Bab 6. Kesalahan yang Sama

1085 Kata
Sinta mengulat demi mengendurkan otot-ototnya. Ketika bergerak, ia menyadari sebuah tangan yang melingkar di pinggang rampingnya dengan mesra. Buru-buru ia membuka mata dan mendapati dirinya sedang berada dalam dekapan Prima yang masih terlelap. "Astaga. Apa yang terjadi?" Sinta beranjak, tapi kepalanya terasa berputar dengan cepat. Ia mengaduh dan membangunkan Prima yang terlelap di sampingnya. "Kamu kenapa, Sin?" Sinta melirik pria di sampingnya. Prima sama sekali tak terkejut mendapati mereka dalam keadaan polos di kamar hotel. Jadi, apakah ini memang ia yang melakukan? "Apa yang kita lakukan semalam, Kak?" tanya Sinta penuh penekanan. Gadis itu menunduk. Ia memegangi kepalanya dan mulai terisak. Sepotong ingatan lewat dalam lobus frontalnya. Iya, semalam ia dan Prima pergi ke kelab dan berakhir di kamar ini. Ia ingat pria itu membopongnya dan merebahkannya di ranjang. "Sinta, maaf. Semalam aku ... aku terbawa suasana," ucap Prima terbata. "Lalu bagaimana ini, Kak? Aku enggak mau hamil," ucap Sinta kemudian. "Iya-iya. Aku paham. Aku janji akan tanggung jawab. Lagi pula ... bukannya kita akan menikah?" kata Prima ragu-ragu. Sinta menoleh seketika. Matanya masih basah karena menangis. Namun, ia buru-buru mengusapnya. "Aku masih belum bisa melupakan Prasta, Kak. Mana bisa semudah itu. Kalau kita menikah, apa Prasta akan sakit hati? Dia yang udah bikin aku sakit begini, Kak." Sinta menangis lagi. Saat itu, Prima mengambil kesempatan. Ia mengusap bahu Sinta dan memeluk gadis itu erat. Ini yang Prima inginkan. Ia yang akan menjadi penenang gadis yang sudah lama ia cintai dalam diam. Hanya karena sang adik sudah lebih dulu mencintainya, bukan berarti Prasta bisa memilikinya. Sekarang, Sinta ada dalam dekapannya. Jadi, siapa yang akan menghiburnya selain Prima? "Jangan nangis, Sin. Aku akan selalu ada di sampingmu. Biarkan Prasta yang sudah menyakiti kamu memilih jalannya sendiri. Kamu jangan cemas. Aku akan melindungimu," ucap Prima. Pria itu mengusap pipi basah Sinta perlahan, lalu karena terbawa suasana Prima menyematkan kecupan di bibir gadis itu perlahan. Sangat lembut, sampai-sampai Sinta memejam dan merasakan gejolak dalam dirinya kembali bangkit. Tangan Prima berpindah ke tengkuk gadis itu demi memperdalam ciuman. Sementara tangan Sinta berpindah ke leher Prima. Perlahan keduanya merebah dan saling memberi sentuhan. Sementara di kamar Prasta, Sasti membuka matanya perlahan. Demamnya sudah hilang dan ia merasa lebih baik sekarang. Sasti tak tahu, tapi semalam ia merasa sangat nyaman ketika tiba-tiba ia menoleh dan mendapati Prasta masih terlelap di sampingnya. "Astaga. Aku pikir semalam cuma mimpi," bisiknya. Sasti tak tahu harus berbuat apa sekarang. Jarak mereka sangat dekat. Ia bahkan berada dekat sekali dengan d**a pria itu. Ketika ia hendak beranjak, Prasta tiba-tiba bergerak. Gadis itu langsung pura-pura masih terlelap. "Aah ... belum bangun lagi ini cewek. Sial banget gua!" bisik Prasta sembari mengusap wajahnya. Prasta menatap wajah Sasti lekat, lalu refleks menempelkan punggung tangannya demi mengecek suhu tubuh gadis itu. Pria itu membuang napas lega ketika mengetahui demam Sasti sudah reda. Baiklah, Sudja cukup bantuannya. Sejujurnya, Prasta masih mengantuk. Namun, karena dorongan kemih yang sudah penuh, mau tak mau ia harus bangun dan pergi ke kamar mandi. Jadi, ia dengan perlahan memindahkan kepala Sasti ke bantal, lalu berlalu ke kamar mandi. Cklek! Sasti membuka mata ketika mendengar Prasta mengunci pintu kamar mandi dari dalam. Napasnya memburu karena debar dalam jantungnya bertalu begitu cepat. Hanya karena Prasta. Astaga, apa yang terjadi? Gadis itu lantas bangun dan mengendap keluar dari kamar. Sebaiknya, ia kembali ke kamar sang ibu dan memakai kamar mandi di sana saja. Namun, belum juga ia sempat membuka pintu Prasta sudah lebih dulu selesai. "Mau ke mana elu?" tanyanya. Sasti menghentikan langkah, lalu membalik badan demi menghadapi sang suami yang saat ini .... "Ganteng banget." Sasti buru-buru membekap mulutnya sendiri karena ucapannya barusan. Hanya karena melihat Prasta baru saja membasuh muka dan rambutnya, gadis itu jadi keceplosan menganggap pria itu begitu sempurna. "Apa?" "Hah? Apa?" Sasti balik bertanya. "Elu mau ke mana? Enak aja elu mau kabur setelah semalaman bikin gua repot," ucap Prasta. "Siapa yang kabur? Aku mau ketemu Ibu," sahut Sasti. "Iler elu, tuh, ke mana-mana." "Hah? Serius?" Sasti buru-buru pergi ke kamar mandi. Ia hendak melihat wajahnya yang kata Prasta penuh dengan air liur. Namun, ketika sampai di sana, gadis itu mengumpat kesal. "Mana ada air liur. Sembarangan!" Sasti keluar usai mencuci mukanya. Ketika ia membuka pintu, gadis itu melihat baju pengantinnya yang dibuang sembarangan oleh Prasta di lantai. Tanpa sadar, ia langsung menyilangkan tangannya ke d**a. "Kamu enggak ngapa-ngapain aku, kan, semalam?" tanya Sasti cemas. Prasta yang sedang berada di balkon untuk berolahraga menoleh, lalu tersenyum sinis. "Penting emang buat elu tau?" Prasta bertanya balik. Namun, Sasti tak segera menjawab. Tentu saja penting enggak penting. Walau sudah menikah, tetap saja Prasta harus izin ketika ingin melakukan sesuatu kepadanya. "Gua udah sah jadi suami elu, jadi gua bebas ngelakuin apa pun ke elu," sahut Prasta santai. Sasti mencebik. Pria itu benar-benar menyebalkan. Sekarang saja bilang begitu. Kemarin waktu mereka ada di hotel mengapa tak mengakuinya? Tak lama, pintu kamar mereka diketuk dari luar. Sasti yang paling dekat dengan pintu segera membukanya. "Selamat pagi, Non. Non Sasti dan Tuan Prasta ditunggu di ruang makan sama Tuan Besar," ucap Marni. "Oh, iya, Bik. Sebentar lagi kita turun," sahut Sasti. Prasta terdiam sejenak. Tak biasanya sang papa meminta semua orang berkumpul pagi ini. Biasanya, mereka baru bisa bicara ketika waktu makan malam tiba. Pria itu kemudian berlalu lebih dulu ke kamar mandi untuk bersiap. Sementara Sasti memilih pakaian yang akan ia kenakan pagi ini. Keduanya lantas turun bersamaan usai bersiap. Pada meja makan itu, Hans dan Asih sudah menunggu. Keduanya tampak duduk diam di kursi masing-masing. Ketika Prasta dan Sasti datang, senyum Asih terkembang sempurna. "Sudah baikan kamu, Sas?" tanyanya. "Sasti kenapa?" Hans lantas melempar tanya ketika Asih bertanya keadaan sang putri. "Sasti demam semalam, Pa," jawab gadis itu. "Prasta, kenapa enggak panggil dokter?" tanya Hans. "Enggak perlu, Pa. Sasti cuma kecapekan." Lagi-lagi, Sasti yang menyahut, sedangkan Kasta sibuk meminum jus kesukaannya. Tak lama, Prima datang dengan wajah kuyu. Pria itu menghampiri meja makan ketika Hans menatapnya dengan nyalang. "Dari mana kamu?" tanyanya kemudian. "Ehm ... Prima dari-" "Kelab malam?" Hans menebak dengan benar. Walau sejujurnya, Prima baru saja pulang dari hotel. "Jangan lakukan hal ceroboh lagi. Papa enggak mau ada kesalahan lagi. Apa kamu pergi sama Sinta semalam?" Mendengar pertanyaan dari sang papa, Prasta ikut terkejut. Ia memang sudah putus hubungan dengan Sinta gara-gara pernikahan ini. Namun, apakah secepat itu sang kakak mengambilnya. "Iya, Pa." Mendengar jawaban Prima, Prasta langsung bangkit dan menarik kerah kemeja sang kakak dengan gusar. Bisa-bisanya Prima berbuat demikian kepadanya. Tanpa basa-basi, pria itu langsung memberikan bogem mentah kepada Prima. "Brengs*k elu, Kak."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN