Selamat membaca!
Merasa tidak nyaman karena sejak tadi mengenakan kebaya yang tidak pernah sekalipun dikenakannya, Viola bergegas menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar itu untuk mandi. Ya, walau setiap ruangan di rumah Devan mengenakan AC, tetap saja Viola masih berkeringat saat akad nikah tadi. Entah karena merasa gugup akan menjadi istri Devan atau karena tidak terbiasa mengenakan kebaya dan itu membuatnya merasa gerah hingga berkeringat.
Sambil melangkah, Viola masih terus mengingat momen mendebarkan saat tangannya menggenggam pusaka milik Devan. Sejenak bayangan nakal pun terbesit di benaknya. "Ih, kenapa pikiran gue jadi kotor begini sih? Kenapa juga gue malah bayangin punyanya Pak Devan kalau lagi bangun? Fokus, Vi, fokus ... sekarang itu yang paling penting gue tahu kalau penyakit impoten Pak Devan ternyata masih bisa disembuhkan, buktinya tadi gue ngerasa punya Pak Devan mulai bangun pas gue pegang. Ya, walau mungkin kaya telat respon gitu sih." Viola tampak berpikir. Lalu, melihat telapak tangannya yang tadi baru saja meremas milik Devan. "Jadi, tadi itu gue bener-bener abis megang ... ih, kok gue bisa seberani itu sih." Viola hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali sambil masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kembali.
Sementara Devan kini terlihat sedang duduk di tepi ranjang. Mengingat apa yang tadi dilakukan Viola ternyata kembali menarik ingatannya jauh ke belakang. Saat di mana ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri dan alasan yang didapat Devan dari wanita bernama Renata itu adalah momen yang paling menyakitkan dalam hidupnya. Momen di mana sejak saat itu, Devan menderita disfungsi ereksi sampai hari ini.
"Gue enggak boleh lagi percaya dengan yang namanya cinta. Dulu Renata juga bilang cinta sama gue, tapi apa, dia malah selingkuh sama Emil hanya karena gue enggak pernah bisa muasin dia di ranjang, belum lagi Silvi, dia malah nikah sama anak pejabat. Ah, kayanya semua cewek sama aja." Mengingat hal itu, amarah mulai menguasai dirinya. Tangan Devan tampak mengepal erat, memukul beberapa kali tepi ranjang dengan cukup keras saat mengingat kisah cintanya yang selalu berakhir mengenaskan.
Di tengah rasa kesal Devan, suara ketukan pintu terdengar dari depan kamar. Pria itu pun dengan cepat menyudahi amarahnya.
"Devan, Viola, yuk kita makan siang dulu di bawah!" Suara itu terdengar tidak asing di telinga Devan. Suara dari wanita yang sangat dicintainya. Ya, ibunya yang bernama Nilam Sari adalah seorang single parent sejak Devan berusia 17 tahun. Sosok wanita pekerja keras yang dengan usahanya sendiri mampu membuat Devan mencapai pendidikan tertinggi hingga bisa menjadi seorang dosen.
"Iya, Mah, tapi Viola lagi mandi dulu." Sambil menjawab Devan melangkah. Membuka pintu dan tersenyum menatap wajah keriput ibunya yang beberapa hari lagi akan berusia 55 tahun.
"Ya udah, Mama tunggu di bawah ya. Kamu coba kasih tahu Viola soalnya ayah dan ibu juga nungguin dia!"
"Iya, Mah." Devan tersenyum. Melihat sang ibu yang setelah mengulas senyum langsung berbalik, lalu kembali melangkah menuju anak tangga yang ada di ujung koridor sana.
"Kenapa gue harus terjebak dalam hubungan seperti ini dengan cewe yang gue pikir enggak akan pernah lagi gue temui?" Sambil menutup pintu kamar, Devan menghela napas dengan kasar. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa kejadian dua tahun lalu ternyata merubah hidupnya 180 derajat hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan sandiwara yang sebenarnya tidak diinginkannya. Bagaimanapun, Devan masih trauma membuka hati untuk wanita lain.
"Vi, buruan mandinya! Mama saya tadi ke sini, katanya orang tua kamu nungguin di bawah. Mereka ngajakin makan siang bareng."
Satu sampai dua kali, Devan terus memanggil Viola. Namun, gadis cantik itu tetap tidak menggubris panggilannya. Devan pun meradang. Pria itu mengetuk dengan lebih keras. Ia mengira Viola memang sengaja tak menjawab karena ingin mengerjainya.
"Kenapa dia enggak jawab-jawab,nya?" Devan semakin heran, terlebih setelah ia mengetuk pintu dengan keras, tetapi masih tak ada jawaban dari Viola. "Jangan-jangan ...." Rasa amarah dan kesal yang sempat mengusiknya, tiba-tiba berubah jadi rasa cemas. Tanpa ragu, Devan langsung membuka pintu kamar mandi yang ternyata memang tidak terkunci.
"Viola ...." Pandangan Devan langsung tertuju pada sosok wanita tanpa pakaian dengan tubuh yang basah, kini terbaring membelakanginya di bawah guyuran air dari shower yang belum dimatikan. "Kamu kenapa, Vi?" Sebelum berlutut menghampiri Viola, Devan mengambil handuk tebal berwarna putih yang menggantung di sisi pintu kamar mandi.
"Vi, sadar, Vi ... kenapa kamu bisa pingsan begini?" Devan sudah berlutut setelah memutar kran shower agar tak lagi membasahi tubuh Viola.
Dengan perlahan, Devan mulai mengangkat tubuh Viola hingga menghadapnya dan tepat berada di atas pangkuannya. Tubuh polos itu terpampang jelas di kedua mata Devan hingga membuat pria itu sampai kesulitan menelan saliva-nya sendiri.
"Sebaiknya gue keringin dulu tubuh Viola." Walaupun pikirannya tengah melayang, Devan tetap mengusap setiap bagian di tubuh Viola dengan handuk yang ada di tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih menopang tubuh Viola yang ada di atas pangkuannya.
"Kenapa setiap ngelihat tubuh Viola, seperti ada reaksi yang gue rasain di bawah sana ya? Apa mungkin Viola bisa nyembuhin penyakit impoten gue?" Di dalam hati, Devan coba mengerti dengan situasi yang tengah dihadapinya. Situasi yang tentu saja sangat membingungkan. Bagaimana tidak, ini adalah pertama kali pusaka miliknya bereaksi, padahal sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi. Bahkan sekalipun Devan sengaja membayar wanita malam, semua itu sia-sia. Bukan hanya tak ada reaksi, pria yang memang sejak kecil memiliki cita-cita menjadi dosen itu tidak merasakan hasrat apa pun, walau wanita itu menyentuh tubuhnya sampai membuka pakaian hingga tubuh polosnya terlihat jelas di mata Devan.
"Ish, sempet-sempetnya di saat kaya gini gue malah ingat gitu." Sadar dari lamunannya, Devan langsung menggendong tubuh Viola. Tubuh ramping yang putih mulus itu kini sudah berada dalam kedua tangannya.
Sepanjang perjalanan menuju ranjang, Viola yang ternyata hanya pura-pura pingsan tak kuasa menahan senyumannya. "Ya ampun, baru digendong Pak Devan aja gue udah sebegini senengnya, apa lagi kalau lebih dari ini," batin Viola yang memang sengaja bersandiwara hanya agar bisa lebih dekat dengan Devan.
"Oh, jadi kamu pura-pura pingsan." Tiba-tiba suara itu terdengar lantang saat melihat senyuman Viola yang hampir luput dari pandangannya.
Perkataan Devan seketika membuat Viola terkejut. Gadis cantik itu pun langsung membuka mata, lalu tersenyum dengan barisan gigi putih yang tampak rapi tepat ketika Devan sudah tiba di samping ranjang. "Ketahuan ya, Pak."
"Udah salah malah nyengir lagi!" Devan menatap tajam. Tanpa aba-aba, pria itu melepas dekapannya hingga tubuh Viola jatuh mengenai tepi ranjang dan mendarat tepat di atas lantai.
"Aduh, sakit, Pak." Gadis itu terdengar mengaduh. Merintih sambil memegangi bagian pinggulnya yang baru saja membentur tepi ranjang.
"Bisa enggak sih, Pak, jangan kasar-kasar sama istri sendiri!"
"Ya, suruh siapa ngerjain saya!" Devan balik menampilkan raut wajah kesal.
Dengan acuh, pria itu berbalik. Lalu, pergi begitu saja menuju pintu kamar. Namun sebelum keluar, Devan sempat menoleh kembali melihat Viola yang tengah berusaha bangkit dari posisi terjatuh.
"Sudah cepat pakai bajumu dan langsung ke bawah! Jangan sampe Ibu saya kembali ke atas untuk manggil kamu!" titah Devan dengan suara tegas tanpa ada rasa bersalah karena telah menjatuhkan Viola.
"Ih, dasar nyebelin! Enggak jadi dosen, enggak jadi suami, sama aja killer-nya. Aduh, mana sakit lagi ... apes, apes, udah di jatuhin, enggak di tolongin, eh ditinggal juga." Viola masih menggerutu, menatap kepergian Devan yang sudah tak lagi terlihat.
Bersambung ✍️