Hari sudah sangat larut malam, ponsel Aurora berkedip-kedip tanda panggilan masuk namun Aurora sudah terlelap dalam tidurnya. Dia memang selalu mengaktifkan mode ‘diam’ saat tidur agar memiliki tidur berkualitas tanpa gangguan dari telepon atau pesan yang masuk.
Baru lah ketika pagi dia mengecek ponselnya, ada beberapa pesan masuk dari Yohan.
“Kamu sedang apa?”
“Sudah tidur?”
“Selamat malam.”
Aurora menatap layar ponsel itu cukup lama, dia tak ingin membalasnya dan hanya mengabaikan saja, namun hatinya berkata lain. Dia sungguh sangat menyukai lelaki itu, benar benar menyukainya sebagai laki-laki.
“Iya aku tidur sejak pukul tujuh malam,” tulis Aurora, kembali menarik selimutnya dan berbaring miring seraya menekuk kakinya. Dia tak mengantuk hanya lelah dan merasa rendah diri. Jelas dia tak ada apa-apanya dibanding Felicia. Seujung kukunya pun tak dapat dia menandinginya.
Layar ponsel Aurora kembali menyala, sebuah panggilan masuk dari Yohan. Dia menarik napas panjang dan menghembuskannya.
“Hallo,” sapa Aurora.
“Selamat pagi,” ucap Yohan dengan nada cerianya.
“Kamu sudah bangun? Atau tidak tidur?” tanya Aurora.
“Aku tidak bisa tidur sejak semalam tadi.”
“Kenapa? Apa karena ada yang menemani berbincang? Sehingga kamu tak mengantuk?”
“Aku hanya sendiri sejak semalam tadi,” ucap Yohan.
“Bukankah ada Felicia?”
“Tidak, dia datang ketika siang saja dan pulang setelahnya,” ucap Yohan, nada suaranya terdengar berat, sepertinya dia mulai mengantuk.
“Oh, aku pikir dia menemani kamu seharian,” ucap Aurora seraya bangkit dari ranjangnya, menuju pantry mini di kamar kost studio itu. Peralatan di kamar itu sangat lengkap, bisa terbilang kamar itu adalah kamar kost terlengkap. Dengan kamar mandi dalam, pantry mini, juga alat elektronik yang lengkap. Tak heran jika bayaran bulanannya cukup mahal.
Aurora mengambil kopi sachet, membuka dengan gunting sementara ponselnya disangga dengan bahu. Lalu menyeduhnya dengan air panas dari dispenser.
“Dia hanya dua jam,” ucap Yohan. Dua jam? Hanya? Aurora menggeleng tak mengerti bukankah bagi para idol, waktu sangat berharga?
“Cukup lama, apa dia sendiri?”
“Ya hanya sendiri. Dia bilang sedang tak ada kegiatan, biasa anak manja sepertinya memang mempunyai kelakuan yang seenaknya sendiri,” ujar Yohan seraya tertawa, Aurora bisa mendengar tawanya yang renyah.
“Kamu pasti bahagia disampingnya. Kalian terlihat cocok, banyak yang mendukung pernikahan kalian,” ucap Aurora, berjalan menuju salah satu spot favoritnya. Kursi dengan meja berwarna putih, tepat di pinggir jendela, dia menarik gorden untuk membukanya, dan mendorong jendela kaca agar udara pagi ini masuk ke kamarnya. Lalu dia duduk dengan menekuk kakinya seraya memegang cangkir kopi.
“Kamu jangan cemburu sama dia,” ucap Yohan.
“Kenapa? Apa karena kalian memang akan bersama?”
“Karena aku tidak mempunyai perasaan apapun kepadanya, selain rasa sayang sebagai adik saja, kami telah lama bersama dan sering bertemu,” ucap Yohan. Aurora hanya terdiam dan merenungkan setiap ucapan Yohan. Dia menyadari bahwa tak seharusnya dia cemburu, namun ... hati tak bisa berbohong, karena nyatanya dia masih sedikit bersedih atas apa yang terjadi, terlebih dia merasa bahwa hubungan mereka berdua sangat ‘mungkin’ terjadi, tak seperti dengannya.
“Baiklah,” jawab Aurora pada akhirnya, menyesap kopi yang mulai hangat, mereka masih melanjutkan perbincangan lainnya hingga tak terasa hampir satu jam lamanya. Dan mereka memutuskan panggilan karena Yohan yang ingin tidur dan Aurora yang akan berangkat kerja.
***
Hari ini, Aurora berangkat kerja dengan wajah yang lebih ceria, bagaimana tidak? Pagi ini dia sudah di hubungi oleh pria yang paling disukainya. Aurora memutar id card di tangannya sambil sedikit bersenandung seirama dengan suara musik yang terdengar melalui earphone di telinga. Lagu – lagu Sunshine yang ceria selalu membuatnya bersemangat.
Saat memutar id card itu di tangan, tanpa sengaja id itu terlempar cukup jauh lalu berseluncur di lantai hingga mengenai kaki seseorang dan berhenti tepat di kaki itu. Pria bersepatu kets itu menunduk dan mengambil id tersebut, memperhatikan foto yang tertera di ID itu lalu mengernyitkan kening. Aurora menutup mulutnya dan berlari menghampiri pria yang merupakan bosnya itu.
“Dasar kamu, Yohan terus. Kan saya sampai hapal namanya!” cebik pria berwajah oriental yang merupakan CEO dari Starreads Indonesia. Pria itu menyodorkan id card Aurora yang diterimanya dengan sungkan sambil mengucap terima kasih.
Aurora membalik Id cardnya yang transparan itu menjadi foto dirinya lengkap dengan nomor induk kepegawaian, sedangkan foto di baliknya adalah photocard Yohan yang menurutnya paling mahal, terlebih foto itu diberikan Yohan secara langsung.
Mereka pun berjalan berdampingan meski sangat canggung, bahkan asisten CEO nya berjalan di belakang mereka. Aurora men-tap id card untuk membuka gate khusus para karyawan. Id itu memang dilengkapi barcode untuk akses keluar masuk karyawan demi memproteksi gedung sebesar Central Tower tersebut yang mana dihuni puluhan perusahaan dalam satu gedung.
“Ra, jika suatu saat nanti kamu tinggal di Korea, kamu bisa kerja di Starreads Korea lho,” ujar CEO muda berbakat itu.
“Serius, Pak?” tanya Aurora.
“Iya lagi pula kamu sudah punya nama di sana, pasti akan lebih mudah. Penulis seperti kamu kan nggak terlalu terikat harus stay di satu tempat, Starreads pasti akan mendukung kamu,” ucap CEO itu.
“Terima kasih ya, Pak. Nanti jika saya punya suami orang Korea mungkin saya tinggal di sana,” kekeh Aurora dengan tak tahu malunya membuat sang CEO itu tertawa. Mereka bahkan naik di lift yang sama, ya se-sederhana itu CEOnya. Memang perusahaannya tak terlalu besar, namun mampu menampung aspirasi para penulis dan karyawannya dengan cukup baik.
Aurora bergegas menuju meja kerjanya, sesaat setelah berpisah dengan sang CEO di pintu masuk menuju lantai tempatnya bekerja.
Aresta yang telah lama sampai di ruangan itu menatap Aurora dengan pandangan bingung, malam tadi wanita itu masih tampak bersedih dengan mengirim voice note, mengatakan bahwa tak mungkin dengan Yohan. Matanya masih tampak sembab, namun lihatlah, senyumnya yang terkembang membuat Aresta menatap curiga. Apakah temannya sudah menjadi gi-la dalam semalam? Apakah karena frustasi melihat kedekatan Yohan dengan Felicia?
“Ke rumah sakit jiwa yuk,” ajak Aresta, sesaat setelah Aurora menghempaskan bokongnya di kursi kerja. Dia menoleh dan mengerjapkan matanya dengan pandangan tak mengerti.
“Mau cari referensi?” tanya Aurora polos.
“Mau ngecek kamu, jangan-jangan sudah tidak waras!” cebik Aresta membuat Aurora tertawa terbahak-bahak. Aresta memundurkan kursi ber-roda itu sambil memegang da-danya, ekpresi wajahnya tampak ketakutan.
“Atau ke paranormal aja deh, aku jadi ngeri,” ringis Aresta. Aurora semakin terpingkal sampai memegangi perutnya, beruntung pagi ini tak terlalu ramai karyawan, bisa-bisa Aurora di sembur ramai-ramai karena dikira kesurupan.
“Ra, sadar kek, ya Tuhan, cobaan apa ini?”
“Iya, iya maaf, kamu sih ada-ada aja, aku masih waras!” ujar Aurora, mengeluarkan laptop dari tasnya dan meletakkan di atas meja kerja, membuka dan menekan tombol powernya.
“Serius nggak apa-apa?” tanya Aresta memastikan.
“Beneran,” jawab Aurora, yang lagi-lagi tersenyum, memandang layar laptopnya yang menggunakan wallpaper gambar Sunshine.
“Ahh ganteng,” ujar Aurora dan Aresta berbarengan, Aurora menoleh ke arah Aresta yang sudah mendengus.
“Aku sampai hapal, kata-kata kamu ketika melihat layar itu menyala,” dengus Aresta, kembali menekuri tulisannya. “Eh ngomong-ngomong ada berita bagus apa? Semalam masih nangis-nangis sekarang udah tertawa?” imbuh Aresta yang mengurungkan niatnya menulis cerita dan justru lebih tertarik mendengar cerita dari Aurora.
“Tadi pagi Yohan telepon aku, terus dia jelasin kalau dia dan Felicia nggak ada hubungan apa-apa, bahkan dia nggak ada perasaan apapun sama member girl group itu,” ucap Aurora sambil tersenyum, ekpresinya tak berbohong di wajahnya tersirat kelegaan.
“Syukurlah, apapun itu, aku akan mendukung kamu, oke? Tapi kamu beneran siap jika seandainya dia ingin menjalin hubungan dengan kamu?”
“Siap kenapa?”
“Berpacaran dengan artis itu nggak mudah Ra, kamu tahu itu lah, kita sering browsing tentang pacaran dengan artis saat membuat cerita. Kamu harus sembunyi-sembunyi, nggak bisa asal post foto bersama, dan yaa resikonya sangat besar, apalagi yang aku tahu fans mereka itu banyak banget. Apa kamu siap?” tanya Aresta. Aurora menunduk dan menggeleng.
“Aku nggak siap, Ta. Tapi ... aku juga nggak bisa bohongin perasaan aku kalau aku suka banget dan senang banget dengan mimpi aku ini. Jika memang hubungan ini nggak berakhir indah, atau berhenti di tengah jalan. Aku pikir nggak apa-apa, setidaknya aku sudah pernah memacari lelaki yang paling aku impikan, sebelum aku bertemu jodoh aku, sebelum aku mengikat janji suci di altar pernikahan,” ucap Aurora.
Aresta tersenyum bangga kepada Aurora dan menepuk pelan bahunya, “hanya Tuhan yang tahu perihal jodoh kita, enjoyed it ya Ra, kita nggak akan pernah tahu bagaimana perjalanan hidup kita ke depannya, yang penting ... saat ini kamu bahagia menjalaninya, oke?”
Aurora tak kuasa untuk tak memeluk Aresta mereka pun berpelukan dengan rasa haru. Aresta sangat mengerti dirinya, meskipun terkadang sering mengejeknya, namun Aresta adalah orang yang paling pertama pasang badan ketika Aurora di ejek orang lain karena kegemarannya terhadap idolanya itu.
“Sudah-sudah, sekarang kita lanjut kejar setoran!!” kekeh Aresta yang disetujui Aurora.
Mereka larut mengerjakan sebuah tulisan demi menyalurkan hobi dan demi pembaca mereka yang telah menanti karya mereka, yang berbeda kali ini adalah, mereka berdua mendengar lagu yang sama dengan earphone yang terhubung di laptop Aurora, lagu-lagu Sunshine, bertemu Sunshine beberapa waktu lalu membuat Aresta mulai menyukainya dan tertarik mendengarkan lagunya.
***