3

1550 Kata
Rania masih terkejut karena hari ini ia bertemu lagi dengan Randra, Randra tanpa kaca mata hitamnya. Sepertinya Randra belum pulang sama sekali karena saat ini Randra masih menggunakan seragam sekolahnya. Rania menatap kepergian Randra yang sepertinya salah paham saat ini. "Who?" tanya cowok yang saat ini bersama dengan Rania tersebut. "Just a friend. Not important for me." ujar Rania kepada cowok tersebut. "You lie. Don't lie with me Rania. Kakak udah pernah bilang kan jangan bohong sama kakak, jelas-jelas kamu kelihatan kepikiran dan kayak kamu lagi ketahuan selingkuh aja sekarang. He is your boyfriend?" tanya Rakha, kakaknya Rania dan tentu saja mendengar pertanyaan itu Rania melotot. "No, he is not my boyfriend. Just like, dia suka sama gua. But i don't like him, terutama waktu dia pakai kacamata hitam." ujar Rania kepada Rakha. "Why? I think you like him but maybe you have a problem with something at him? Right?" tanya Rakha yang lagi-lagi diangguki oleh Rania tersebut. "Yes, totally yes. Namanya Randra, and i don't know why kalo dia sekolah itu pasti pakek kacamata hitam. Itu alay banget kak. But tiap kali gua ketemu dia pas malem, he don't use the sunglasses. So why dia ga bisa copot itu waktu di sekolah?" tanya Rania kepada Rakha dan Rakha tersenyum saat ini. "You ask him why he always used the sunglasses? I know, pasti belum. You don't judge him if you don't know the story of him Rania. Mungkin aja dia punya alasan kenapa dia selalu memakai kacamata itu kan?" tanya Rakha. "But, i don't like him with the sunglasses." ujar Rania tetap keukuh. "But, i know you like him without the sunglasses. I see love on your eyes Rania. Don't lie with me. So, Lo ga mau pergi ke meja dia buat jelasin ke dia kalo apa yang dia bilang tadi ga bener because i'm your brother?" tanya Rakha yang kali ini digelengi kepala oleh Rania. Rania tidak akan mengatakan apa pun. Rania saat ini hanya melihat ke arah Randra yang terlihat makan sendiri. "Dilihatin terus ga di samperin? Daripada ngelihatin doang mending makan karena kalo ga dimakan keburu ga enak nanti." ujar Rakha tersebut dan saat ini Rania pun memakan makanannya itu. Sementara Randra memakan makanan itu sembari menahan sakit di dadanya, ia patah hati saat ini. Ternyata perempuan yang ia idamkan, perempuan yang sangat mirip dengan Mamanya itu sudah memiliki seorang kekasih idamannya sendiri. Jadi ini alasan Lo ga pernah mau nerima gua Ran? Harusnya dari awal Lo bilang aja ke gua, harusnya Lo bilang kalo Lo udah punya pacar. Jangan makek alasan gua selalu pakai kacamata hitam terus. Batin Randra saat ini. Randra sudah selesai makan, ia pun saat ini langsung bergegas pergi ke penjual untuk membayar makanannya. Ia hanya melewati Rania dan pacarnya. "Pak, udah. Jadinya berapa ya?" tanya Randra kepada penjualnya itu. "Oh ga usah Mas, udah dibayar tadi sama temennya." jawab penjual itu yang mana membuat Randra sekarang ini mengernyitkan dahinya bingung. "Temen saya pak? Siapa?" tanya Randra kemudian penjual itu menunjuk ke arah dua orang yang sangat dihindari oleh dirinya. Randra mengucapkan terimakasih kepada penjual itu dan saat ini ia pergi ke tempat Rania tersebut. Rania dan Rakha menatap ke arah Randra yang mendekati mereka. Rania memperlihatkan wajah kesalnya sementara Rakha malah tersenyum. "Hai, temennya Rania ya? Salam kenal ya, gua Rakha..." ujar Rakha. "Ga perlu perkenalan diri, gua ga minat kenalan sama lo. Entah siapa yang tadi bayar tapi gua ga butuh dibayarin." potong Randra yang mana ia tadi memotong pembicaraan Rakha, Randra mengeluarkan uang lima puluh ribu. "Ini untuk gantinya. Rania, seharusnya Lo bilang dari awal kalo Lo udah punya pacar. Don't worry, i'm happy for you." ujar Randra yang langsung meninggalkan tempat tersebut, saat ini Randra sudah tak terlihat lagi juga. "Lo sama dia sama aja Rania, sama-sama tukang bohong. Jelas-jelas dia ga bahagia buat Lo, masih aja di paksa buat ngomong gitu." ujar Rakha tertawa. Sepertinya adiknya ini memang akan cocok dengan cowok tadi. Sementara itu Randra sudah berada di perjalanan pulang, ia pun pada akhirnya sampai juga di rumahnya. Rumah yang selalu sepi karena tidak ada yang mengisi selain dirinya dan beberapa asisten rumah tangga yang ada. Randra pun sekarang sudah berada di kamarnya, ia mandi lalu berganti baju dan sekarang ini ia sudah duduk di kursi yang ada di balkon kamarnya. Sementara itu, Dilan saat ini sedang makan malam bersama dengan keluarganya. Keluarganya yang tak pernah bisa menerima kurangnya dirinya. Keluarga yang lebih banyak memaki dirinya daripada memberi kasih sayang. "Bagaimana dengan hasil olimpiade kamu Dikta?" tanya Papanya itu. "Belum keluar Pah, soalnya keluarnya Senin besok. Doain ya Pah." ujar Dikta dan Papanya mengangguk, ia sangat bangga kepada anaknya itu. "Papa tentu akan selalu mendoakan kamu, karena kamu adalah harapan satu-satunya Papa untuk melanjutkan bisnis Papa." ujar Papanya tersebut. Hal itu membuat Dilan saat ini meremas sendok dan garpunya dengan keras. Ia tahu apa maksud dari Papanya itu, ya memang Dikta sangat beruntung karena terlahir dengan sempurna. Namun dirinya juga tidak menginginkan penyakit ini ada dalam dirinya, memangnya ia yang mau dilahirkan seperti ini? Tidak. "Dilan, kamu jangan terlalu banyak main. Belajar.. belajar dan belajar supaya kamu bisa seperti kakak kamu. Kamu itu harus..." ujar Papanya tidak selesai karena saat ini Dilan sudah berdiri dari duduknya yang tadi itu. "Dilan sudah selesai. Permisi." ujar Dilan yang langsung pergi dari saja karena ia sudah tidak kuat untuk berada disana, jika ia tadi mendengarkan terus menerus apa yang akan dikatakan oleh Papanya pasti dirinya akan lebih sakit sekarang ini. Maka dari itu ia sekarang ini memilih untuk pergi dari sana. "Lihat anak ga tahu etika itu. Papanya sedang berbicara padanya dia malah memotongnya dan sekarang dia malah pergi. Benar-benar anak bodoh yang tidak tahu malu." ujar Papa Dilan yang saat ini tampak marah-marah. "Pah udah lahz mending sekarang Papa makan aja. Habiskan makan aja sekarang." ujar Mama Dilan dan makan malam hari itu pada akhirnya hanya dilangsungkan dengan tiga orang dari empat orang keluarga yang ada. Sementara Dilan saat ini sedang ada di dalam kamarnya, ia sedang menangis sendiri di dalam kamarnya. Ada yang salah dengan lelaki menangis? Tentu tidak ada yang salah karena Dilan sudah lelah dengan semua ini, Dilan lelah dibandingkan terus, Dilan lelah dipukul, Dilan lelah dimaki. Sebenarnya apa salahnya? Apa hanya karena ia tidak bisa fokus belajar? Apa karena dia telat dalam berpikir? Ia juga tidak mau hal ini terjadi padanya. Ini sudah takdir. Gua capek, rasanya capek banget. Ga ada yang dukung gua, kenapa mereka semua ga bisa nerima gua dengan apa adanya? Kenapa susah banget padahal gua juga anaknya mereka. Gua bagian dari mereka. Batin Dilan. Saat sedang menangis seperti itu tiba-tiba handphonenya berkedip beberapa kali. Ia melihat, ternyata Kiara menelfonnya. Ia pun dengan segera mengusap air matanya dan saat ini ia memutuskan untuk menerima telfon. "Night Dilan. Udah makan belum?" tanya Kiara kepada Dilan tersebut. "Night Kiara, belum. Kenapa? Mau ajak makan ya?" tanya Dilan itu. "Ihh apa sih Lo, tapi bener sih hehehe. Sini ke Caffe Bulan. Gua disini sama Agam. Nyusul ya, kita tunggu. Lo mau pesan apa?" tanya Kiara tersebut. "Okay deh, gua pesan kayak biasa ya. Sepuluh menit lagi gua sampai kok tenang aja. Wait for me." uajr Dilan yang mana sekarang ia sudah mencari jaketnya dan ia mengambil kunci motornya. Saat ini Dilan keluar dari kamar. "Mau kemana kamu Dilan, jangan pergi kemana-mana. Belajar kamu Dilan.. Dilan kamu tidak dengar Papa? Kamu pergi malam ini, malam ini juga kamu tidur di luar." ujar Papanya yang tidak dihiraukan oleh Dilan juga. Dilan mengambil motornya dan sekarang ia sudah menaiki motornya. "Pembangkang kamu Dilan! Jangan berani pulang malam ini, tidak akan ada pintu terbuka untuk kamu Dilan!" ujar Papanya yang masih bisa di dengar oleh Dilan tapi Dilan sekarang sudah tancap gas menuju ke Caffe Bulan. Entah setelah ini ia akan kemana itu bisa dipikirkan nanti, lagi pula rumahnya adalah neraka baginya, jika ia tidak boleh masuk ke rumah itu lebih menenangkan karena itu artinya ia tidak akan masuk ke dalam neraka yang sangat panas. "Mana ya Dilan, harusnya udah sampai. Agam, Dilan belum keliatan ya?" tanya Kiara yang saat ini khawatir karena Dilan belum kunjung datang juga. "Belum keliatan Kiara, ah ya Randra ga bisa datang karena Randra tadi udah makan. Sekarang kayaknya udah tidur Randra." ujar Agam setelah tadi Agam menghubungi Randra, Kiara pun terlihat mengangguk sekarang ini. Mereka masih menunggu Dilan datang, makanan mereka baru saja datang. Masih panas dan mereka menunggunya sampai hangat saat ini. Sementara itu sekarang ini Dilan akhirnya sudah sampai di parkiran. Ia pun masuk ke dalam, saat ini ia mengitari sekitar dan akhirnya ia menemukan Kiara dan Agam. Mereka duduk dan belum menyentuh makanan mereka. "Nah itu Dilan udah ada, sekarang kita bisa makan." ujar Agam tersebut. Kiara pun tampak tersenyum sekarang ini. Ia lega karena Dilan akhirnya sudah datang. Sebenarnya tadi Kiara hanya akan makan dengan Agam saja, tapi tak beberapa lama ia kepikiran dengan Dilan makanya ia ingin mengajaknya dan juga Randra. Hany saja memang Randra tidak bisa datang kesana saat ini. Jadinya sekarang ini mereka hanya bertiga. "Hai guys, sorry agak lama ya." ujar Dilan dan mereka mengangguk. Saat ini mereka pun sudah makan bersama-sama disana. Dilan lebih merasa hangatnya keluarga ketika bersama dengan teman-temannya sekarang ini. Berbanding terbalik saat ia bersama sengan keluargany, keluarga yang bagi Dilan terasa asing. Bahkan seperti tak saling mengenal juga mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN