja! Aku sudah berteriak dengan keras kan tadi, kalau kami mau pergi ke dapur!" ucap Vivian dengan penuh penekanan. "Iya. Tapi aku masih ingin berada di sini. Di dekat kamu," ucap Thomas yang tiba-tiba saja meletakkan dagunya di bahu Vivian dan terlihat manja sekali. Seseorang, kalau sudah merasakan suatu kenyamanan pasti akan menunjukkan sosok lain dari dirinya dan Vivian, masih juga tidak menyangka, bila ada lelaki bertubuh dewasa ini yang mengejarnya tanpa henti. Bahkan, ingin menjalin hubungan cinta dengannya juga. Oh ya Tuhan. Mimpi apa ia semalam!! Vivian menyingkirkan dagu orang tersebut dengan mendorongnya. Ia mundur dan menjauh, dari orang yang tidak ada canggungnya sama sekali. "Apa anda tidak punya malu??" tanya Vivian, kepada lelaki yang seperti tidak menganggap, bila ia ini seusia dengan putrinya sendiri. "Kenapa harus malu? Kita bahkan, sudah pernah saling melihat tubuh masing-masing, tanpa sehelai pakaian pun. Iya kan? Jadi , apa masih perlu, merasakan rasa malu lagi??" ucap Thomas sambil menaikkan kedua alisnya ke atas bersamaan. Vivian menganga. Efek pernah tidur bersama. Lelaki ini, malah jadi sangat menggila! "You are mine. Tidak boleh ada yang lain selain aku di hatimu. Ok?" ucap Thomas dengan seenaknya sekali. "Saya mengantuk sekali. Saya butuh tidur!" cetus Vivian, yang segera pergi dari kamar mandi dan naik ke atas ranjang, lalu merebahkan di atas sana. Ia cepat-cepat memejamkan matanya, agar lelaki dalam kamar ini segera pergi dan tidak mengganggunya lagi. Dahi Vivian mengernyit, ketika ia merasa selimut yang naik ke atas tubuhnya. Tapi kemudian jantungnya segera melonjak, ketika sebuah kecupan malah mendarat di pipinya sekarang. "Good night my love," bisik Thomas dengan lembut. Vivian menarik napas dan juga mengembuskannya dengan pelan. Oh ya ampun. Bagaimana bisa, lelaki ini bisa begitu luwes dalam memperlakukannya secara intim?? Apa efek hubungan intim yang telah terjadi diantara mereka berdua, bisa sedahsyat ini?? Ia jadi takut. Meskipun sama-sama single. Tapi... Rentan usia mereka? Belum lagi, kenyataan bila lelaki ini adalah ayah dari temannya sendiri, membuat ia merasa seperti wanita yang tidak memiliki etika. "Tidurlah. Aku akan keluar sekarang," ucap Thomas seraya berjalan ke arah pintu. Ia buka pintu tersebut dan melihat ke kanan serta ke kiri, baru setelahnya ia pergi dan Vivian baru bisa membuka kelopak matanya lagi. Tubuh Vivian bergulir dan kini nampak dalam posisi telentang. Ia ingat-ingat kelakukan pria dewasa tadi. Termasuk, saat lelaki itu berada di atas tubuhnya juga. Vivian menggeleng dan segera kembali meringkuk ke samping. Pantas saja, dia bilang sulit untuk melupakan. Karena, ia sendiri malah teringat lagi. "Ya ampun, Vi. Bodoh sekali sih??" rutuk Vivian terhadap dirinya sendiri. Harusnya, ia tidak boleh terlalu terbawa suasana. Sekarang, bahkan ada yang tidak ingin lepas dan mengklaim dirinya sebagai 'miliknya'. Konyol sekali. Esok paginya. Lelaki yang duduk di tengah-tengah nampak semringah sekali. Belum lagi, aroma parfum yang dikenakan, membuat wanita yang merupakan putri semata wayangnya itu segera mendelik dan menatapnya dengan penuh selidik. "Dad?? Tidak biasanya Dad sewangi ini???" protes Yasmine, yang merasa ada yang tidak beres dengan sang ayah. "Kenapa?? Dad hanya memakai parfum yang biasanya Dad pakai." "Iya. Tapi...," Yasmine mencondongkan tubuhnya ke dekat sang ayah dan berkata lagi, "Ini lebih menyengat dari biasanya, Dad!" seru Yasmine. "Ah itu hanya perasaan kamu saja. Ayo cepat habiskan sarapan kamu. Nanti Dad antar ke kampus," ucapnya sembari melirik kepada Vivian juga, yang tidak mau menatap kepadanya sama sekali. Setelah sarapan pagi usai dilakukan dan Thomas sudah tiba dengan mobil yang ia kemudikan, hingga ke kampus sang anak. Yasmine membuka pintu mobil sama seperti Vivian juga dan saat Vivian berpegangan pada kursi yang sempat Yasmine duduki tadi. Tangannya tiba-tiba saja diraup oleh Thomas dan Vivian beraksi cepat dengan menarik tangannya sambil melihat kepada Yasmine, yang sedang menghadap ke depan jadi tidak melihat apa yang ayahnya tadi lakukan. Thomas menyunggingkan senyuman dan Vivian segera buang muka, lalu menatap Yasmine yang tengah membungkukkan dan menatap sang ayah dari kaca mobil yang terbuka. "Dad, Yasmine dan Vivian kuliah dulu ya?? Nanti siang, dijemput Pak Berry seperti biasa kan??" ucap Yasmine yang segera berbalik dan menatap sang ayahandanya lagi. "Iya sayang. Ya sudah. Rajin-rajin belajarnya ya? Ingat, jangan dekat-dekat dengan lelaki manapun itu!" seru Thomas, yang menjaga putrinya dengan cukup ganas. Ia tahu kenakalan para lelaki muda. Ya karena saat kuliah ia termasuk ke dalam salah satunya. Makanya, ia bisa sampai memiliki Yasmine dan menikah di usia dini. Memang karena ia adalah lelaki, yang termasuk ke dalam kategori 'nakal'. "Iya, Dad. Tenang saja. Ada Vivian yang jadi mata-mata Yasmine sekarang," ucapnya sembari tersenyum hingga kelopak matanya membentuk lengkungan yang manis. "Baguslah. Untung saja ada Vivian. Dia memang, paling bisa untuk diandalkan," puji Thomas tapi dengan ekspresi wajah yang biasa. Padahal dalam hati sudah tersenyum dengan lebar sekali. Hanya saja, ia perlu untuk menjaga sikap, agar putrinya tidak sampai curiga kan?? Bahaya, bila ia sampai tahu, bila ayahnya memiliki affair dengan sahabatnya sendiri. "Ya sudah. Sana masuk!" perintah Thomas. "Siap, Dad!" seru Yasmine sembari memberikan gerakan hormat di pelipisnya, lalu mengandeng Vivian untuk masuk ke dalam gedung tinggi di depan sana. Thomas tidak segera berangkat, ia bergeming dulu sambil memperhatikan keduanya. Terutama dan terlebih khusus, tentu saja Vivian. Tapi setelah punggungnya sudah tidak terlihat Thomas pun menghela napas dan melaju lagi untuk datang ke kantornya pagi ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN