Manik hijaunya terus menerus mencari bunga yang Indah untuk dipadukan dengan serangkaian tangkai bunga yang sudah tertata rapi di jemarinya, mencoba merangkainya secantik mungkin hingga matanya terpuaskan saat memandanginya.
"Kak... Rangkaian bunga dekat bunga mawar itu berapa kak?"
Ia mendongak menemukan anak remaja yang mungkin saat ini masih berumur 16 atau 17 tahun dan kesimpulan ini ia ambil karena remaja itu masih menggunakan pakaian putih abu-abu.
"Yang keranjangnya berwarna coklat itu?" tanyanya memastikan yang dijawab remaja itu dengan anggukan.
"Untuk kamu 25 ribu aja." hatinya menghangat karena setelah menyebutkan harganya remaja didepannya langsung tersenyum sumringah.
"Yaudah aku ambil yang itu ya kak." beberapa detik setelah remaja itu berbicara sodoran uang 10 ribuan 3 lembar ada didepannya, dibalik cadarnya ia tersenyum pelan. Merasa bahagia karena anak remaja itu juga didepannya.
Setelah menerima uang kembalian remaja itu berjalan mengambil rangkain bunga yang ia maksud kemudian berlalu pergi tanpa mengucapkan apapun lagi padanya, bukannya tersinggung ia hanya tersenyum pelan karena merasa sudah terbiasa dengan kelakuan anak jaman sekarang.
"Kak Bellva... Didalam ada yang ingin bertanya." ia mengerutkan keningnya dari balik cadar berwarna coklat yang ia pakai hari ini, karena setahunya semuanya dipajang disana sudah memiliki sedikit penjelasan di samping masing-masing foto.
"Yaudah Yahya... Kamu jaga disini dulu." anak yang baru lulus Smk itu mengangguk pelan.
Bellvania membawa langkahnya masuk kedalam studio menemukan beberapa orang sedang melihat-lihat foto yang ia pasang dan tentu saja terbingkai dengan ukiran uniknya masing-masing. Sesaat Bellva terdiam karena bingung dimana letak orang yang katanya ingin bertanya padanya itu.
"Anda pemilik studio ini?" Bellva membalikkan badannya dan langsung menunduk tanpa melihat wajah sang penanya, karena yang bertanya adalah laki-laki tentu mereka berdua tidak boleh saling pandang apalagi menatap wajah.
"Iya... Saya sendiri, ada yang bisa saya bantu?"
Laki-laki itu memperlihatkan wajah bingungnya dan alisnya seakan menyatu karena sibuk memikirkan kenapa perempuan didepannya malah menunduk, bukan menatapnya?
"Aku ingin bertanya mengenai foto yang ada di ujung lorong. Sepertinya baru terpasang."
"Oh tentang itu, mari kita kesana."
Bellvania berjalan terlebih dahulu tanpa menunggu laki-laki yang bertanya tadi, walaupun saat ini suasananya sedikit membingungkan tetapi ia harus profesional bukan?
"Foto ini memang terlihat biasa saja. Tapi disini yang saya jadikan objek bukan senjanya tapi bentuk awannya yang seakan memberikan kesan tersendiri untuk langit sore. Jika sekali pandang memang seperti senja sebelumnya ataupun senja yang selalu kita lihat tetapi cobalah lebih detail lagi. Bentuk awannya terasa berbeda dan menurutku cukup langka maka dari itu saya memajangnya, jika memang ada yang tertarik ya alhamdulillah."
Bellvania tersenyum singkat dibalik cadarnya, mencoba tetap profesional walaupun orang ini tidak melihatnya tetapi setidaknya ia menghargai tamu ataupun pembeli.
"Kenapa kamu menutup wajahmu?"
Bellvania tersentak sontak matanya mengarah ke laki-laki disampingnya. Wajah yang terlihat tegas, alis biasa serta hidung yang sedikit mancung serta iris mata berwarna hitam gelap. Bahkan pipi laki-laki ini terlihat agak chubby, keduanya saling terdiam dengan manik mata yang saling beradu.
Mata hitam gelap itu agak tersentak karena perempuan didekatnya ini ternyata memiliki warna mata hijau begitu berkilau membuatnya seakan lupa akan detik yang masih berdetak. Hanya mata yang ia lihat karena struktur wajah lainnya tertutupi oleh kain berwarna coklat yaitu warna yang sama dengan jilbab panjang perempuan itu.
Beberapa detik kemudian Bellvania memutuskan pandangannya, ia menunduk mengucap istigfar beberapa kali karena terlena bahkan mamandang langsung laki-laki yang bukan mahramnya. Rasanya sudah merasa sangat bersalah bahkan berdosa karena melanggar aturan agamanya.
"Astagfirullah... Astagfirullah... Astagfirullah...Astagfirullah." kata itu terus terucap dengan lirih dari bibirnya, mencoba menghapus jejak wajah laki-laki itu dari pikirannya karena ia takkan mau memikirkan laki-laki jika bukan suaminya kelak.
"Kamu tidak papa?" setelah lama terdiam laki-laki itu bersuara bahkan tanganya memegang pundak Bellvania yang tentu saja langsung ditepis oleh empunya, Ia memundurkan tubuhnya sedikit menjauh dari laki-laki itu.
"Maaf kalau aku lancang." ucapnya dengan rasa bersalah yang begitu besar
"Tidak papa, tolong mengerti."
"Sekali lagi maaf."
Bellvania hanya mengangguk pelan sebagai jawaban permintaan maaf laki-laki asing didepannya. Ada yang aneh dengan dirinya hatinya merasa risau tetapi nyaman diwaktu yang sama.
"Aku akan membeli ini untuk aku pasang dirumah. Harganya berapa?"
"Tolong langsung ke kasir saja ya! Dan sebutkan saja kode fotonya. Kalau begitu saya permisi." tanpa menunggu jawaban laki-laki itu bellvania berlalu, tetapi baru beberapa langkah tanganya dicekal oleh laki-laki itu.
"Maaf, tolong lepaskan." ujarnya tegas, yang langsung dituruti oleh laki-laki itu.
"Maaf... Namaku Barra Gernadi." ada rasa yang berbeda dalam diri Bellvania saat nama itu ter-eja seakan pertanda sesuatu, apakah firasat buruk?
"Bellvania." setelah mengucapkan hal itu Bellvania benar-benar berlalu dari jangkauan laki-laki yang bernama Barra itu.
Dalam langkahnya ia masih mengucap lirih istighfar karena tadi sempat saling pandang dengan laki-laki asing dan tentu saja bukan mahramnya sama sekali.
"Kak... Ponselnya berbunyi dari Ummi kakak."
Suara Yahya langsung menyambut Bellvania setelah sampai di pekarangan depan, berbagai bentuk rangkaian bunga tertata rapi dan indah yang berasal dari jemari tangan Bellvania.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ummi." sapanya setelah benda pipih itu berada dalam genggaman tangannya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Ummi sudah sampai."
"Kenapa jam segini baru sampai Ummi? Apa ada kendala lain?" karena seingatnya untuk pergi ketempat Om dan Tantenya itu hanya butuh waktu 5 jam sedangkan ini sudah 7 jam lebih dari mereka berangkat pagi tadi.
"Jalanan macet Nak! Dan Abi kamu juga singgah istirahat sejenak tadi, capek katanya. Kamu sudah makan siang kan? Jangan sampai lupa makan."
"Iya Ummi sayang... Udah makan kok bareng Yahya dan Annisa juga." jawabnya.
"Yaudah ummi matikan, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh."
Bellvania menyimpan ponselnya didekat kasir khusus toko bunganya, ia berjalan kedepan mengecek apakah ada rangkaian yang berantakan ataupun tempat yang kosong karena habis dibeli oleh orang lain.
"Ini toko bunga mu juga?" pertanyaan dan suara itu membuat Bellvania mematung sejenak kemudian ia berbalik sembari menunggu menundukkan pandangannya
"Iya, ini milikku juga." balasnya sopan
"Aku ingin membeli serangkai bunga Mawar yang masih segar."
"Baiklah... Tunggu sebentar." Bellvania membawa langkahnya kesebelah kiri lalu mengambil bunga Mawar yang baru ia tata tadi pagi. Kemudian kembali kehadapan laki-laki tadi.
"Berapa ini?" tanyanya setelah bunga itu berpindah ke tangannya sedangkan tangan kiri laki-laki itu menjinjing foto yang sudah terbalut kertas berwarna coklat.
"130 ribu." dengan gerakan hati-hati ia membuka dompetnya mengeluarkan 3 lembar uang 50 ribuan
"Kembaliannya untuk kasir tadi."
Bellvania baru saja ingin berbalik tetapi suara laki-laki itu lagi. Dengan sopan ia mengangguk sebagai tanda mengerti.
"Apa kamu tidak kepanasan memakai pakaian seperti itu?"
"Tidak."
"Apa keluargamu yang memaksamu memakai pakaian seperti itu?"
"Bukan."
"Apakah semua perempuan harus menutupi wajahnya sepertimu hingga hanya menyisakan matanya saja?"
"Tidak juga."
"Lalu... Kenapa kamu menutup wajahmu?"
"Karena saya ingin."
"Apakah kamu memilki bom?"
"Bom?" kening Bellvania berkerut bingung, kenapa orang ini malah menayakan tentang bom padanya?
"Aku lihat di televisi ada orang berpenampilan sepertimu melakukan bom bunuh diri."
Sejenak Bellvania memejamkan matanya, saat ini posisinya dengan laki-laki didepannya terkesan cukup jauh mungkin satu meter karena setelah menerima uang tadi ia sedikit menjaga jarak karena takutnya laki-laki ini malah berniat menyentuhnya lagi walaupun itu terkesan refleks atau tidak sengaja.
Ya, laki-laki yang tak jauh darinya ini adalah laki-laki yang sama didalam studio tadi. Kalau Bellvania tidak ingat namanya Barra, perkataan Barra tadi tentu sedikit luar batas apalagi menyinggung soal penampilannya.
"Jangan asal menyimpulkan." hanya itu yang bisa Bellvania ucapkan.
"Sekali maaf... Kalau begitu aku permisi."
Bellvania menghembuskan napasnya lega setelah Barra berlalu, ada rasa gelisah dalam dirinya tetapi ia tak paham akan artinya mungkin nanti malam ia harus banyak-banyak bercerita dengan Allah agar hatinya kembali tenang seperti sebelumnya.
"Yahya... Kembaliannya yang 20 ribu tolong kasi Annisa ya." ucapnya setelah menyodorkan uang pembelian bunga pada anak remaja berumur 18 tahun didepannya, tepat dikasir sedang Bellvania diseberang.
Yahya ini anak panti asuhan yang ia pekerjakan bukan karena kurang pegawai atau apapun itu hanya saja ia nyaman berada di sekitar anak itu, Annisa pun seperti itu baru saja lulus Smk disekolah yang sama dengan Yahya dengan bantuan prestasi mereka serta gajinya disini.
Toko bunganya memang kecil karena ini memang untuk menyalurkan hobi saja seperti studionya tetapi ternyata banyak yang datang. Ada yang sekedar melihat ada juga yang membeli.
Tepat setelah keluar dari studio maka para pembeli akan disuguhkan dengan berbagai rangkaian bunga yang berjejer rapi, wanginya yang menenangkan dan sangat cantik serta menarik.
Bunganya sebenarnya ada yang Bellvania tanam sendiri dan itu berasal dari kebun kecil dibelakang studionya tetapi ada juga yang ia pesan dari orang lain karena musim di tempat ini tidak memadai sama sekali.
"Kak... Kata Annisa laki-laki tadi menanyakan kakak terus loh! Ciee dikepoin."
Satu nama langsung muncul dalam pikirkan Bellvania karena yang terus mengajaknya berbincang adalah laki-laki itu.
Ya laki-laki kepo itu bernama Barra Gernadi.