Tepat tengah hari semua crew sudah membubarkan diri setelah dengan rapi menyimpan semua peralatan di rumah Dion yang berada di Bali.
Tempat itu tidak begitu besar, namun terlihat cantik dan asri. Berada tepat pada barisan paling depan di sebuah perumahan, menjadi sebuah keuntungan jika bangunan tersebut memiliki sisa lahan yang cukup luas untuk dijadikan taman dan kebun.
Bangunan khas Bali lengkap dengan balai bengong di depan rumah yang menghijau teduh karena tanaman yang tumbuh subur, membuat tempat itu berkesan layaknya sebuah villa peristirahatan.
Dulu, Dion bisa membeli rumah yang dijual dengan harga murah tersebut atas bantuan dan informasi teman-temannya yang banyak Ia kenal di seputar Denpasar.
Tak heran juga, karena seringnya Ia melakukan pemotretan disini, Dion jadi banyak mengenal komunitas pecinta fotografi setempat.
Dan sekarang, Denpasar menjadi seperti rumah kedua baginya. Karena itulah, setiap kali bekerja di wilayah Bali, Ia selalu menggunakan asisten-asisten lokal untuk membantunya.Selain praktis, biaya yang dibutuhkan juga menjadi rendah dibanding harus membawa crew dari Jakarta.
“Mas Dion mau makan lagi?” tanya Nina pada Boss-nya setelah mereka hanya tinggal berdua saja di rumah.
“Hmm... boleh. Kita keluar cari makan?”
“Males, Mas. Mending aku saja yang beli nasi bungkus untuk dimakan dirumah. Dekat sini kan ada rumah makan padang.”
“Oke, aku nurut aja. Terserah kamu mau beli apa. Yang penting kita kenyang.”
Laki-laki berusia 30 tahun itu terus saja ngeloyor pergi menuju kamar. Ia masuk, namun tetap dengan kebiasaan tak menutup pintu kamarnya.
Hal itu juga salah satu yang kadang membuat Nina jengah. Tingkah semau sendiri khas seniman kurang sopan cenderung jadi kebiasaan buruknya saat di rumah.
Terkadang tanpa rasa malu sedikitpun Ia berkeliaran dengan hanya mengenakan celana dalam saja, bahkan walaupun ada Nina yang notabene bukan siapa-siapanya.
Dion baik, sangat baik malah. Namun Ia benar-benar layaknya mahluk asing yang tak mengenal adab jika sedang tidak ada orang lain.
Terlepas dari segala pencitraan saat bertemu dengan kolega atau klien, Ia benar-benar mahluk bar-bar tanpa etika meski sadar ada seorang gadis lajang di dalam rumahnya.
Oh My God... tak jarang Nina ingin memaki atau meneriakinya, tapi semua pasti hanya dianggap seperti angin lalu.
Karena pada suatu ketika dulu, komplain Nina tentang sopan santun hanya Ia jawab dengan nada ringan.
Meski bukan jawaban melecehkan, yang jelas itu suatu ungkapan ‘bodo amat’ dalam bahasa halus.
Karena itulah, meski dengan perjuangan yang terasa melelahkan, akhirnya gadis itu bisa menyesuaikan diri untuk kadang hidup dalam satu atap bersama manusia gua yang belum mengenal peradaban tersebut.
Setelah menghela nafas panjang, Nina memanggil topeng masa bodohnya kembali agar dapat normal menghadapi manusia kurang normal itu.
Bergegas Ia mengambil helm, meraih kunci motor dan meninggalkan rumah untuk membeli makan siang mereka.
---
“Aku pergi dulu, ya...,” sambil bersiul, Dion berjalan menuju pintu rumah dengan tangan yang masih sibuk membereskan rambutnya yang sudah menyentuh krah baju.
Lelaki itu terlihat segar dan agak lumayan ganteng di mata Nina kalau mau rajin mandi dan sedikit berdandan.
Dion mengenakan jeans dipadu kaos lengan panjang yang dimasukkan dalam celana. Menutupi kaus, Ia memakai sweater rajut tanpa lengan sehingga terlihat casual namun sopan.
“Hati-hati, Mas,” Nina menyahut tanpa menengok, Matanya tetap tertuju pada laptop di atas meja makan.
“Eits, mana kunci motor?”
“Lho, Mau bawa motor?”
“Iya lah, dekat ini. Ngapain juga repot bawa mobil?”
“Ini, Mas,” mau tak mau, Nina harus bangkit dari duduknya dan mengangsurkan kunci sepeda motor kepada Dion.
“Oh, iya. Ada yang lupa. Dompet. Masih di tempat kamu, kan?”
“Eh, Iya. Maaf,” lagi-lagi, Nina harus berdiri dan beranjak menuju kamarnya untuk mengambil dompet Dion yang tadi Ia selipkan di sela backpacknya.
Kembali bersiul, Dion ngeloyor pergi tanpa menengok lagi. Sesaat kemudian suara mesin motor matic terdengar, fotografer itu melaju keluar dengan santai untuk berangkat memenuhi undangan makan malamnya.
Tiba di sebuah Villa megah dekat pantai Canggu, Ia memarkir motor di depan sebuah mobil yang berada di carport. Baru melangkah menuju teras depan, tiba-tiba pintu telah terbuka lebar.
Seorang wanita cantik dan matang keluar menyambutnya. Mona, secepat Dion datang telah bersiap menemui sang Arjuna.
Wanita itu mengenakan pakaian terusan berbahan tipis tanpa lengan berwarna hitam. Orang awam mungkin akan mengatakan jika itu adalah sebuah lingerie. Tapi bukan, karena itu adalah sepotong gaun malam seksi dengan tali kecil yang menahan pada pundak.
Lalu yang lebih membuat hati berdebar adalah pancaran aura sensual dari sang wanita cantik pemilik Villa itu.
Terlihat jelas di mata Dion sebagai lelaki dengan jam terbang tinggi dalam urusan wanita, Mona tak mengenakan sepotong kain-pun di balik pakaian yang di kenakan itu.
Gaun yang dikenakan Mona benar-benar mengisyaratkan sebuah godaan untuk menghadirkan dosa.
“Selamat malam, Mona.”
“Selamat malam, Dion.”
Bak sepasang kekasih yang baru saja bertemu setelah sekian lama berpisah, Dion mengulurkan tangan untuk memberikan setangkai mawar merah yang tadi Ia beli dalam perjalanan.
Begitu mesra Mona menerima kuntum bunga lambang cinta itu. Kemudian dengan wajah berseri, Ia merangkulkan sebuah lengan ke leher Dion sambil berjinjit untuk mencium bibir jantan sang lelaki.
“Yuk, Masuk. Hanya kita berdua saja di sini. Upiek sengaja aku suruh pergi jalan-jalan bersama penjaga Villa. Malam ini aku ingin sebuah privacy.”
Meja makan telah tertata sedemikian rupa. Mona menyalakan lilin di tengah meja, lalu mulai menyuguhkan makanan pembuka yang Ia ambil dari microwave. Romantic dinner dimulai.
Dengan perlahan, mereka berdua menikmati makan malam. Keduanya berbicara tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan gosip terbaru dan juga tak ketinggalan skandal-skandal yang meramaikan jagad selebrita.
Meski merasa bosan, Dion tak mau memperlihatkan hal tersebut di depan Mona. Ia bersikap santai dan menunjukkan seakan menikmati dunia yang sebenarnya sering membuatnya bosan.
Entah kenapa akhir-akhir ini Dion sering merasa jenuh dengan apa yang Ia hadapi setiap harinya. Padahal, jika dipikir hal itu sangatlah kontraproduktif dengan profesi yang Ia jalani.
Uang mengalir dalam jumlah banyak karena Ia bisa masuk dalam dunia papan atas ini, dimana seolah tak ada nominal yang rasional dalam transaksi pekerjaannya.
Bayangkan saja, hanya untuk sesi pemotretan yang memakan waktu beberapa jam, Dion bisa mengantongi jumlah uang sampai puluhan juta rupiah.
Itu merupakan penghargaan atas keahlian, benar sekali kalau orang mengatakan hal tersebut.
Tapi bagi Dion, semua yang ia jalani menjadi tampak sangat mudah. Dalam pekerjaan Dion, uang bukan suatu masalah besar karena Ia menerima sallary yang sangat memuaskan.
Hanya tentu saja akan menjadi masalah yang sangat besar kalau yang bersangkutan sudah tidak bisa menikmati profesi dengan segala konsekuensinya itu.
Dan malam ini, Ia akan membayar konsekuensinya dengan menerima sebuah undangan terselubung. Dion harus rela bercinta dan memuaskan gairah wanita cantik kesepian ini yang beberapa kali telah bersedia membayar begitu banyak untuk jasanya sebagai seorang fotografer.
***