Bab 10. Membasuh Sekujur Tubuh

1160 Kata
"Terus, Sayang. Teruskan!" Sinta bergerak liar di atas tubuh Prima yang berkeringat. Keduanya mengayuh gair*h demi mencapai satu hal yang bisa membuat mereka melayang ke awang-awang. Prima menengadah ke atas ketika Sinta makin cepat bergerak. Ia sudah tidak lagi bisa diam. Pria itu sedikit bangkit dan menyentuh d**a Sinta dengan bibirnya. Saat itu, wanitanya tak lagi bisa menahan diri. Sinta meracau hingga ia berakhir lemas di atas tubuh Prima. Karena Prima belum mencapai apa yang ia inginkan, pria itu kemudian mengubah posisi dan bersiap untuk menyelesaikannya. Namun, ia tak mau buru-buru. Mereka masih punya banyak waktu di sana dan ia akan menikmatinya. Sementara di perjalanan pulang, Prasta benar-benar tidak fokus mengemudi. Beberapa kali pria itu hampir saja melakukan kesalahan. Sampai akhirnya, Sasti memintanya untuk menepi. "Biar aku aja yang nyetir," katanya. Prasta manut. Ia kemudian turun dan berpindah posisi ke tempat kemudi. Gadis itu membuang napas kasar ketika melihat pria yang biasanya keras dan kejam terlihat begitu kuyu dan tak bersemangat. "Apa ... sesakit itu?" tanya Sasti. "Elu sendri?" Sasti tersenyum, lalu menyahut. "Biasa aja. Aku kesal malam ketika Frans mutusin aku. Selebihnya, aku cuma bersyukur karena lepas dari pria seperti dia," sahut Sasti. Prasta ikut tersenyum. "Bersyukur karena elu dapat pengganti yang kayak gua?" tanya Prasta. "Iya, salah satunya. Tapi ada alasan lain," ucap Sasti. Prasta menoleh demi memperhatikan gadis yang kini fokus pada jalanan. Gadis itu tampak tenang dan sama sekali tak goyah sejak pertama mereka bertemu di hotel. Jadi, seperti apakah gadis ini. "Apa?" "Diih, kepo," celetuk Sasti. Hah! Prasta membuang pandangannya ke arah lain karena kesal. Ia sudah serius mendengarkan, tapi gadis itu malah menggodanya. "Terserah elu," sahut pria itu. "Ha-ha-ha. Alasan lain karena ... Ibu," kata Sasti. Mendengar nama wanita ramah itu disebut, Prasta kembali menoleh. Ia berharap kali ini Sasti menjelaskan semuanya dengan rinci. "Ibu enggak suka sama Frans. Udah sejak lama beliau bilang kalau lebih baik aku putus saja sama dia. Tapi, aku masih ngeyel. Yah, cinta seolah-olah membutakan. Sampai akhirnya, malam itu aku lihat dia tidur sama model lain," jelas Sasti. Prasta masih memperhatikan. Ia tak tahu, tapi seakan-akan cerita gadis itu mirip dengan kisahnya dan Sinta. "Elu sakit hati?" tanya Prasta. "Dikit." Prasta terdiam. Sinta pasti juga merasakan hal yang sama. "Tapi setelah itu aku sadar. Apa pun yang tanpa restu orang tua itu pasti ujung-ujungnya gagal. Jadi, ya. Ikhlasin aja," imbuh Sasti. Prasta masih terdiam ketika tiba-tiba ia menyadari arah jalan pulang mereka yang salah. "Kita mau ke mana?" tanya Prasta. "Ke rumahku," sahut Sasti. "Ngapain?" Gadis itu tak menjawab, malah tersenyum ke arah Prasta. Walau sempat bingung, tapi pria itu tak melempar protes sama sekali. Sampai akhirnya, mobil mewah Prasta menepi di halaman sebuah rumah yang tampak sangat asri. "Ayo turun!" Sasti mengajak Prasta masuk ke rumahnya tanpa berpikir jika pria itu akan merasa risi. Itu adalah rumah yang sangat kecil. Namun, terlihat bersih dan rapi. Sasti memanggil sang ibu ketika masih berada di beranda dan Asih menyahut usai meninggalkan jahitan yang ia kerjakan. "Sasti, Nak Prasta. Kok, ke sini ndak bilang-bilang? Ibu masih belum siap-siap," kata Asih. "Siap-siap apa? Yang datang anak sendiri memangnya mau sewa tenda juga," kelakar Sasti. "Eh, kan, ada menantu ibu. Ya Allah, rumah juga belum ibu bersihin lagi." Sasti tersenyum kecil. Ia menoleh ke arah Prasta yang terlihat tak enak hati. Pria itu tersenyum, lalu menyahut ucapan mertuanya. "Enggak usah repot-repot, Bu. Kami hanya mampir," ucapnya. "Ndak apa-apa. Mau mampir atau nginep, ibu tetap harus menyambut kalian. Sasti, cepat tangkap ikan di kolam. Ibu akan siapkan yang lainnya," kata Aish. Wanita itu pun berlalu menuju ke dapur. Sementara Sasti dan Prasta saling tatap. "Apa lihat-lihat?" tanya Prasta. "Hemm. Bakal jadi mantu kesayangan Ibu kamu," celetuk Sasti dengan senyumnya yang renyah. Gadis itu kemudian berlalu menuju ke samping rumah demi menuruti titah sang ibu. Prasta mengekor demi melihat apa yang akan dilakukan oleh sang istri. Sasti menggulung lengan kemeja dan celana jin yang ia pakai, kemudian mulai mengambil peralatan untuk menangkap ikan. Prasta hanya memperhatikan sampai akhirnya gadis itu berhasil mengambil seekor ikan gurami besar peliharaan ibunya. "Besar, kan? Kamu mana pernah nangkap ikan begini?" kata Sasti memperlihatkan ikan yang berhasil ia tangkap. "Gua juga bisa cuma nangkap ikan begitu, doang," ucap Prasta. Pria itu menggulung celananya dan ikut turun ke arah bersama Sasti. Kendatipun ini pertama kalinya, tapi Prasta tak mau kalah dengan sang istri. Sampai akhirnya, beberapa menit telah berlalu. "Mana? Katanya bisa?" tanya Sasti sedikit menggoda. "Tunggu!" Prasta kembali mencobanya. Namun nahas, pria itu malah terpeleset hingga seluruh tubuhnya masuk ke kolam. "Astaga, Prasta. Kamu enggak apa-apa?" "Aah ... sial. Aah." Sasti terkekeh. Namun, ia tetap membantu suaminya untuk bangkit dari kolam. Saat itu, Asih yang hendak memanggil mereka ikut terkejut melihat keadaan menantunya. "Ya Allah, Nak Prasta. Harusnya tadi ndak usah ikut turun ke kolam," kata Asih. Mereka lantas meminta Prasta untuk membersihkan diri, sedangkan Sasti dan Asih menyiapkan makan siang. "Duh, beneran sial gua. Ngapain juga gua harus ikut ke sini," bisik pria itu ketika berada di dalam kamar mandi. Saat itu, Asih telah menyiapkan pakaian milik mendiang suaminya untuk dipakai Prasta. Tentu saja, itu adalah pakaian bapak-bapak. Namun, mau bagaimana lagi. Ketika Prasta keluar, Sasti yang sudah selesai menyiapkan sambal menoleh. Melihat sang suami dengan outfit sang ayah membuat sisi melankolisnya muncul begitu saja. Mata gadis itu tiba-tiba memanas dan hampir saja meneteskan air mata. "Kenapa elu ngeliatin gua kayak gitu? Elu mau ngejek gua, ya?" tanya Prasta. Sasti menggeleng, ia lantas berlari menuju ke kamarnya karena tak bisa menahan rindu kepada sang ayah. Sementara Prasta hanya terdiam. Ia menoleh pada Asih yang kemudian menjelaskan semuanya. "Sasti ingat ayahnya, Nak. Itu, baju yang kamu pakai adalah baju yang sering ayahnya pakai juga," jelas Asih. "Apa?" Prasta terkesiap. Namun, ia tak tahu harus berbuat apa. "Kalau baju kesayangan, kenapa dikasih aku, Bu?" tanya Prasta kemudian. "Ndak apa-apa. Kamu cocok pakai itu. Sasti pasti akan nangis di kamar sebentar, terus balik lagi ke sini," kata Asih. Walau sang mertua sudah mengatakan hal itu, tapi tetap saja Prasta merasa tak enak hati. Ia kemudian pamit untuk menyusul Sasti di kamarnya. Dan benar saja, gadis itu terduduk di kursi depan meja riasnya dan menangis sesenggukan. "Elu kenapa nangis?" tanya Prasta. "Inget Ayah." "Ya, udah, sih. Kan, udah pergi juga orangnya," kata Prasta. "Ya, kamu pakai baju itu. Aku jadi ingat Ayah lagi." "Siapa suruh pinjemin baju ini." Sasti mencebik, lalu mengusap pipinya yang basah dengan kasar. "Nyebelin!" "Ya, udah, nih, ambil aja." Saat itu, Prasta langsung melepas kemeja yang ia kenakan dan itu membuat Sasti makin tidak nyaman. Jadi, ia mencegahnya. "Enggak usah, pakai aja," katanya. Prasta mengurungkan niatnya dan mengambil duduk di sebelah sang istri. Pria itu tak tahu, tapi rasanya wajah Sasti begitu apa adanya. "Pras." "Hemm." "Boleh ... aku ... meluk kamu enggak?" tanya Sasti ragu-ragu. "Apa?" Belum sempat Prasta menjawab, gadis di depannya langsung memeluk pria itu. Sesaat, Prasta mendadak jadi kaku. Sampai akhirnya, ucapan Sasti malah membuatnya makin resah. "Pelukan kamu hangat ... sama seperti Ayah," katanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN