Bab 5. Untuk Pertama Kali

1042 Kata
"Kita mau ke mana, Kak?" tanya Sinta dengan setelah sadar. "Kita cari tempat yang nyaman buat kamu," sahut Prima. Pria itu tersenyum dan membopong tubuh lemas Sinta masuk ke kamar hotel. Gadis itu memilih pergi dari resepsi pernikahan Prasta dan mampir ke kelab malam. Tentu saja bersama Prima. Kendatipun ikut minum-minuman keras, tapi Prima bisa menahan diri. Sementara Sinta yang kadung patah hati telah mabuk sejak tadi. Keduanya memesan kamar hotel dan masuk ke sana berdua. Awalnya, pikiran Prima masih waras untuk tidak memanfaatkan waktu ini dengan mengerjai Sinta. Namun, tubuh gadis itu begitu menggiurkan. Jadi, Prima makin penasaran. "Apa yang akan kita lakukan di sini, Kak?" Sinta kembali bertanya ketika menyadari Prima telah merebahkannya di ranjang. Namun, ia sama sekali tak menaruh curiga apa pun. Toh, kisahnya dengan Prasta telah berakhir. Jadi, mengapa ia tak bersenang-senang dengan Prima. "Kita akan balas perbuatan Prasta, Sinta. Apa kau setuju?" tanya Prima. Gadis itu tersenyum, lalu membuka lengannya untuk Prima. Tak lagi membuang waktu, pria itu membuka kancing kemejanya dan menubruk tubuh Sinta di ranjang. Prima melucuti semuanya dan mulai bermanuver di tubuh Sinta. Keduanya benar-benar menghabiskan malam b*******h berdua di hotel itu. Sementara di kamar Prasta, Sasti menempel di d**a pria itu tanpa permisi. Tentu saja, Prasta merasa risi karena tidak pernah ada yang bersikap demikian kepadanya. "Sasti, gua hitung sampai tiga elu enggak menyingkir. Gua tendang elu. Satu ... dua ... tiga. Astaga, dasar cewek gila," umpat Prasta. Sang gadis benar-benar tidak bergerak sama sekali. Karena sudah gusar, pria itu lantas mengangkat kepala Sasti yang bersandar di dadanya. Namun, gerakannya terhenti karena ia merasakan sesuatu. "Elu sakit?" tanya Prasta. Tentu saja, Sasti tidak menjawab. Gadis itu sedang diserang demam sejak resepsi tadi karena terlalu lelah. Namun, kini ia sudah tidak kuat lagi. Tubuhnya lemas, bahkan untuk menyahut ucapan sang suami. "Sasti, bangun elu." Karena tidak mendapatkan jawaban, Prasta mulai panik. Ia mencoba memindahkan kepala gadis itu ke bantal dan sekali lagi mengecek kondisinya. "Beneran demam. Gimana ini?" Panik karena tidak pernah ada dalam situasi semacam ini, Prasta hanya bisa mengurut keningnya. Apa ia harus memanggil dokter atau bagaimana? Okay, ia kemudian memberanikan diri untuk sekali lagi mengecek keadaan Sasti. Kening dan tubuhnya benar-benar panas. Jadi, ia harus memberinya pertolongan. "Sasti, buka matamu," kata Prasta. Sasti menyipit, tapi sudah tidak bisa lagi berkata-kata. Prasta kemudian mengambil koper kecil milik gadis itu. Pertama-tama, ia harus mengganti baju pengantin yang dikenakan gadis itu dengan pakaian yang tipis. Mula-mula, Prasta sempat ragu. Namun, kemudian ia meyakinkan dirinya. "Gua bahkan udah pernah tidur sama dia. Jadi, kenapa harus ragu?" katanya. Dengan sedikit gemetar, Prasta memiringkan tubuh Sasti, ia menarik Zipper yang ada di punggung gadis itu perlahan. Baru kemudian melepas baju itu mulai dari lengannya. Keringat pria itu mengucur deras. Entah apa karena ia merasa ini adalah pertama kalinya atau bukan. Namun, ia begitu gugup ketika baju pengantin itu mulai terlepas dari tubuh Sasti yang indah. "Gua bisa. Cuma ganti baju Sasti aja. Gua bisa," bisiknya pada dirinya sendiri. Sampai akhirnya, baju itu lolos dari tubuh gadis di depannya. Hanya tinggal underwear kecil yang kini melekat di tubuh Sasti. Namun demikian, Prasta dengan sigap memakaikan piyama milik gadis itu. Walau tentu saja butuh usaha ekstra karena tubuh Sasti sangat lemas. Baru setelah itu ia mengambil handuk kecil untuk mengompres kening gadis itu. Saat itu, Prasta mencoba memperhatikan wajah Sasti dengan saksama. "Cantik juga," batin pria itu. Sejujurnya, malam itu ia tak ingat telah melakukan semuanya dengan Sasti. Bahkan ia lupa kapan ia melepas pakaiannya juga pakaian gadis itu. Namun, kenyataannya mereka berdua terbangun di ranjang yang sama pagi itu. Jika ini sebuah jebakan, mungkinkan Sasti yang melakukannya? Prasta hendak mengganti lagi kompres di kening gadis itu. Ia hendak beranjak ketika tangan Sasti kemudian menahan lengannya untuk bangkit dari tepi ranjang. "Apa?" "Aku pengen pipis," kata Sasti polos. "Astaga. Jangan ngompol di ranjang gua, ya." "Antar ke kamar mandi," ucap Sasti lirih. Prasta mengusap wajahnya dengan gusar. Aah ... menyebalkan. Mengapa harus ia yang harus melakukan ini? Namun, membiarkannya akan lebih menambah masalah. "Sial! Nyusahin aja elu," kata Prasta kemudian. Walau sempat mengumpat, tapi pria itu kemudian membangun Sasti berdiri dan berjalan. Tubuh kecil gadis itu ia bantu berjalan sampai akhirnya masuk ke kamar mandi. Prasta mendudukan Sasti di closed perlahan. "Jangan ke mana-mana, ya," kata Sasti kemudian. "Elu mau gua nungguin elu buang air di sini?" Sasti menggeleng kasar. "Tunggu di depan pintu maksudnya. Aku enggak kuat balik ke ranjang sendiri," ucap Sasti. Prasta membuang napasnya dengan kasar. Kemudian, berjalan keluar dari kamar mandi. Ia menutup pintu dan menunggu Sasti dengan sabar. "Gila! Udah kayak pembantunya gua," bisik pria itu. Walau kesal, nyatanya Prasta tetap menunggu sampai Sasti selesai membuang hajatnya dan membantu gadis itu kembali ke ranjang. "Cuma malam ini aja gua biarin elu tidur di ranjang gua. Besok-besok, elu tidur aja di lantai atau di sofa," ucap Prasta. Sasti hanya mengangguk. Gadis itu kemudian meringkuk di ranjang dan merasakan suhu tubuhnya yang masih tinggi. Saat itu, Prasta berinisiatif mengambil obat demam di dapur untuk Sasti. Dan kebetulan, ia bertemu dengan Asih yang baru saja mengambil minum. "Nak, Prasta sakit?" tanya wanita itu lembut. "E ... enggak. Itu ... Sasti yang demam," ucap Prasta kemudian. "Ya ampun. Dia pasti kecapekan. Ehm ... kasih aja obat penurun panas. Oh, iya. Bisa Nak Prasta peluk dia. Biasanya Ibu yang melakukan itu," kata Asih. Prasta tercengang. Apa-apaan ini? Apakah ia harus melakukan itu juga? Prasta kemudian kembali ke kamar. Ia membangunkan gadis itu untuk menenggak obat penurun panas yang baru saja ia ambil, lalu meminta gadis itu kembali tidur. Sasti kembali meringkuk di ranjang dan Prasta pergi ke sofa. Ia tak akan bisa melakukan apa yang Asih minta. Iya, tentu saja. Prasta tak mau terjadi lagi. Walau pada akhirnya, ia merasa iba. "Masak iya, gua harus peluk dia?" bisiknya pada diri sendiri. Pria itu kemudian duduk di tepi ranjang dan memperhatikan Sasti dengan saksama. Mungkin yang dikatakan Asih benar. Buktinya, tadi Sasti langsung bersandar di dadanya. Jadi, apa perlu ia melakukan itu? Prasta kemudian dengan perlahan merebah di samping Sasti. Dan benar, refleks gadis itu membalik badan dan mengikis jarak dengan Prasta. d**a pria itu seolah-olah menjadi tempat ternyaman ia meredakan sakitnya. Sementara Prasta hanya bisa terdiam. Ini untuk pertama kalinya ia diperlakukan begini. "Hanya malam ini saja," bisiknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN