Langkah kaki Jenifer nampak pelan setelah keluar dari ruangan dimana Nia dan suaminya berada. Memasuki lift saja, Jenifer berdiri mundur paling belakang di ikuti Dimas. Pria itu hanya tersenyum tipis melihat kecanggungan Jenifer. Kali pertama Dimas melihat seorang wanita seperti itu dengan perasaan yang tidak mudah di tebak.
"Mereka berniat menjodohkan kita, bagaimana tanggapanmu?" tiba-tiba Dimas bertanya hal yang sulit di pikirkan Jenifer.
Masih dalam diam, Jenifer memilih untuk tidak menjawabnya. Dia berharap lift segera terbuka mengurangi rasa canggung dan sesaknya.
"Bagaimana jika kita melakukannya?" tanya Dimas lagi.
"Hah?" tatap Jenifer terkejut.
"Melakukan apa yang menjadi tujuan mereka?" lanjut Dimas.
"Maksud Anda?" tanya Jenifer.
"Jadi kekasih atau yang lainnya?" jelas Dimas.
Jenifer merasa lega, Dimas berbicara di luar pikirannya. Semenjak di ceraikan, Jenifer memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengan pria manapun untuk menghindari fitnah suaminya. Meski begitu, Bara tetap saja menuduhnya berselingkuh dan menceraikannya.
"Untuk apa?" tanya Jenifer.
"Mungkin untuk membungkam mulut seseorang?" jawab Dimas.
Pintu lift terbuka, mereka melangkah keluar sambil bicara pelan.
"Kalau Kamu setuju, kita bicara di suatu tempat yang nyaman. Daripada disini Kamu anggap terlalu canggung?" ucap Dimas.
"Hmm."
Dimas menganggap ajakannya di setujui oleh Jenifer. Sebuah mobil mewah berwarna hitam mengejutkan Jenifer.
"Kenapa?" tanya Dimas.
"Apa tujuan kita jauh?" balas Jenifer.
"Hmm, paling setengah jam."
"Aku sedikit mabuk kalau berlama-lama naik mobil," ucap Jenifer.
"Hah, iyakah? Aku akan mengurangi suhu di dalam mobil." Dimas mencoba memahami Jenifer.
Meski ragu-ragu, Jenifer tetap ikut masuk ke dalam mobil bersama dengan Dimas.
"Kamu tidak salah membiarkan aku kenal dengan pria bermobil?" Jenifer mengetik pesan di ponsel dan mengirimnya pada Nia.
Dimas duduk di balik kemudi sambil menutup pintu. Dia menoleh ke arah Jenifer menatap bertanya. "Bukankah adikmu juga membawa mobil?"
"Jarang aku ikut menaikinya."
"Karena mabuk?" tanya Dimas.
"Hmm." Angguk Jenifer.
Dimas terdiam, dia memikirkan tempat yang tepat untuk mengurangi perjalanan. "Kita cari tempat makan saja kalo gitu!"
"Makan?" tanya Jenifer.
"Kamu belum makan kan? Sambil membicarakan yang aku katakan tadi."
"Bagaimana Kamu saja." Jenifer masih ragu setiap kali bicara dengan Dimas.
"Mau aku pasangkan sabuknya?" tanya Dimas lagi.
"Hah, aku bisa sendiri," bergegas Jenifer memasang sabuk pengamannya.
Notif pesan di ponselnya berbunyi, sambil mobil melaju Jenifer mengerutkan dahi membaca balasan pesan dari adiknya. Dimas juga ikut memperhatikan Jenifer sesekali melihat perubahan wajah gadis itu di balik kaca di depannya.
Sementara Jenifer merasa kesal dengan ucapan adiknya. "Selain bermobil, dia juga tampan Kak. Tidak sulit bagi Kakak mendapatkannya."
Membacanya saja membuat Jenifer kesal, apalagi mendengar langsung dari mulut adiknya itu. Dia pasti akan memukul isi rencana dari kepala Nia itu.
"Tidak sulit kepalamu!" rutuk batin Jenifer.
"Memangnya Kamu sedang nyari pekerjaan, Jen?" tanya Dimas memecah suasana hening sepanjang jalan.
"Mungkin iya, mungkin juga tidak."
"Kenapa begitu?"
"Meski tidak seberapa, tapi aku punya pemasukan kalo hanya untuk sendiri," jelas Jenifer.
"Pekerjaan apa itu?"
"Hanya bantu-bantu teman membuat naskah, dia bekerja sebagai penulis dan aku membantunya," jelas Jenifer lagi.
"Kenapa bukan Kamu kerjakan sepenuhnya saja?"
Jenifer terdiam, dulu dia juga berpikir begitu. Tapi demi menuruti mantan suaminya yang tidak mau jika istrinya memiliki pendapatan lebih tinggi darinya, membuat Jenifer tidak memiliki minat menjadi seorang penulis. Dia hanya membantu temannya sekedar memenuhi uang kebutuhannya.
"Tidak kenapa-kenapa," jawab Jenifer.
Dimas mengangguk, dia kembali fokus dengan kemudinya lalu memasuki area taman kota sambil mencari-cari tempat tujuannya. Jenifer juga terkagum melihat pemandangan taman kota yang hijau asri segar hingga dia tidak menyadari jika mobil sudah berhenti.
"Ini dimana?" tanya Jenifer mengikuti Dimas keluar dari mobil.
"Ini tempat yang pas untuk mengobrol."
Jenifer berjalan mengikuti di belakang Dimas hingga pria itu memesan tempat privat untuk mereka.
Meski merasa heran, tapi Jenifer tidak berpikir lain saat Dimas memesan tempat khusus. Masuk ke sebuah ruangan, Dimas mempersilahkan Jenifer duduk.
"Tempat ini tidak jauh beda dengan tadi."
"Tidak sama," bantah Dimas.
"Sama-sama tertutup," elak Jenifer.
"Lihatlah!" seru Dimas menunjukan arah jendela dengan tirai yang terbuka.
Pemandangan yang tenang dengan sebuah danau rimbun pepohonan di setiap sisi menyejukan mata. Keberadaan restauran di dekat taman kota, cukup diminati para pelanggan terutama di dekat danau.
"Hmm." Jenifer hanya mengangguk dengan selera Dimas yang menyukai pemandangan tenang terutama ruang pribadi.
Dua orang pelayan restaurant menyajikan pesanannya disambut baik oleh Dimas. "Makanlah!"
"Aku pikir Kamu akan tanya menu makanan seperti pada umumnya?"
"Aku memesannya bersamaan ruangan tadi. Aku rasa akan mengubahnya jika Kamu tidak suka menunya," jelas Dimas.
"Hmm, tidak perlu. Aku bukan tipe pemilih."
Mendengar Jenifer bicara, Dimas sedikit mengagumi wanita itu.
"Bagaimana?" tanya Dimas.
"Apanya?"
"Jadi kekasihku atau istri kontrak?" jelas Dimas.
"Anda terus terang sekali ya?"
"Aku hanya mengatakan tujuan kita," balas Dimas.
"Aku tidak suka hubungan tanpa status."
"Kalau begitu menikah," angguk Dimas.
"Hmm," tatap Jenifer penuh tanya.
"Kenapa?"
"Kamu tidak bertanya latar belakangku?" tanya Jenifer.
"Itu tidak perlu, ini bukan pernikahan sungguhan," jawab Dimas.
"Lalu perjanjiannya?"
"Aku akan buat malam ini, juga menentukan selanjutnya."
"Apa Kamu terburu-buru untuk menikah?" tatap Jenifer.
Dimas terdiam mendengar pertanyaan Jenifer. Biasanya wanita lain akan mengatakan dan mempertanyakan keuntungan menjadi istri sewaannya. Terlebih Jenifer terlihat tenang dengan tatapan yang sulit di mengerti Dimas.
"Apa Kamu selalu sibuk?" balas Dimas bertanya.
"Aku tidak akan menjawab jika pertanyaanku belum tuntas."
Dimas tersenyum tipis, gadis di hadapannya cukup keras kepalasama seperti dirinya jika menghadapi situasi tanpa kehendaknya.
"Heh, sebenarnya selama sebulan ini aku mencari seseorang untuk aku jadikan kekasih sewaan. Tapi ternyata tidak mudah mendapatkannya," jelas Dimas mengatakan tujuannya.
"Bagaimana, apa ada alasan untuk menolakmu?" tanya Jenifer tidak percaya pria setampan Dimas kesulitan mendapatkan wanita apalagi sekedar sewaan.
"Apakah mungkin wanita menolakku?"
"Ck, dengan kepercayaan dirimu yang tinggi. Aku rasa itu alasan yang tepat Kau di tolak wanita, kalau tidak bagaimana mungkin sesulit itu mendapatkannya," sindir Jenifer.
"Hei, di sini jelas aku katakan aku yang menolaknya!" protes Dimas.
"Kau tidak menjawab pertanyaan pertama aku, sekarang memasang wajah kesal karena aku mengatakan kebenaran. Atau jangan-jangan Kamu bermasalah?"
"Aku tidak percaya ada wanita bermulut tajam sepertimu," kesal Dimas mulai kehabisan kesabaran.
"Bagaimana, apa Anda sudah bisa menjawabnya?" tatap Jenifer sambil mengunyah makanan.
"Hmm, aku perlu wanita meyakinkan ibuku untuk bertahan," ucap Dimas.
"Bertahan?"
"Dia memiliki riwayat kesehatan yang tidak baik, permintaannya hanya seorang menantu dariku. Tapi aku tidak yakin dengan para wanita berhadapan dengan ibuku," jelas Dimas.
"Oke."
"Oke?" Dimas bertanya-tanyaakan tanggapan Jenifer.
"Kamu tahu aku bukan seorang gadis, apa Kamu yakin bagaimana tanggapan ibumu?"
"Sebenarnya dia baik, hanya perlu kesabaran saja," jelas Dimas.
"Kalau begitu upahnya harus ekstra jika menghadapi ibumu adalah kesulitan," ucap Jenifer.
Dimas mulai tersenyum, baru kali ini bertemu wanita percaya diri seperti Jenifer. Mereka berjabat tangan untuk pertemuan pertama dan juga awal kehidupan baru dari Jenifer, dia tersenyum status jandanya sudah bisa hilang hingga dia tidak perlu merenung apalagi mengingat mantan suaminya lagi dengan kesibukan baru dengan pria di hadapannya.