Eps. 21. Sebuah Bencana

1360 Kata
Setiap waktu yang berganti menyisakan sebuah cerita. Masa berlalu meninggalkan kenangan indah tiada terlupa. Hari-hari penuh makna seperti itulah, yang selalu Danu dan Sukma jalani bersama. Kendati tinggal di desa terpencil itu hidup mereka dalam segala keterbatasan, serta harus bekerja keras, banting tulang untuk kelangsungan hidupnya, tetapi setiap menit yang mereka lewati, senantiasa dipenuhi kebahagiaan. Ikatan cinta juga tumbuh semakin dalam, membuat Danu sama sekali tidak berniat mengingat kembali masa lalunya. Memiliki seorang istri cantik, berhati murni dan bersedia mencintai dirinya apa adanya, adalah anugerah Tuhan yang teramat dia syukuri. Hingga tanpa terasa, satu musim kini sudah berganti dan hampir satu tahun lamanya Danu dan Sukma tinggal bersama di desa tersebut. Kehidupan mereka terasa sangat damai. Tanpa adanya lagi rundungan warga akan kekurangan Danu sebagai pria buruk rupa, membuat kehidupan mereka terasa sangat tentram di sana. Langit tampak suram, hawa dingin disertai kabut tebal menyelimuti seluruh desa. Semua orang memilih berdiam diri di dalam rumahnya masing-masing, karena sudah hampir tiga hari belakangan, hujan terus turun membasahi marcapada. Maklum saja, desa itu terletak di wilayah dataran tinggi dengan intensitas curah hujan yang cukup tinggi, sehingga musim hujan terasa berkepanjangan di sana. Seperti halnya warga desa lain, Danu dan Sukma juga memilih mengurung diri di dalam rumahnya. Suhu udara di malam hari berkisar 13 derajat celcius, membuat Danu dan Sukma semakin asyik menggulung tubuh mereka dalam selimut tebal dan tidur saling berpelukan. "Walau di luar sana dingin, tapi di kamar ini aku selalu merasa hangat bersamamu, Bang?" Sukma berbisik manja, sambil lebih erat melingkarkan tangannya di pinggang Danu, serta merebahkan kepalanya di d*da sang suami. "Iya, Sayang. Semoga saja kehangatan ini bisa selalu kita nikmati berdua." Danu mengusap lembut kening Sukma yang tampak sedikit basah oleh keringat. Meski udara terasa menusuk, tetapi mereka berdua baru saja melewatinya dengan kehangatan bercinta dan merengkuh kemesraan sebagai pasangan suami istri. "Aku sangat mencintai kamu, Sukma." Danu juga membelai rambut istrinya dan merasa sangat bahagia memiliki Sukma dalam hidupnya. "Aku juga sangat mencintai kamu, Bang. Apa pun yang akan terjadi, aku tidak ingin berpisah dari Abang," balas Sukma, sembari tersenyum menatap Danu yang juga tersenyum kepadanya. "Oh ya, Bang ... apa aku boleh tanya sesuatu sama kamu?" Sukma memulai sebuah percakapan di antara mereka. Sudah menjadi rutinitas sebelum tidur, keduanya akan saling bertukar cerita atau sekedar berkeluh kesah. Semua itu juga membuat ikatan mereka terasa makin kuat dan mereka bisa saling memahami satu sama lain. "Hmm ... apa, Sayang?" Danu menanggapi tetap dengan tersenyum. "Sudah hampir setahun kita bersama, Bang. Kenapa Bang Danu sepertinya belum ingin punya seorang bayi dariku?" Sukma memberanikan diri menanyakan sesuatu yang sudah semenjak lama dipendamnya dalam hati. Setahun hidup bersama, tetapi selama itu pula Sukma menyadari kalau Danu selalu menjaga agar dirinya tidak sampai hamil. Namun, entah mengapa malam itu, dia begitu ingin menanyakannya. Lagi-lagi Danu hanya tersenyum mendengar pertanyaan Sukma. Perlahan dia menghela napas dan menjawan, "Bukan aku tidak ingin kita punya anak, Sayang. Tapi aku sengaja menundanya, karena aku ingin lebih lama menikmati masa bulan madu kita. Aku ingin kita benar-benar mempersiapkan diri dulu untuk menjadi orang tua, baik secara mental maupun finansial." Sukma mengangguk paham. Dia tahu kalau Danu memiliki cita-cita besar untuk memperbaiki taraf hidup mereka. Itulah alasan mengapa, sampai saat itu Danu merasa belum berniat memiliki seorang bayi di tengah keluarga kecil mereka. "Sudah beberapa hari ini hujan terus turun, Bang. Kita tidak bisa menggarap kebun dan persediaan bahan pokok juga sudah menipis. Tabunganku hanya sisa sedikit. Kalau hasil kebun tidak ada, untuk sekedar makan saja, kita akan kesulitan." Wajah Sukma yang sebelumnya tampak sumringah, tiba-tiba berubah murung. Mengingat hujan deras terus saja mengguyur desanya sebulan ini, dia tahu kalau lahannya akan sulit menghasilkan dan musim paceklik sudah pasti akan terasa sangat panjang. "Namanya juga musim penghujan, Sayang ... mau bagaimana lagi? Kita berdoa saja semoga intensitas hujan segera menurun dan kita bisa bekerja ke kebun lagi." Sejujurnya kekhawatiran yang dirasakan Sukma juga ada di benak Danu. Dia tahu, kehidupan mereka selama ini hanya bergantung dari hasil berkebun sayur. Apabila lahan tidak menghasilkan, pastilah mereka akan sangat sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Jangan terlalu stress memikirkan biaya hidup, Sayang. Aku ini suami kamu dan semua itu adalah tanggung jawabku." Danu kembali mengusap kepala istrinya. Sejenak, dia juga ikut berusaha memikirkan jalan alternatif untuk bisa menghasilkan uang, selain mengandalkan hasil kebun semata. "Iya, Bang." Sukma mengangguk. Setahun hidup mendampingi Danu, dia sudah paham watak suaminya itu. Danu adalah sosok pria pekerja keras dan bertanggung jawab. Sudah pasti Danu tidak akan membiarkan dirinya sampai kelaparan. "Sekarang tidurlah! Semoga besok hujan sudah reda. Aku akan ke danau untuk memancing ikan. Semoga aku bisa dapat ikan banyak dan bisa aku jual ke pasar," ujar Danu, sekedar menghilangkan kegalauan istrinya. "Baik, Bang." Mendengar ucapan Danu, Sukma bisa merasa sedikit tenang. Dia hanya menanggapi dengan mengangguk dan perlahan mulai memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Danu pun menyusul mengatupkan kelopak matanya, agar bisa ikut masuk ke alam mimpi indah bersama sang istri tercinta. Akan tetapi, belum beberapa detik mereka menutup mata, keduanya sama-sama terkesiap. Danu dan Sukma dikejutkan oleh ketukan pintu dan suara riuh beberapa orang juga terdengar menyertai. "Danu ... Sukma, bangun! Buka pintunya!" Suara teriakan-teriakan itu terdengar jelas di telinga Danu dan Sukma. "Siapa yang mengetuk pintu dan memanggil kita malam-malam begini, Bang?" Kedua alis Sukma terhentak bersamaan dan dia menatap Danu penuh rasa bingung sekaligus cemas. "Aku juga tidak tahu, Sayang. Aku akan melihatnya ke luar." Danu bergegas menghempaskan selimut, lalu meraih pakaiannya yang masih berserakan di atas tempat tidur dan secepatnya memakai kembali. "Aku ikut sama Abang." Sukma juga tak mau kalah, dengan cepat dia meraih daster yang tersangkut di atas kursi meja rias, lalu memakainya. Keduanya kemudian berjalan bersama mendekati pintu utama rumah mereka. "Syukurlah kamu belum tidur, Danu." Seseorang yang mengetuk pintu langsung berujar, ketika Danu sudah membuka pintu tersebut. "Ada apa ya, Bang?" Danu dan Sukma terperangah. Di depan rumah tampak beberapa orang warga sedang berkerumun dan wajah-wajah panik tersirat di antara mereka. Meski hujan masih turun membasahi tubuh para warga itu, tetapi mereka seakan tidak peduli. Yang lebih membuat Danu dan Sukma tercengang, semua warga terlihat membawa cangkul, sekop serta beberapa perkakas lainnya. "Desa kita tertimpa musibah. Gara-gara hujan terus turun beberapa hari ini, bendungan di danau jebol. Sekarang air sudah meluap dan menggenangi semua kebun kita!" ungkap warga itu dengan raut cemas, menceritakan kemalangan yang kini tengah menimpa desanya. "Astaga! Apa sudah separah itu?" Danu terlonjak kaget. Dia bahkan tidak menduga ada bencana semacam itu menimpa desanya. "Ya, Tuhan! Bagaimana nasib tanaman sayur dan ternak kita?" Begitu pula dengan Sukma. Mendengar berita yang disampaikan warga itu, seketika dia merasa sangat risau, khawatir akan keadaan ternak serta tanaman sayur yang baru saja mereka semai beberapa hari yang lalu. "Iya, Danu. Untuk itu, sebelum luapan air semakin tinggi, kami sepakat akan mencoba mengecek ke lokasi. Semoga saja kita bisa melakukan sesuatu." Warga itu menerangkan tujuannya. "Ayo! Kamu ikut juga bersama kami kesana, Danu!" lanjut warga itu, menegaskan sebuah ajakan kepada Danu. "Baik, Bang. Aku pasti akan ikut bersama kalian." Dengan cepat Danu mengganggukkan kepala tanda setuju. Bergegas dia mengambil hoodie serta sebuah cangkul, seperti peralatan yang dibawa warga lainnya. "Aku akan ikut bersama warga ke danau. Kamu tinggal di rumah, dan doakan semoga semua baik-baik saja, Sayang." Danu mengecup pucuk kepala istrinya, seraya berpamitan. "Iya, Bang. Kamu berhati-hati dan jaga diri." Sukma menganggukkan kepalanya pelan serta mencium punggung tangan suaminya. Kendati masih tengah malam, warga terlihat bersemangat menuju ke bendungan di danau itu. Tak ingin kebunnya rusak tergenang air, warga ingin mencoba memperbaiki bendungan malam itu juga. Setelah Danu dan warga lain meninggalkan rumahnya, perasaan Sukma kembali dirundung kecemasan. "Bagaimana kalau semua unggas dan tanamanku hanyut terbawa air danau?" Sukma mengelus d**a dan kian tidak mampu menyembunyikan kekhawatirannya. "Tuhan ... tolong jangan ciptakan bencana di desa kami. Selama ini kami sudah hidup susah disini. Jangan Kau tambah lagi kesulitan warga dengan musibah seperti ini!" Sukma mencakupkan tangannya dan berdoa dalam hati. "Semoga warga bisa memperbaiki bendungan yang jebol, sehingga kebun kami tidak sampai tergenang air terlalu lama." Untaian doa terus terucap dari bibir Sukma. Dia hanya bisa berharap tidak akan terjadi bencana serius di desa kelahirannya itu, yang bisa saja akan membuat semua warga kehilangan mata pencahariannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN