Bab 7. Memancing Hasrat

1383 Kata
Selamat membaca! Setelah makan bersama, semuanya kini berkumpul di ruang keluarga. Di sana, Nilam dan Dina terlihat begitu akrab seperti sudah saling mengenal lama. Sementara Viola, selesai bercengkrama dengan mereka, gadis cantik itu pun kini tengah bersama sang ayah. Ya, Bimo sejak kecil memang sangat memanjakan putri semata wayangnya. Maka itulah, agak berat baginya untuk melepas Viola di usianya yang masih sangat muda. Namun, Bimo punya alasan kenapa ia sampai mengizinkan putrinya menikah muda. "Vi, pokoknya kalau suami kamu sampai nyakitin kamu, kamu harus ngomong sama Ayah!" Viola yang tengah menyeruput segelas lemon tea pun dibuat tersedak karena perkataan itu. "Ayah tenang aja, ya! Mas Devan nggak akan nyakitin aku kok." Setelah sempat kesulitan bicara karena masih tak percaya dengan apa yang didengarnya, Viola pun coba meyakinkan sang ayah. "Ya, pokoknya Ayah nggak mau kalau putri Ayah sampai disakiti sama orang. Kalau itu terjadi, nanti biar Ayah tegur si Devan itu." "Iya, Yah, aku tahu Ayah tuh khawatir sama aku karena aku nikah muda, tapi Ayah tenang aja, aku berani jamin kalau Mas Devan nggak akan pernah nyakitin aku. Jadi, Ayah nggak perlu mikir yang aneh-aneh, ya!" Viola tersenyum. Menatap sang ayah dengan rasa bersalah karena ia menyembunyikan alasan di balik pernikahannya dengan Devan. Bukan karena Devan mencintai, tetapi karena terpaksa menuruti keinginannya untuk bertanggung jawab setelah merenggut keperawanannya. "Baguslah kalau kamu memang yakin." Walau masih ragu, Bimo coba percaya dan tak lagi bertanya pada Viola. Ia tahu betul watak putrinya yang paling tidak suka jika terus ditanya-tanya, apalagi kalau ada pertanyaan yang menyudutkannya. "Yah, aku ke Mas Devan dulu, ya." Viola coba menghindar. Mencari alasan agar tak lagi ada di dekat Bimo. Bukan karena tidak ingin, tetapi Viola tidak mau jika nantinya ia akan terus membohongi sang ayah jika pria paruh baya itu terus bertanya seputar Devan dan pernikahannya. "Maafin aku ya, Yah. Viola tahu sebenarnya Viola nggak boleh bohong sama Ayah, tapi Viola rasa ini pilihan tepat yang harus Viola jalani. Viola tuh udah terlanjur jatuh cinta sama Pak Devan. Jadi, walau 2 tahun dia menghilang, begitu Viola ketemu lagi sama Pak Devan, perasaan itu tetap ada dan ternyata masih sama kaya dulu." Sambil bicara dengan dirinya sendiri, Viola semakin melangkah jauh dari Bimo. Meninggalkan pria paruh baya itu yang sejak tadi terus menatap Viola dengan kedua mata yang tampak berkaca-kaca. "Semoga keyakinan kamu benar ya, Vi. Maaf karena ayah harus menyembunyikan semuanya dari kamu dan juga ibu kamu. Mungkin Devan adalah pria yang diberikan Tuhan untuk menjaga kamu menggantikan Ayah," batin Bimo, coba menguatkan hati, walau itu terasa perih. Di tengah keterdiamannya, Dina tiba-tiba datang. Menghampiri Bimo sambil mengusap bahu suaminya yang tampak sendu. Kesedihan yang tentu saja bisa dengan mudah dibaca oleh Dina. "Kamu kenapa? Kok sedih gitu?" Dina menyapa suaminya yang seketika mengalihkan pandangannya dari Viola, lalu kembali menatap wajah istrinya dengan senyuman. "Nggak apa-apa, Bu. Aku cuma sedih aja karena harus pisah sama Viola secepat ini." "Aku ngerti, Pak. Cuma ya kita harus ikhlas melepas Viola hidup berumah tangga. Lagi pula Ibu yakin kok kalau nak Devan pasti bisa membuat Viola bahagia." "Iya, Bu." Bimo tetap tersenyum, kembali melihat ke arah Viola yang saat ini sudah bersama Devan di depan sana. "Sepertinya aku harus bicara berdua dengan Devan dan bertanya apa dia memang benar-benar serius menikahi Viola? Kenapa aku seperti merasa ada sesuatu yang mereka sembunyikan?" batin Bimo yang entah kenapa merasakan kejanggalan saat melihat keduanya sewaktu makan bersama di ruang makan. *** Tak terasa hari telah berganti malam dengan begitu cepat. Kini Viola sudah berada di dalam kamar. Gadis cantik itu langsung mengganti pakaian untuk bersiap tidur. Viola mengenakan hot pants dan juga tank top berwarna putih. Stelan yang memang selalu ia kenakan saat di rumah. "Duh, badan gue pegel-pegel semuanya nih. Mana besok tetap harus masuk kampus lagi." Saat Viola baru saja naik ke atas ranjang, pintu kamar terbuka dan sosok Devan terlihat masuk dengan raut wajah yang kusut seperti banyak yang dipikirkannya. "Eh, ngapain kamu tidur di situ?" Devan langsung bertanya dengan suara yang agak tinggi saat melihat Viola akan masuk ke dalam selimut. "Terus tidur di mana, Sayang? Eh ... maaf, maksudnya, Pak?" "Saya tidak sedang bercanda! Kamu harus ingat! Mungkin kalau di rumah, kamu boleh aja salah manggil, tapi kalau di kampus, jangan pernah kamu ngelakuin itu!" tegas Devan, raut wajah pria itu tampak begitu marah hingga membuat Viola yang sama sekali tak pernah diperlakukan seperti itu jadi merasa sedih. "Baik, Pak. Maaf ...." Viola yang tahu kesalahannya pun langsung beranjak dari atas ranjang. Gadis dengan wajah sendu itu mulai melangkah sambil membawa sebuah bantal dalam dekapannya. "Akhirnya kamu sadar juga. Lagi pula ini kan kamar saya, kamu tidur di sofa itu aja!" Devan melangkah pergi menuju kamar mandi. Meninggalkan Viola yang mulai membaringkan tubuhnya di atas sofa dan meletakkan bantal yang dibawanya untuk jadi sandaran kepala. "Kenapa ya gue ngerasa sedih banget dibentak Pak Devan?" Seketika Viola jadi teringat akan pesan sang ayah. Namun, tentu saja gadis itu tak berniat mengadukan permasalahan ini karena mau bagaimanapun, ini adalah pilihannya. Pilihan yang harus ia terima sekalipun rasa sakitnya begitu menusuk hati. "Kamu harus kuat, Vi. Yakin deh, suatu saat Pak Devan pasti akan jatuh cinta sama lo." Viola coba meyakinkan diri sambil menekan dadanya. Menguatkan hati, walau rasa sakitnya hampir saja membuatnya menangis. Setelah merasa kuat, tiba-tiba terbesit sebuah ide dalam pikirannya. Ide yang sepertinya harus Viola lakukan karena ia merasa tidak boleh lemah dalam menghadapi Devan yang tadi membentaknya untuk pertama kali, padahal selama ini, segalak dan setegas apa pun pria itu dalam mengajar Devan tak pernah sekalipun membentak dirinya. "Gue punya ide." Viola bangkit dari posisi duduknya sambil mengulas senyum. "Buat dapatin hati Pak Devan, gue enggak boleh cengeng. Fighting, Vi!" Sementara itu, di dalam kamar mandi, Devan hanya diam di bawah pancuran shower. Pria tampan itu hanya mematung dan terus teringang akan semua perkataan Bimo sebelum ia masuk ke dalam kamar. "Jadi, Pak Bimo ...." Devan tak melanjutkan perkataannya. Ia masih bingung harus bagaimana menjalani pernikahannya dengan Viola setelah Bimo benar-benar berharap padanya untuk menjaga sekaligus jadi penggantinya dalam menyayangi Viola. "Sial, kenapa malah jadi serumit ini? Kalau udah dapat amanah begitu, apa gue punya pilihan buat nolak?" Devan masih tidak menyangka jika pada akhirnya, pria itu mengiyakan permintaan Bimo. *** Butuh waktu hampir dua puluh menit, Devan menyelesaikan aktivitas mandinya. Kini pria tampan itu baru saja keluar dengan handuk yang masih melingkar pada pundaknya. "Seger juga ya kalau udah mandi." Devan yang baru saja mengatakan itu tiba-tiba terkejut saat melihat keberadaan Viola sudah tertidur di atas ranjang tanpa mengenakan selimut. Membuat lekuk tubuh gadis itu tampak seksi di mata Devan. "Ya ampun, ini kenapa Viola jadi tidur di sini? Bukannya tadi dia udah pindah ke sofa. Mana dia pake baju seksi lagi ... jangan-jangan dia sengaja begini ...." Devan yang setelah mandi ingin segera tidur, mulai merasa kesal. Namun, saat tangannya hendak mengguncangkan tubuh Viola dengan kasar, tiba-tiba perkataan Bimo terlintas dalam pikirannya. "Bapak minta tolong jaga Viola! Perlakukan dia dengan baik dan jangan pernah sakiti dia. Kalau kamu sampe berani bentak dia, Bapak nggak akan pernah maafin kamu!" Seketika gerakan tangan Devan terhenti. Mengingat apa yang sebelumnya ia lakukan dan itu sudah melanggar janji yang sempat ia katakan pada Bimo, walau dengan terpaksa. "Berarti tadi gue salah karena udah bentak Viola." Devan begitu menyesal karena tak bisa mengontrol diri. "Kalau gitu, itung-itung gue nebus kesalahan gue, malam ini gue ngalah, biar gue yang tidur di sofa." Pria itu pun membungkuk, masih menatap seluruh tubuh Viola yang entah kenapa membuat bulu kuduknya meremang. Entah karena suhu ruangan yang kian terasa dingin atau hasrat dalam diri Devan mulai membuncah tatkala melihat pemandangan penuh hasrat di depan matanya. Kedua paha Viola yang putih mulus, ditambah dua gunung Krakatau tanpa bra, benar-benar membuat Devan jadi kesulitan menelan saliva-nya. "Bahaya, kalau lama-lama gue ngelihat Viola, bisa-bisa nanti gue khilaf." Tanpa berlama-lama, Devan pun langsung menyelimuti tubuh seksi Viola dengan perlahan. "Maafin saya ya, Vi. Maaf karena tadi saya sempat bentak-bentak kamu." Wajah Devan tepat berada di atas wajah Viola. Saat ini, gadis itu masih tampak memejamkan kedua mata, walau sebenarnya, ia hanya pura-pura tertidur. "Yes, rencana gue berhasil. Ternyata Pak Devan itu emang baik dan juga perhatian sama gue. Ya ... mungkin gue hanya perlu sabar aja supaya bisa buat dia jatuh cinta sama gue," batin Viola penuh kemenangan. Bersambung ✍️
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN